Quantcast
Channel: SEJARAH BONE
Viewing all 127 articles
Browse latest View live

Sejarah Jejak Kota Tua Bone

$
0
0
Sekitar abad 10 Masehi Bone hanya sebuah wilayah kecil di tepi Teluk Bone. Awalnya hanya seluas 4 km persegi Letak sedikit lebih tinggi dibanding daerah sekitar sehingga disebut Tanete. Namun  Bone purba berada dalam  wilayah kerajaan Wewangriu Zaman Lagaligo.

Bone adalah nama bugis kuno yang berarti Pasir. Karena tanahnya berpasir warna kekuning-kuningan. Sehingga Bone dahulu disebut Tanah yang berpasir. Sebutan itu berakhir pada zaman Belanda  tahun 1940-an.

KOTA KAWERANG

Ketika kerajaan Bone berdiri pada tahun 1330 M. Ada 7 wanua  bergabung manjadi persekutuan yaitu :
1.Wanua Ponceng,
2. Wanua Taneteriattang,
3. Wanua Tanete Riawang,
4. Wanua Ta,
5. Wanua Macege,
6. Wanua Ujung, dan
7. WanuaTibojong.
Ketujuh wanua ini  bersatu dalam panji  WorongporongE. Bendera Bintang Tujuh menandakan tujuh negeri di bawah kepemimpinan Raja Bone pertama bergelar Matasi LompoE.( Penguasa/penjaga Laut dan tanah ).

Tetapi awal terbentuk kerajaan Bone ada beberapa wanua lain yang tidak bergabung dan cukup disegani pada waktu itu seperti Biru, Cellu, dan Majang. Sedang Bukaka atau Ciung kemungkinan masuk dalam wanua Tanete Riawang. Kerajaan ini mulai membangun wilayahnya dengan ibukota  Kawerang. Berada dalam wanua Tanete Riattang di tepi sungai Bone.
Sungai yang ramai digunakan oleh penduduk Bone sebagai alur transportasi penting untuk  menghubungkan wanua lain. Hulunya ada dua dekat Anrobiring di Palakka dan Pallengoreng sedang muaranya di Toro Teluk Bone.

Kota Kawerang sebagai pusat pemerintahan berasal dari nama tumbuhan yang disebut Awerang yang banyak tumbuh disekitar sungai Bone.(Sekarang terletak di jalan Manurunge Watampone.). Sejenis ilalang dan biasa tumbuh pada tanah lembab dan berair. Tingginya  kurang lebih dua meter. Mempunyai bunga jambul putih. Karena dominan tumbuh  di daerah tersebut  maka penduduk menyebut kampung Kawerang  yang berasal dari kata Engka-Awerang. Kemudian berubah sebutan menjadi Kawerang.
Sama dengan kampung-kampung lain seperti Kajuara karena Engka-Ajuara dan Kading karena Engka-Ading. serta Palanga karena Engka-Lengnga.

Kota Kawerang inilah Istana Raja Bone Pertama ManurungE ri Matajang berdiri. Istana menghadap sungai (letaknya sekarang diduga sekitar Jalan raya dibelakang kantor Korem 141 Toddopuli). Dalam lontara dikatakan bahwa istana itu berdiri dengan cepat sebelum bulisa' nya mengering. Bulisa' adalah sisa kulit kayu yang masih basah. Bahkan di tempat ini pulalah Tujuh Matoa bermusyawarah membentuk satu ikatan dalam pemerintahan Bone. Sistem pemerintahan ini disebut juga kawerang sesuai tempat musyawarah dilaksanakan.

Sistem Kawerang masing-masing matoa tetap menjadi penguasa di wilayahnya dan sekaligus menjadi dewan pemerintahan kerajaan Bone. Dan ini hanya berlangsung sampai Raja Bone ke-9 La Pattawe MatinroE Ri Bettung (Bulukumba) kira-kira pada tahun 1569.

Kawerang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bone awalnya hanya seluas sekitar sungai. Kemudian lambat laun berkembang seluruh wanua Tanete Riattang termasuk wanua Tibojong di seberang sungai. Seiring kemajuan kerajaan Bone batas wilayah wanua Tanete Riattang kira-kira sekarang  adalah batas Kantor Korem 141 tooddopuli membelok ke jalan Thamrin sampai sungai dan jalan ManurungE.

Pada Pemerintahan Raja Bone pertama lebih memfokuskan pada pembuatan aturan-aturan kemasyarakatan dan hukum ditegakkan. Juga menjalin hubungan dengan Kerajaan-kerajaan tetangga yang besar dan lebih tua seperti Kerajaan Awangpone, Pattiro, Palakka, dan Cina. 

Sebagai politik Assiajingeng untuk meredam kembalinya zaman Sianre Bale dan  Permaisuri Raja Bone I adalah Manurunge Ri Toro mempunyai anak 4 orang yaitu La Umasa, I Pattanra wanua, We Tenri Salogo dan We Aratiga. Kemudian anaknya bernama Laumasa menggantikan ayahnya sebagai Raja Bone ke-2.

Pada zaman Raja Laumasa Raja Bone ke-2 berkuasa (1365-1398). Kota kawerang berkembang, baik jumlah penduduk maupun pemukiman sehingga kota meluas seluruh wilayah Tanete Riattang dan arah perkembangan kota  mulai begeser ke wanua Macege sebagai kampung industri pembuatan alat-alat pertanian dan senjata, utamanya Parang Cege.

Parang cege (bangkung Cege), adalah parang yang bentuknya lebar. Macege berarti tempat pembuatan parang. Bahan baku besi didatangkan dari  Kelling dekat Lampoko. Raja Bone ke-2 La Umasa yang hobby dan ahli dalam pembuatan alat senjata dari besi. Mendirikan Istana di wilayah macege sehinggah ramai penduduk bermukim utamanya dekat kediaman baginda di Lassonrong.

Disekitar sumur Lassonrong. Lassonrong berasal dari nama istana raja La Umasa mempunyai beranda di belakang istana dan istana di kelilingi gundukan tanah liat diatasnya pagar bambu yang runcing sebagai benteng. Inilah yang disebut Sonrong. Lassonrong berarti istana yang mempunyai beranda belakang dan pagar benteng. Di beranda belakang istana tempat mallanro atau menempa besi milik Baginda.

Pada masa  pemerintahan Baginda banyak melakukan pengembangan wilayah baik dengan peperangan maupun dengan cara perkawinan. Baginda menaklukkan wanua Biru di selatan , wanua Cellu di timur dan Wanua Anrobiring dekat macege dan juga wanua Majang.

Tahun 1398 Raja La Umasa mangkat dan dimakamkan di jeppeE. Kampung yang ditumbuhi pohon Jeppe. Pohonnya besar dan tinggi menjulang. Sekarang wilayah itu  sekitar jalan Ahmad Yani watampone.

Semasa hidupnya La umasa bergelar Petta Panre BessiE dan juga bergelar Petta To Mulaiye Panreng (Yang pertama di makamkan) gelar anumerta. Baginda La Umasa juga yang pertama bergelar Mangkau. Mengambil tradisi leluhurnya ketika Bone purba sebagai kerajaan Wewangriu bergelar Mangkau. La Umasa mempunyai anak dua bernama To Suwalle dan To Salawakkang. Tetapi tidak menjadi Raja. Justru yang menggantikan La Umasa adalah kemanakannya. Anak Raja Palakka bernama La Saliyu Karempaluwa. Raja termudah dalam sejarah Kerajaan Bone.

LaSaliyu Karempalua sebagai Raja Bone ke 3 (1398-1470), dikisahkan,  penculikan dirinya ketika masih bayi usia baru beberapa hari atas perintah Raja Bone La umasa untuk menggantikannya karena anak La Umasa tidak memenuhi syarat menjadi Raja.

Lalu hasil musyawarah Matoa Pitu yang pantas menjadi Raja adalah anak  Raja Palakka La Pattikkeng sebab Ibunya adalah Saudara La Umasa anak dari ManurungE Anak Pattola. Hanya antara Raja Palakka La Pattikkeng dengan Raja Bone masih dalam pertikaian. Itulah sebabnya terjadi penculikan yang dipimpin oleh To Suwalle dan To Salawakkang. 

Kisahnya perjalanan pulang dari Palakka setelah menculik bayi  LaSaliyu oleh Sepupunya, anak dari Laumasa sempat beristirahat disuatu telaga untuk memercikkan air dan membasuh muka bayi La Saliyu. Bayi itu bergerak bangun (Cokkong) maka disebutlah sumur itu Lacokkong dan kemudian menjadi tradisi turun temurun setiap anak Raja yang dilahirkan wajib mandikan air lacokkong.

Masa pemerintahan Lasaliyu Kota Kawerang melebar ke Tanete Riawang. Karena di tempat itu berdiri Pasar hadiah dari Ayah La Saliyu Raja Palakka. Pasar tersebut sekarang menjadi Pusat pertokoan di dekat Tanah BangkalaE sebagai Pusat kota Watampone. Dan Istana Raja Bone ke-3 La Saliyu  berdiri berdampingan dengan Pasar di depan istana dibuat  alun alun disebut Tanah BangkalaE.

Dahulu Tanah Bangkalae berfungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat  mendengarkan informasi dari Raja atau Pejabat Istana. Kemudian akhirnya menjadi tempat pelantikan Raja-Raja Bone yang dimulai dari Raja Bone ke- 4 We Banrigau. Tanah BangkalaE dijadikan pula pusat Bone. Possi Tanah. Maka perkembangan kota Kawerang meluas mulai Wanua Tanteriatang, Macege utamanya Lassonrong, Tibojong dan Wanua Taneteriawang  disebut To Kawerang, maksudnya orang kota. Adapun batas wanua Tante riawang Termasuk taman bunga dan sampai batas Bukaka dan batas di laccokkong sekarang.

Ketika Raja Bone Lasaliyu masih kanak-kanak, maka kedua sepupunya melaksanakan pemerintahan dengan tugas masing-masing:
  1. To Suwalle bertugas mewakili Raja Bone urusan pemerintahan kedalam sebagai Tomarilaleng kedalam sebagai Tomarilaleng I Kerajaaan Bone
  2. To Salawakka bertugas mengatur urusan pemerintahan keluar dan ini merupakan MakkedangngE Tanah I dari Kerajaan Bone.                                                            
Dalam pelaksanaan sehari-hari keduanya dibantu oleh para Matoa dari tujuh Wanua, setelah menanjak dewasa Raja Lasaliyu mengendalikan pemerintahan, namun tetap dibantu oleh kedua kakak sepupunya. Pada saat berangkat berperang atau kunjungan daerah (kerajaan palili) selalu membawa bendera dan Panji WorongporongngE dan CellaE. Juga baginda membagi Bone dalam tiga wilayah sesuai dengan pembagian bendera yaitu:
  1. Bendera WorongporongE: mambawahi negeri Matajang, Mataangin (Maroanging), Bukaka, Bukaka tengah (kampong tengngaE), Kawerang , Pallengoreng dan Mallayirang (Mallari) dikoordinasi oleh Matoa Matajang.
  2. CellaE ri Atau yaitu yang memakai umbul merah di sebelah kanan dari bendera WorongporoE dipergunakan oleh rakyat dari : Paccing, Tanete (dekat Palenggoreng), Lemo-Lemo ( Desa Carebbu ), Masalle (dekat Melle), Macege, dan Belawa (dekat Maccope). Dipimpin oleh To Suwalle digelar Kajao Ciung.
  3. CellaE ri Abeyo yaitu Negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri dari WorongporoE: Araseng, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padacengnga (desa Padaidi dekat Passippo) dan Madello (dekat desa Mico). Dipimpin oleh To Salawakka digelar Kajao Araseng.
Dalam Lontara disebutkan bahwa Raja ini menaklukkan Negeri Pallengoreng (sebelah selatan Biru), Sinri (dekat Majang), Sancoreng (Ponre), Cerowali, Apala, Bakke Tanete(cina), Attang Salo(dekat Katumpi), Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu(dekat Cerowali), Parippung, dan Lompu, Limampanuwa ri Lau-Ale. Dan pada masa itu Palakka disatukan dengan Kawerang. Juga beberapa wanua datang bergabung secara sukarela. Sehingga kerajaaan-kerajaan tua seperti Cina, Pattiro, Awangpone, Barebbo dan Palakka sudah bergabung dengan Bone.

Baginda membuat perkampungan disebelah utara Kawerang dekat sungai Panyula dan Limpenno (muara sungai dekat Toro) sebagai tempat pelabuhan bagi perahu-perahu kerajaan di tambatkan bersama tempat tinggal pendayung dan petugas perahu Raja.

DARI KOTA KAWERANG MENJADI KOTA LALEBBATA.
                
Raja Bone ke-6 La Uliyo BoteE (1535-1560) adalah pendiri benteng kota sekaligus peletak sistem perkotaan yang tangguh sebagai kota yang mandiri dan modern pada zamannya. Baginda dikenal pandai cermat dalam perencanaan. Pada masa berkuasa baginda didampingi seorang penasihat terkenal Kajao Laliddong yang sering dijuluki Lamellong.

Kajao Laliddong yang dipercayakan mengarsiteki sekaligus pimpinan proyek (pimpro) dalam pembangunan kolosal membangun benteng Kota. Sehingga ada ungkapan ceritra rakyat Bone bahwa “Cicengmi narenreng tekkenna Kajao Laliddong natepui bentengE”.

LALEBBATA KOTA BENTENG

Benteng atau dalam bahasa bugis Lalebbata ini dibuat dari tanah liat diambil dari bukit bukaka. Benteng ini rata-rata tingginya 5 meter. Tebal dinding atas kurang lebih 2 meter dan Tebal dinding bawah (pondasi)15 meter. Sepanjang dinding luar benteng ditanami pohon bambu dan berbagai jenis pohon berfungsi untuk menahan dan mengikat tanah benteng.

Bahan Pembuatannya diambil dari sebagian tanah bukaka. Tapi dinding benteng bagian utara dan timur di samping dari Tanah Liat juga diambil dari tanah disekitar atau di dalam wilayah benteng untuk dijadikan persawahan.

Tehnik pada pembangunan benteng tidak memakai alat perekat tetapi teknik sederhana susun timbun yang mengikuti kontur tanah. Bukan terbuat dari batu merah atau dinding dari batu gunung yang sudah dipahat. Walau ada sebagian benteng memakai batu utamanya dibagian Pintu utama keluar.

Bentuk benteng Bone awalnya segi empat panjang. Kemudian Raja berikutnya melakukan penambahan tinggi benteng dan dipertebal dinding benteng oleh Raja Bone La tenrirawe. Hal inilah nama Kota Kawerang berubah menjadi Lalebbata. Sesuai bentuk kota yang baru dengan adanya benteng dan meluas hampir semua wilayah wanua pitu masuk dalam area benteng.

Pada 1630 Raja La madderemmeng berkuasa mengalami pelebaran Benteng  sebelah Timur dan Utara dan menambah bastion-bastion dekat SalekoE. Bentuk sudut benteng melingkar sebagai bastion dan dipasang meriam-meriam besar. Apalagi  suasana politik ketika itu memanas dengan kebijakan Baginda penghapusan perbudakan. Model Benteng berubah dari segi empat panjang menjadi trapesium. Selain ada pintu Utama Benteng (Seppa Benteng) juga disetiap sisi benteng ada pintu-pintu untuk akses masuk bagi penduduk. Benteng ini dibuat sebagai alat pertahanan juga sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena sumber kekuasaan berada di istana maka peletakan benteng juga berperan untuk pertahanan pusat-pusat hunian dan sumber daya yang ada disekitarnya.

JEJAK BENTENG

Jika  menyelusuri Benteng dimulai dari sudut sebelah selatan kota,  benteng berdiri di atas jalan Kalimantan sekarang terus ke timur melewati pinggir jalan Kawerang melalui persawahan dekat sungai Bone. Di tempat itu berdiri bastion. Lalu ke timur lagi dekat jalan Pramuka disebut Diattang Benteng. Kemudian membelok ke Utara dan di sudut benteng itu terdapat Bubung LoppoE (sumur besar) digunakan untuk persediaan air bagi prajurit Bone.

Ke utara benteng melalui persawahan dekat mesjid jalan Bajoe dan disebut Seppa BentengE. Dan membelok ke arah barat di atas jalan, pada sudut benteng  membulat sebagai bastion tetapi ada pula pelebaran benteng dekat Salekoe juga berdiri Bastion-bastion.

Diatas jalan  menuju Bukaka membelok ke utara kira-kira 200 meter ke arah barat menuju Bukaka dekat Bubung Lagarowang. Komplek kuburan KalokkoE masuk dalam  benteng. Disebut Awang Benteng dari Bukaka menuju ke selatan antara jalan Makmur dengan jalan Benteng adalah bekas benteng  dan bertemu di jalan Kalimantan dekat Kantor Dinas Kesahatan.  Benteng-benteng ini hancur akibat peperangan utamanya dalam perang Bone dengan Belanda. Pada tahun 1920-an benteng-benteng ini umumnya diambil tanahnya dijadikan jalan raya, seperti bagian selatan kota Watampone benteng itu dijadikan jalan Kalimantan sekarang dan begitupula  Lapangan Persibo ditimbun dari tanah benteng yang dahulu adalah persawahan.

WATAMPONE

Ibukota Lalebbata kerajaan Bone berakhir tahun 1905. Ketika Tentara Belanda menaklukkan Bone dengan hasil musyawarah pada tanggal 24 Agustus 1905. Kota Lalebbata berubah menjadi Watampone pada musyawarah Ade Pitu bersama Hindia Belanda di Bola SubbiE Istana Raja La Pawawoi Karaeng Sigeri.

Istana kebanggaan Kerajaan Bone berukir dan besar menghadap Taman Raja atau sekarang Taman Bunga. Kemudian Istana ini di pindahkan ke Makassar dan berdiri di depan Karebosi sebagai tanda penaklukan Bone. Dan kembali ke Bone pada tahun 1922 atas permintaan Rakyat Bone Tetapi sayangnya Istana Bola SubbiE tidak utuh lagi.

Watampone yang berarti Pusatnya Bone. Zaman pemerintahan Hindia Belanda Penataan Kota dibangun. Area kota ditata mulai Wilayah ekonomi, Agama dan pendidikan, pemerintahan dan kalangan bangsawan. Jalan-jalan dibuat, Pohon Asam dan Kenari ditanam di pinggir jalan. Taman ditata seperti Koning Plein atau Taman Raja sekarang jadi Taman Bunga. Dan bangunan bangunan berciri Kolonial didirikan. Istana Raja Bone dibangun untuk menggantikan Istana Bola SubbiE menjadi Kantor Dewan Adat Pitu(Perpustakaan Umum Daerah sekarang di Jalan Merdeka). Yang dipersiapkan Raja Bone La Mappanyukki pada tahun 1930 (Meseum Lapawaoi sekarang).

Bola Soba dipindahkan di jalan Veteran sebagai markas Marsose dan dididrikan Rumah Pejabat Hindia Belanda dengan sebutan Tuan Petoro Bottoa(Controler Residen). Dan Tangsi-tangsi militer dan juga Rumah Sakit.

tahun 2016 Bone telah berusia 686 tahun tetapi jauh dari usia itu Tanah Bone telah ada dengan penduduknya. Sudah tiga kali pergantian nama Ibukota sejak tahun 1330 sampai sekarang . Tetapi penduduknya masih tetap dan senang menyebut ibukotanya dengan sebutan Bone.

Kota Watampone telah menyimpan sejarah panjang dengan penduduknya  tetapi tidak memperlihatkan suatu kota sarat sejarah masa lalu apalagi sebagai ibukota kerajaan Bugis terbesar. Oleh karen itu saatnya sekarang bangunan-bangunan tua bersejarah dan situs-situs perlu dipertahankan dan dilindungi sebagai identitas kota tua.

Jika sekarang mau bangun Bone mestinya atau paling tidak pelajari dulu sejarahnya, agar yang dibangun itu bernilai edukatif yakni bisa memberikan informasi dan pembelajaran kepada generasi.

Peninggalan Bersejarah di Museum Lapawawoi Bone

$
0
0

Salah satu sudut ruang di Museum Lapawawoi
Museum Lapawawoi
Museum La Pawawoi dulunya merupakan istana (Saoraja,red) Raja Bone , A Mappanyukki, saat yang bersangkutan menjadi Raja Bone Ke-34. Museum ini, menyimpan peninggalan Kerajaan Bone, dan terletak di Jalan MH Thamrin, Watampone.



  Museum ini diberi nama Museum La Pawawoi, karena La Pawawoi Karaeng Sigeri sendiri merupakan Raja Bone  Ke 31 pada tahun 1895-1905, yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.

     Istana Raja Bone ini pun dipugar oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, yang dikerjakan tahun 1679 sampai tahun 1981. dan diresmikan menjadi Museum La Pawawoi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof Dr Daud Yusuf, pada tahun 1982.

  Di museum ini, ada satu peninggalan dari Raja Bone ke II, La Ummasa Petta Mulangnge Panre atau Petta Panre BessiE , yaitu Lanreseng atau landasan untuk menempa besi, yang masih tersimpan dan menjadi koleksi dari Museum La Pawawoi. Raja Bone kedua ini merupakan pandai besi karena dialah yang mula-mula menciptakan dan mengajarkan alat-alat dari besi di Bone.. Makamnya terletak di Jalan Ahmad Yani Pusat Kota Watampone
    Lanreseng tersebut merupakan alat yang digunakan untuk membuat berbagai alat-alat dari  besi. Tak hanya itu, koleksi lainnya yaitu  Bessi Sikoi atau besi yang berupa cincin yang saling mengait satu sama lainnya,  milik La Tenri Tata Arung Palakka. Dan piagam penghargaan VOC Belanda kepada Arung Palakka masih tersimpan di Museum La Pawawoi ini. "Piagam itu  merupakan bentuk penghargaan VOC Belanda kepada La Tenri Tatta Arung Palakka atas kerjasamanya saat itu (kooperatif dalam artian sebuah strategi), dan piagam itu bertuliskan tinta emas,".
     Museum Lapawawoi  memiliki lima ruangan, dan masing-masing ruangan itu, menyimpan berbagai koleksi peninggalan kerajaan Bone. Di ruangan pertama atau bagian depan dari Museum ini, menyimpan sejumlah koleksi seperti koleksi keramik, peralatan makan para raja, alat tenun, peralatan bissu, peralatan nelayan, serta duplikat bendera Kerajaan Bone.

    Ruangan kedua atau bagian tengah museum ini, menyimpan pelaminan, peralatan makan Ade Pitu atau Tujuh dewan adat kerajaan, pakaian adat, dan beberapa koleksi keramik lainnya. Di ruangan ini, berjejer sejumlah peralatan makan yang sengaja ditata secara rapi. Demikian halnya dengan pelaminan di ruangan ini.

      Sementara itu, di ruangan ketiga menyimpan silsilah Raja Bone, dari Raja Bone pertama, yaitu Manurunge Ri Matajang hingga Raja Ke 33, . Selain itu, di ruangan ini juga menyimpan duplikat rambut Arung Palakka, duplikat mahkota dan pedang, serta photo Raja Bone dan keturunannya. "Photo penangkapan Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri, dan saat diasingkan di Bandung pun ada di ruangan ini,"
     
     Sedangkan, di ruangan keempat, tersimpan duplikat payung emas Kerajaan Bone, dan perisai kerajaan, kaleo malebu. Dan stempel Kerajaan Bone saat dipimpin Raja Bone ke 30, Fatimah Banri petta Matinroe Ri Bolampare. Stempel itu sendiri, digunakan dalam urusan administrasi kerajaan saat itu. Di ruangan kelima, tersimpan  piagam penghargaan VOC Belanda ke Arung Palakka, dan bessi sikoi milik Arung Palakka, serta sejumlah photo Raja Bone dan keturunannya.


     Museum Lapawawoi, sering mendapat kunjungan baik dari kabupaten Bone maupun dari daerah lain. Tak hanya itu,  pengunjung dari provinsi lain di Indonesia juga kerap mengunjungi museum ini. Bahkan, ada pengunjung yang berasal dari luar negeri, seperti Malaysia, Singapore, Belanda, hingga Prancis. "Umumnya pengunjung yang berasal dari Malaysia dan Singapore itu, masih mempunyai keturunan Bugis ,".    
      Umumnya, pengunjung yang datang ke museum ini, yaitu pelajar baik di tingkat SD sampai SMA, dan mahasiswa. Mungkin sebagai generasi muda sudah mulai tertarik  mengunjungi,nya. terutama anak sekolah dan mahasiswa. Dia berharap, agar masyarakat paham sejarah budaya, tradisi dan pahlawannya, dan ikut melestarikannya. Apalagi, Kabupaten Bone menjadi salah satu ikon pariwisata Sulsel.


Museum Lapawawoi terletak di pusat kota Watampone. Tempat ini menjadi tempat yang paling sering dikunjungi terlebih bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kejayaan Bone masa lampau. Di museum ini terdapat berbagai koleksi benda peninggalan Kerajaan Bone yang masih terawatt dengan baik. Benda-benda tersebut merupakan bukti kebesaran Kerajaan Bone pada masa lalu.
Adapun benda-benda yang masih dipamerkan di museum Lapawawoi antara lain :
1.    Peralatan Upacara Penjemputan
2.    Peralatan Makan untuk Raja
3.    Peralatan Bissu dan Upacara Spiritual
4.    Peralatan Perkawinan
5.    Peralatan Tenun
6.    Peralatan Perang
7.    Duplikat Payung Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge yang terletak berdampingan dengan Rumah Jabatan Bupati Bone)
8.    Duplikat Selempang Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge)
9.    Stempel Kerajaan
10.    Pakaian Adat
11.    Peralatan Nelayan
12.    Peralatan Musik Tradisional
13.    Duplikat Mahkota Arung Palakka
14.    Piagam VOC
15.    Koleksi Mata Uang Kuno
16.    Koleksi Keramik
17.    Koleksi Buku Lontara
18.    Koleksi Foto-foto Kerajaan

(Teluk Bone)

Etika Jabat Tangan Suku Bugis

$
0
0
Berjabat tangan atau bersalam-salam merupakan kebiasaan yang terjadi pada saat dua orang bertemu atau lebih. Berjabat tangan merupakan pernyataan penghargaan, rasa gembira, rasa hormat, dan rasa simpati.

Secara ilmiah ketika kita berjabat tangan otak akan memproduksi hormon kebahagian atau endorfin yang dapat memberikan rasa bahagia ketika bertemu dan berjabat tangan dengan orang lain. Berjabat tangan sebelum melakukan interaksi sosial akan meningkatkan dampak positif sekaligus mengurangi dampak negatif dalam pergaulan.

Orang bersalaman waktu berkenalan, saat mengucapkan selamat atas pengangkatan pada jabatan baru, saat menyatakan rasa penyesalan, saat memberi dan meminta maaf, waktu turut mengucapkan rasa duka atas kematian seseorang, dan peristiwa lainnya, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.

Jabatan tangan yang terbaik adalah salaman yang digerakkan oleh hati yang bersih. Adakalanya jabatan tangan diikuti dengan gerak bagian badan lainnya. Misalnya saling menempelkan pipi atau saling merangkul. Kebiasaan ini hanya berlaku dikalangan tertentu saja. Namun, akhir-akhir ini saling menempelkan pipi mulai menjadi kebiasaan ibu-ibu.

Cara memberi salam dengan merapatkan kedua telapak tangan dalam bentuh sembah, dan membuka sedikit ujung jari-jari tangan untuk mengapit sejenak tangan orang yang disalami ini berlaku di masyarakat tertentu saja, dan belum menjadi kebiasaan meluas di antara bangsa-bangsa.

Tidak semua perjumpaan dimulai dengan jabat tangan. Lazimnya sewaktu bertemu, wanita yang lebih tua mengulurkan tangan untuk disalam oleh wanita yang lebih muda ataupun oleh pria.

Berjabat tangan sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan diberbagai negara termasuk di Indonesia sendiri, bahkan jabat tangan dalam dunia bisnis sudah menjadi etika yang dilakukan para pebisnis dengan rekan kerjanya. Bahkan jabat tangan bukan hanya dilakukan oleh orang yang saling mengenal tetapi juga bagi mereka yang belum saling mengenal dianjurkan untuk berjabat tangan agar kondisi pertemuan bisa mencair.

Dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain kita dianjurkan untuk berjabat tangan karena berjabat tangan akan semakin mempererat hubungan kita dengan orang lain, etika berjabat tangan sesusngguhnya memiliki tujuan untuk mempererat rasa persaudaraan antara sesama umat manusia, dan menghilangkan rasa permusuhan diantara kita selain itu akan senatiasa memberikan positif thinking kepada orang lain.

Sebagai manusia biasa seringkali terjadi kesalahan dan kekhilafan dalam interaksi sosial kita. Dengan berjabat tangan, maka  kita dapat meredam dampak negatif dari kesalahpahaman yang mungkin terjadi, dan mampu meredam permasalahan dan memulihkan situasi psikologis.

Dikalangan suku Bugis jabat tangan biasa disebut ‘majjama’. Terdapat beberapa etika yang sering dilakukan pada waktu berjabat tangan, antara lain ketika berjabat tangan maka diantara keduanya saling memandang satu sama lain. Tidak dibenarkan menjabat tangan sesesorang sambil mengarahkan pandangan kita di tempat lain. Artinya pada waktu berjabat tangan maka kita melihat bayangan (tau-tau) kita sendiri pada retina mata orang yang dijabat tangannya.

Sayangnya, sering kita melihat seorang pejabat atau siapapun ketika dijabat tangannya oleh orang lain maka ia hanya menjulurkan tangannya dan tidak melihat wajah orang yang menjabat tangannya. Hal seperti ini tidak dibenarkan oleh suku bugis karena sama saja meremehkan dan penghinaan. Orang lain ingin bersalaman dengan kita karena ia menghargai kita, maka niat baik itu harus dibalas dengan perilaku yang baik pula. Bukan justru memperlihatkan keangkuhan demi pencitraan belaka.

Tetua Bugis mengatakan, “Riwettummu mennang siame’ pale’ lima ripadammu rupatau, tangngai tau-taummu ri tau-tau matanna balimmu, nasaba narekko massaileko padatoha murese-resei pakkalebbina padammu rupatau “ (Ketika engkau berjabat tangan dengan sesamamu manusia, lihatlah bayanganmu di retinanya orang yang dijabat tangannya, sebab jika engkau tidak melihatnya sama halnya menginjak-injak penghargaan dari sesamamu manusia).

Dikalangan suku Bugis tidak dikenal jabat tangan sambil saling menempelkan pipi satu sama lain apalagi berlainan jenis kelamin serta bukan muhrim. Yang sering dilakukan hanya saling berangkulan itupun dengan jenis kelamin yang sama.

Hubungan Bone dengan Buton

$
0
0
Tahun 1660 Masehi. Terik masih membakar tatkala perahu pria bernama Arung Palakka itu menyusuri sungai menuju tepian Anno 1660. Lelaki perkasa berambut panjang yang ditahbiskan sebagai pahlawan Tanah Bugis itu, memasuki Negeri Buton demi harapan akan keadilan.

Ia bukanlah seorang pecundang yang jauh melarikan diri ke negeri seberang. Perjalanannya didorong hasrat humanisme dan kecintaan kepada tanah air. Ia tidak melihat daerah ini sebagai negeri yang jauh dari negerinya, melainkan sebuah negeri yang persaudaraannya dengan nenek moyang Bugis sedekat dan sepenting urat leher bagi manusia.


Ia tidak sekadar berkunjung sebagaimana penjelajah Eropa yang mencari jalan menuju pusat rempah-rempah. Ia sedang pulang ke tanah leluhur yang telah mewariskan napas bagi detak jantungnya.

Nenek moyang Bugis dan nenek moyang Buton telah membuat prasasti persaudaraan abadi untuk saling menjaga kehormatan masing-masing. Leluhur Bugis menyimbolkan persaudaraan itu dalam kalimat “Bone ri lau, Butung ri aja.” Bone di Barat dan Buton di timur.

Ini  adalah simbolisasi dari persaudaraan yang sesungguhnya telah memintas batas geografis. Jarak antara dua bangsa adalah jarak atas kategori dan apa yang tampak. Tapi darah yang sama telah mengaliri nadi masing-masing sehingga bertaut sebagai dua saudara sekandung.

Hikayat kuno tanah Luwu –yang disebut-sebut sebagai bangsa tertua di jazirah selatan Celebes—juga mengisahkan tentang orang Wolio –sebagai bagian dari Buton– sebagai saudara orang Luwu. Bahkan, lembaran lontara’ kuno La Galigo juga menyebut nama Wolio dalam peta kuno yang menjadi panduan dalam memahami realitas geografi di masa silam.

Arung Palakka memandang laut. Batinnya menerawang menelusuri ingatan tentang nasib diri dan negerinya. Pada masa itu, Gowa sudah tercatat sebagai negeri yang tengah berkilau di Nusantara. Gowa adalah negeri terkuat, memiliki bala tentara yang dahsyat dan disegani bangsa-bangsa lain yang diembus belahan angin timur. Gowa mencatat prestasi sebagai bangsa yang punya keinginan besar merengkuh ilmu pengetahuan. Kerajaan Gowa unggul dalam hal teknologi.

Orang Gowa telah menerjemahkan naskah pembuatan meriam dari bahasa Spanyol kebahasa Makassar sejak tahun 1600. Kitab yang ditulis Andreas Moyona asal Spanyol itu hanyalah satu dari banyak kitab risalah teknologi Eropa yang ditransliterasi ke bahasa Makassar dan membuat Gowa tercatat sebagai satu-satunya negeri di Nusantara yang paling intens memasuki bidang-bidang ilmiah di abad ke-17.

Melalui ilmu pengetahuan, bangsa Gowa membangun persenjataan yang handal demi menghadapi bajak laut yang mengganas di perairan Nusantara, sekaligus memulai proses ekspansi ke bangsa-bangsa lain. Melalui persenjataan yang dahsyat serta hasrat kuasa yang menghinggapi para bangsawannya, Gowa begitu percaya diri ketika menantang Belanda untuk berperang dan menunjukkan siapa pemilik supremasi sesungguhnya di lautan sekaligus memulai proses ekspansi ke bangsa-bangsa lain.

Ini adalah tahun di mana politik terus bergejolak di masyarakat jazirah selatan Sulawesi. Sejak abad ke-16, pada masa Karaeng Tumaparisi Kallona, Kerajaan Gowa telah mengekspansi seluruh wilayah Sulawesi bagian selatan. Kebijakan ekspansi ini memicu perlawanan yang dahsyat dari berbagai wilayah.

Arung Palakka mencuat sebagai sosok yang terpanggil untuk membebaskan derita bangsanya. Batinnya terluka ketika menyaksikan puluhan ribu bangsa Bone yang dipekerjakan untuk menggali parit dan membuat kubu pertahanan di sepanjang Benteng Somba Opu. Gowa memang tengah membentengi diri dari berbagai ancaman, namun di saat bersamaan juga berprilaku laksana pasukan penebas mereka yang tidak bersepakat di bawah panji kebesaran.

Namun, apalah arti keperkasaan jika tidak diimbangi dengan rasa keadilan. Keperkasaan mestinya digunakan untuk melidungi segenap suku bangsa, dan bukannya untuk menjajah yang lain. Meskipun besar di Istana Gowa, harga diri dan kehormatan Arung Palakka sebagai bangsa Bugis seakan tercabik-cabik menyaksikan ketidakdilan di depan mata. Dalam dirinya mengalir sifat-sifat utama seorang manusia Bugis.

Arung Palakka memelihara nilai keutamaan manusia Bugis yang meliputi siri na pesse (harga diri atau kehormatan dan rasa malu dipegang erat), dengan perasaan sakit dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa. Ia menyadari lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate’ siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate’ siri’). Bukankah kata nenek moyang Bugis mati dengan penuh kehormatan adalah matinya para ksatria yang berumah di atas landasan nilai?

Ia meninggalkan tanah Bugis dengan ikrar untuk kembali membuat perhitungan. Semangatnya menyala kala mengingat bangsanya yang terabaikan. Di pundak pria itu terselip beban sejarah serta amanah untuk membebaskan sebuah bangsa, menegakkan kalimat keadilan, dan menguatkan yang lemah.

Menurut tradisi lisan Bugis, ia mengucapkan sumpah agar kelak bisa kembali dan membebaskan rakyat Bugis. Ia mengikat (singkeru’) sebuah simpul dengan sulur sebuah pohon yang tumbuh di kaki bukit Cempalagi untuk menandai pengucapan sumpahnya dan berkata dirinya akan membuka simpul itu jika telah memenuhi sumpahnya.

Kata-kata itu menjadi janji yang kemudian mengantarkan dirinya saat menaiki kapal yang membawanya ke negeri Buton. Inilah sebuah babakan sejarah yang menandai proses suaka politik pertama di negeri ini.

Sementara itu, di tanah Buton, negeri para sufi dan auliya itu bisa menampung dan menjadi tempat bernaung dari panas dan hujan. Penduduk di pusat pemerintahan menamakan dirinya orang Wolio, sebagai tanda akan hasrat yang teramat kuat di ranah spiritualitas. Wolio diyakini berasal dari kata waliyullah, yang artinya seseorang yang sangat dekat dengan Allah. Maka kecintaan kepada Allah menjadi sumbu utama yang melandasi gerak masyarakat.

Saking cintanya kepada Allah, manusia-manusia Buton bersedia melindungi apapun mahluk Allah yang singgah ke tanah ini. Di sini bisa dibentangkan hukum tawakara yang mewajibkan para pejabat kesultanan untuk melindungi siapapun yang datang mencari perlindungan. Inilah konsep suaka politik yang paling awal dalam sejarah Nusantara.

Arung Palakka bukanlah yang pertama menuai berkah atas hukum ini. Sebelumnya, tercatat sekurang-kurangnya dua peristiwa di mana kesultanan memberikan perlindungan kepada mereka yang terdampar.
Peristiwa pertama adalah ketika kesultanan melindungi Raja Gowa ke-13 yakni Karaeng Tunipasulu, yang merupakan kakak Sultan Alauddin (Raja Gowa ke-14) yang juga merupakan kakek Sultan Hasanuddin. Tunipasulu tiba pada tahun 1602 dan tinggal di Buton hingga saat mangkat pada 5 Juli 1617. Ia dikuburkan di dalam Benteng Wolio dan menjadi seorang ulama yang cukup disegani.

Perlindungan atau suaka politik yang kedua diberikan Sultan Mardan Ali (1647-1654) kepada anak buah kapal (ABK) lima kapal Belanda yang terdampar di Kabaena. Meskipun rakyat merampok kapal tersebut sehingga Belanda murka besar, namun Sultan Mardan Ali telah memberikan perlindungan kepada orang Belanda tersebut, bahkan menyiapkan rumahnya untuk menjadi tempat penampungan. Peristiwa ini dicatat oleh seorang anak buah kapal dalam bahasa Jerman dan tersimpan rapi.

Peristiwa ini pula yang menjadi cikal-bakal dari martirnya Mardan Ali demi menegakkan nilai yang dyakininya. Ia mengorbankan diri dan dicatat lembar sejarah sebagai tragedi seorang sultan yang dieksekusi mati demi tegaknya hukum dan aturan nilai. Catatan itu menegaskan satu fakta bahwa karakter perlindungan dimanifestasikan pihak kesultanan tanpa pandang bulu, bahkan kepada musuh sekalipun.

Bagi masyarakat Buton, Arung Palakka bukanlah orang lain. Silsilah yang disimpan banyak warga setempat menyebutkan dirinya adalah seorang saudara yang sedekat urat leher. Di sini, ia lebih dikenal sebagai La Tondu, keturunan langsung La Kabaura yang merupakan satu dari empat anak La Maindo, Raja Batauga. Dari garis keturunan La Kabaura, terdapat nama Sabandara iBone, yang kemudian menurunkan La Tenritatta atau Arung Palakka. Versi lokal ini tumbuh subur dan dipelihara sebagai keyakinan tentang riwayat pahlawan tanah Bugis ini.

Tahun 1660, Tanah Wolio adalah bagian dari jalur perdagangan internasional. Hilir mudik kapal yang singgah ke belahan timur Nusantara, juga menyempatkan diri ke tanah ini.  Sebagai negeri yang menjadi urat nadi penting bagi mata rantai perdagangan dan jaringan antar pulau di kawasan Nusantara, Buton berposisi penting hingga menyilaukan mata bangsa-bangsa Eropa serta Portugis yang tengah berebut jalur perdagangan rempah-rempah.

Kedatangan bangsa Eropa menjadi awal dari silang budaya serta dinamika globalisasi. Maka wawasan masyarakatnya mulai mengangkasa seiring dengan mitos tentang perahu yang menembus belahan bumi manapun. Maka mulailah abad baru penguasaan atas laut. Orang Buton telah berhasrat untuk menjangkau lautan, mengunjungi negeri-negeri yang jauh sekaligus mengembangkan kebudayaan bahari yang perkasa.

Dengan segala kebersahaannya, mereka telah membuktikan dirinya sebagai pelaut tangguh yang mengunjungi segenap pesisir pantai demi mencari penghidupan sekaligus membangun peradaban yang meskipun tidak begitu benderang dalam torehan sejarah, akan tetapi dilingkupi nilai-nilai kebajikan dan spiritualitas. Jejak mereka sebagai pelaut tertoreh di negeri-negeri belahan timur, mulai Ternate, Tidore, hingga Papua. Petualangan mereka juga berhembus seiring angin hingga tanah Marege di Australia sebelah utara, pada tahun-tahun yang jauh sebelum datangnya bangsa Inggris ke tanah luas itu.

Mereka memang tidak membangun satu peradaban besar dengan pilar-pilar ilmu pengetahuan yang kukuh, namun mereka meletakkan landasan spiritual serta keyakinan tentang kebudayaan yang dikuatkan oleh nilai kebajikan dan kemanusiaan. Karakter mereka adalah serupa angin yang menyebar, namun dengan segera bisa menjelma sebagai warga lokal yang menyemarakkan iklim multikuturalisme di satu kawasan.

Melalui Islam yang masuk sejak abad ke-15 lebih awal dari Gowa, orang-orang Buton telah mematrikan seluruh kecintaannya kepada jalan spiritual melalui perjalanan yang kemudian mengislamkan beberapa tempat di kawasan timur.

Buton adalah negeri para sufi. Ungkapan ini sudah lama terpatri di benak para penjelajah yang mengitari perairan Nusantara. Bahkan di masa ketika Islam belum bergema di tanah ini, catatan kuno Negarakertagama yang tersohor di Majapahit juga menyebutkan Buton sebagai negerinya para resi, sebagaimana kutipan berikut:

… Desa keresian seperti berikut : Sampud, Rupit dan Pilan Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman didirikan lingga dan saluran air. Yang Mulia Mahaguru demiklan sebutan beliau. Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut Serat Kekancingan. Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, di antaranya yang penting : Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah desa perdikan Siwa….

Dalam terminologi Hindu, resi identik dengan sosok bijaksana yang memberi jawab atas segala tanya yang menyangkut zaman. Resi adalah seseorang yang memiliki kualitas kecendekiaan dan memandang zaman dengan penuh bijaksana. Resi adalah mereka yang berumah di bumi, sekaligus berumah di langit demi mencari jawaban atas segala problem yang bertunas di bumi. Jika Buton adalah negeri para resi, maka di tempat ini bisa ditemukan tradisi kearifan yang sudah lama berurat akar dengan masyarakatnya.

Tapi Buton bukanlah negeri Hindu. Buton memproklamirkan dirinya sebagai negeri Islam, yang mewariskan estafet kepemimpinan keislaman sejak masa Rasulullah. Setiap sultan, selalu mendapat gelar khalifatul khamis, sebagai perlambang dari khalifah kelima yang melanjutkan tradisi kepemimpinan empat khalifah yang bijaksana, mulai dari Abu Bakar Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib.

Di tanah Buton, kecintaan kepada Rasulullah dan tradisi kearifan adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Mungkin, atas alasan ini pula, bangsa ini sedemikian membuka diri pada pustaka dan khasanah tasawuf yang berdatangan dari berbagai bangsa mulai dari Aceh hingga Timur Tengah. Kecintaan pada khasanah tradisi Islam telah membuka gerbang ilmu hingga membumikannya pada segenap ritual, tata cara pemerintahan, dan mekanisme hubungan antara pemimpin dan rakyatnya. Islam adalah kemudi ke arah mana kesultanan bergerak laksana kapal yanga anggun dan membelah lautan. Islam adalah layar. Islam adalah pelita, mercusuar di tengah kegelapan.

Arung Palakka yang ditemani sejumlah tubarani (ksatria) Bugis memandang daratan. Di pesisir pulau karang itu, ia menyaksikan berbagai perahu jenis lambo, sope-sope, dan perahu kecil yang dinamakan koli-koli. Ia sadar bahwa perahu yang berjajar itu digunakan masyarakat tidak sekadar sebagai untuk mengitari kepulauan yang bernaung di bawah payung kesultanan. Namun perahu itu juga digunakan para pelaut sebagai kanvas temlat mereka melepaskan ekspresi kecintaan atas laut.

Ia menyaksikan sebuah bandar atau pelabuhan yang ramai. Beberapa pejabat Belanda telah mengabarkan betapa ramainya perdagangan di wilayah tersebut. Menurut catatan Gubernur Ambon Antonio Van den Heuvel, kapal-kapal di Buton hilir mudik memperdagangkan padi dan emas. Berita lain didapatkan dari catatan Kerckingh, seorang saudagar Melayu di Malaysia yang mengatakan bahwa armada sejumlah 25-40 kapal yang membawa kain tenun, padi, porselen, dan sejumlah besar koin berangkat dari Malaysia ke Ambon setiap tahun.

Dalam pelayaran tersebut, mereka singgah ke Buton untuk melakukan pertukaran kain yang berlangsung di atas kapal. Laporan resmi pemerintah Hindia Belanda juga mengisahkan kegiatan ekonomi. Buton melakukan import tekstil dari India selampurri dan gerrasen, bahan pakaian, kelapa, padi, garam, dan gula coklat. Sementara Buton juga melakukan eksport yakni teripang, lilin, bahan pakaian, peti kayu, dan kayu damar.

Di tepi pelabuhan itu, saudaranya Sultan Malik Sirullah (Sultan Buton ke-9) atau kerap disapa La Awu telah menyambutnya. Di tanah ini, sosok seorang sultan bukanlah sosok jagoan yang menaklukan banyak kerajaan. Sosok sultan adalah sosok yang melepaskan segala naluri dunianya demi memilih jalan spiritual.

Seorang sultan adalah pemimpin yang memberikan ketenangan, memberikan bimbingan spiritual, dan menguatkan seluruh anak bangsa. Ditemani sultan, Arung Palakka menyaksikan pelabuhan yang ramai, kapal-kapal yang singgah, serta betapa sigapnya para juru bahasa yang merupakan staf dari sahbandar untuk menemui para nakhoda atau kelasi. Ia mengamini pendapat Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen yang terkagum-kagum saat melihat pelabuhan bagus dan aktivitas ekonomi.

Ia lalu bergerak menuju pusat kota Wolio. Ia melihat benteng besar yang mengelilingi pusat pemerintahan masa kesultanan. Benteng itu terbuat dari batu hitam yang kokoh dan menutupi seluruh perkampungan. Hampir pasti, ia akan membandingna konstruksi bebatuan itu dengan benteng-benteng buatan VOC di banyak negeri. Juga dnegan Benteng Sombaopu yang dibangun orang-orang Makassar. Benteng ini jelas lebih luas, lebih kukuh, dengan konstruksi yang menantang laut lewat meriam-meriam yang mengacung. Ia juga melihat sebuah tiang bendera yang dari kejauhan mengibarkan panji kebesaran Kesultanan Buton. Jarak benteng dan lautan sekitar tiga kilometer. Pemilihan Wolio sebagai pemukiman tampaknya disebabkan kondisi geografis wilayah ini yang sangat strategis dari segi pertahanan dan ekologis.

Benteng kukuh itu membersitkan sebuah refkeksi tentang keadaan wilayah yang setiap saat menghadapi risiko ketidakamanan dan ancaman. Bajak laut adalah momok yang menggetarkan saraf ketakutan masyarakat. Entah sejak kapan bajak laut asal Tobelo mulai merajalela di lautan, namun bisa dilacak sejak Kerajaan Ternate menggunakan perahu dan tenaga mereka untuk ekspedisi lintas laut.

Perairan Sulawesi di abad ke-17 adalah perairan yang serupa medan laga sebab dipenuhi bajak laut yang mengganas dan kerap menghancurkan pemukiman penduduk. Sedemikian tersohornya bajak laut Tobelo hingga dicatat dalam syair Kerajaan Bima dengan kalimat, “Riuh rendah ia mengangkut// berjalan beriring seperti semut// rupanya bagai setan mengerbang rambut// tubuhnya hitam memakai kancut.

Selain ancaman dari bajak laut, Kesultanan Buton juga menghadapi ancaman dari beberapa kerajaan besar yang hendak mencengkeram. Maka ratusan benteng didirikan demi menghada[I ancaman tersebut serta memberikan perasaan aman kepada seluruh anak negeri. Sedmikian banyaknya ancaman tersebut bisa dilihat pada syair yang berikut:

Mopangurapina motingarapina lipu
Moneyatina bemohumbunina kota
Siymbau Gowa atoluwu Otobungku
Tee malingu saro simbapuyana

Soopodo maka moto penena gunana
Temola hina ampadeyana ilipu
Asadaa daan sakiaiya zamani
Owalanda indamo tee dimbana

Kaapaaka karana tongko indapo
Tee walanda ipiya malona  yitu
Adika timbu tajagani taranate
Tajagani Gowa tongkona adika bara

Samatangkana loji imatanaeyo
Amarosomo kota I sukanayo
Amatangkamo mboorena lipu siy
Akosaomo labu rope labu wana

Yang berkehendak menundukkan negeri
Yang berniat menerang benteng
Seperti Gowa, Luwu, dan Tobungku
Dan segala yang disebut mau menyerang

Ringkasnya yang teramat gunanya
Dan yang terlebih gunanya di negeri
Tetap selama-lamanya jaman
Belanda yang tak ada bandingannya

Sebab karena waktu belum ada
Dengan Belanda beberapa waktu lalu
Musim Timur kita menjaga Ternate
Menjaga Gowa waktunya musim barat

Setelah kuat loji di timur
Teguh tertiblah benteng di barat
Sudah kuat kedudukan negeri ini
Bernama berlabuh di lautan, berlabuh buritan

Maka pemukiman di perbukitan adalah solusi terbaik. Perbukitan itu secara alamiah menjadi benteng terjal yang menyulitkan siapapun yang hendak menghancurkan kota. Wilayah perbukitan juga memudahkan untuk mengawasi Selat Baubau sebagai pintu gerbang utama menuju kota.

Dinamika perkotaan kemudian dipusatkan di atas bukit, pada tempat yang dikelilingi bebatuan yang membentuk sebuah benteng perkasa. Wilayah Wolio yang terletak di atas bukit, berhadapan dengan Selat Baubau sebagai pintu gerbang utama keluar masuk wilayah Kota Buton. Selain itu, pebukitan yang terjal itu sekaligus merupakan benteng pertahanan alami yang menjaga kedaulatan wilayah.

Maka benteng ini adalah awal dari sebuah peradaban. Bahwa di tengah segala bentuk serangan yang datang, maka berumah di dalam benteng adalah satu solusi terbaik demi melancarkan perahu kesultanan membelah samudera kehidupan. Pilihan untuk berumah di dalam benteng, kemudian menjadi awal dari mekarnya sebuah peradaban serta dinamika yang kemudian tercatat dalam lembar sejarah.

Sungguh mencengangkan melihat sumber-sumber tradisional tentang sejarah Buton justru senantiasa menyebut kata kota yang oleh beberapa sejarawan setempat diartikan sebagai kata benteng. Beberapa naskah klasik kabanti[8] Ajonga Inda Malusa yang ditulis Haji Abdul Ganiu atau Kenepulu Bula menyebut kota untuk kawasan pebukitan yang dikitari benteng, sebagaimana disaksikan Arung Palakka

Siympompuu yingkoo ukakaangi;
Ohukumu bhey malapeyakana;
Sabharaaka miya iparintangimu;

Bholi yanggea sabhara oni mosala;
Simbou waye isarongi masabuna;
Ikumbewaha tongkona apewau kota;
Amufakamo sabhara Siolimbona;
Tee malingu sabhara miya ogena;
Tee moduka sabhara miya kidina;
Asaangumo manga bheya pasabua;
Alawanimo amendeyupo asabu;
Tabeyanamo padhapo amondo kota;
Amondoaka kota siy kuundamo;
Apasabuaku yindamo bheku mendeyu;
Amondo kota aminamo ikarona;
Apepepasabu miya bhari agagamo;
Amendeumo manga bhea pasabua;
Akamatamo rouna ampadeana;
Wakutuuna apewau kota yitu;
Apaddemea sabhara arataana;
Amembalimo ikandena isumpuna;
Omiya bhari mokarajaana kota;

Baru saja engkau kukuhkan;
Hukum untuk memberbaikinya;
Segenap rakyat yang engkau perintah;
Jangan peduli segala kata yang salah;
Konon yang disebut memakzulkan diri;
Di Kumbewaha ketika membuat benteng;
Telah mufakat segenap Siolimbona

Dan dengan segenap orang besar;
Dan juga segenap rakyat kecil;
Telah bersatu mereka memakzulkannya;
Dia menjawab belum mau makzulkan diri;
Kecuali sudah selesai Benteng;
Selesai benteng ini aku sudah mau;
Dimakzulkan tidak lagi kutolak;
Selesai benteng sudah dari dirinya;

Bermohon berhenti rakyat sudah menolak;
Mereka menolak untuk dimakzulkan;
Karena menyaksikan wujud kegunaannya;
Ketika ia membuat benteng itu;
Habislah segala hartanya;
Telah menjadi makanan dan minuman;
Rakyat yang mengerjakan benteng;

Lantas jika benteng itu adalah sebuah kota apakah yang bisa ditemukan di sana? Arung Palakka menyaksikan sebuah gerak yang serba tertata. Di situ terdapat penataan ruang-ruang tradisional untuk pemukiman, pemerintahan, maupun spiritual. Ini juga bisa ditemukan pada lanskap benteng-benteng yang ada di Eropa. Dalam hal benteng, penataan ruang tersebut sudah dilakukan, sehingga bisa disimpulkan bahwa konsep kota modern sudah berkembang di wilayah tenggara Sulawesi ini.

Mengapa pula orang Buton menyebut wilayah itu sebagai kota? Dalam sejumlah catatan, kata kota berasal dari kata kutho (istilah Sansekerta) bermakna bangunan tembok keliling yang berfungsi sebagai pengaman dan pembentuk ruang lingkungan. Beberapa bangsa membangun pemukiman (intra muros) baik raja dan kerabat, para bangsawan serta masyarakat dalam sebuah kawasan yang disebut kota. Dalam pengertian yang lebih luas kutho menjadi tempat aktivitas ekonomi, politik, administrasi pemerintahan, kegiatan keagamaan dan pusat informasi. Karena kutho menjadi pusat informasi tentu saja akan ditunjang oleh pembangunan infrastruktur.

Selain itu kota juga dimaknai sebagai kumpulan individu dan kelompok organisasi dengan jumlah yang sangat besar. Pada masa itu, keragaman adalah bagian dari tumbuhnya Wolio sebagai pusat peradaban di masa Kesultanan Buton. Kota Wolio tumbuh dari dinamika antar pendatang dan warga pribumi yang lalu bersepakat membentuk sebuah kerajaan besar. Maka tidak mengherankan jika penduduk masa itu terdiri atas bangsa-bangsa dan aneka etnik yang diikat dalam satu paying hokum yang sama. Heterogenitas lalu meniscayakan interaksi yang memperkukuh eksistensi masing-masing baik itu ras, kerabat, profesi, agama dan lain sebagainya.

Sungguh indah menyaksikan keragaman yang dikelola dalam bingkai filosofi nenas, sebagai filosofi kesultanan. Di tubuh nenas itu terdapat 72 duri yang merupakan simbol dari keragaman atau heterogenitas yang memenuhi jazirah Pulau Buton.

Selain pelukisan tentang filosofi, di benteng itu juga terdapat fasilitas ekonomi, fasilitas perdagangan, fasilitas pelabuhan nelayan, hingga fasilitas keagamaan. Benteng Wolio memiliki tata ruang yang terdiri atas perkampungan penduduk dan fasilitas umum yang kompleks. Fasilitas yang bisa ditemukan di sini adalah pasar alun-alun, tempat peribadatan, pertahanan, dan makam. Bahkan, di benteng ini bisa pula ditemukan fasilitas administrasi dan pemerintahan (baruga), serta fasilitas pendidikan.

Pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597 – 1631) yang bijaksana, telah berdiri sebuah pesantren yang dinamakan Pesantren Sin. Siapapun warga masyarakat yang hendak menekuni pendidikan dan keagamaan berhak memasuki pesantran ini dibawah bimbingan para guru yang beberapa di antaranya telah mendapatkan pendidikan di Timur Tengah.

Sementara pemukiman dibangun dengan mengelilingi masjid keraton, pasar dao bawo, dan di lapangan, atau alun-alun. Menurut sejarah, di sekitar pasar terdapat juga bangunan baruga sebagai tempat sultan dan para pembesar kerajaan mengadakan musyawarah atau rapat. Dengan demikian, fasilitas ekonomi, peribadatan, dan administrasi terpusat di wilayah tengah benteng Wolio.

Di bawah bukit terdapat Kampung Lamangga dan Kampung Katobengke yang menyangga perdagangan di Baubau, serta pelabuhan nelayan di Kotamara.  Kampung Lamangga adalah tempatnya perajin kuningan, sedang Katobengke adalah tempatnya para perajin gerabah. Awal abad ke-17, Wolio sudah berkembang menjadi pemukiman yang padat. Mulanya, pemukiman itu terdiri atas sembilan kampung dan masing-masing dipimpin seorang menteri yang disebut Bontona Siolimbona. Secara keseluruhan, terdapat 72 kadie atau perkampungan yang membentuk mata rantai kesultanan.

Tidak tergerakkah Arung Palakka menanyakan di mana posisi istana sultan? Apakah ia membayangkan sebuah bangunan atau istana yang megah dengan banyak penjaga serta wanita cantik sebagaimana wilayah lain? Arung Palakka terkejut saat mendapatkan jawaban bahwa di sini, istana tidaklah menempati satu areal khusus dan tidak menjadi pusat bagi pendirian bangunan-bangunan di sekitarnya. Ini terkait dengan filosofi kekuasaan. Jika di tanah  Jawa, kekuasaan raja dianggap setara dengan dewa atau wakil Tuhan yang diwariskan secara turun-temurun. Ini  tercermin pada bangunan tempat tinggalnya atau keratin yang dibangun dengan segala kemegahan, dan dijadikan sentrum kuasa politik dan administrasi serta titik sentral bagi pendirian bangunan di sekitarnya.

Di tanah Buton, seorang Sultan dipilih dan diangkat oleh rakyat. Ketika seorang sultan baru diangkat, biasanya disertai dengan pendirian sebuah istana baru sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, istana seorang sultan hanya semata berfungsi sebagai tempat tinggal dan bukan sebagai pusat pemerintahan. Inilah sebab mengapa posisi istana bisa berada di mana saja.

Letak istana tidak dibedakan dari rumah penduduk, dalam artian bisa dibangun di mana saja, sepanjang masih berada di benteng Wolio. Tapi, istana tersebut memiliki bentuk rumah yang berbeda dengan warga kebanyakan. Atap istana yang bertingkat dua, sedangkan atap rumah penduduk di sekitarnya hanya bertingkat satu.  Filosofinya sangat dalam bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan, hanya ketakwaan dan kearifanlah yang menjadi pembeda kualitas seseorang. Bahwa seorang pemimpin atau sultan berasal dari masyarakat, merupakan sosok yang tumbuh dan besar di masyarakat kebanyakan, dan kelak akan mengemban amanah untuk masyarakat banyak.

Laksana dua sisi koin kemanusiaan yang saling melengkapi yakni maskulinitas dan feminitas, benteng ini menyimpan lapis kisah yang bukan saja kisah-kisah keperkasaan atau keberanian untuk menetak hulu ledak kelemahan musuh. Di benteng ini terdapat pula kisah tentang ketulusan serta cinta kasih yang dituturkan dari abad ke abad. Kisah ketulusan termaktub dalam pengorbanan para sultan untuk menegakkan benteng.

Sejarah mencatat bahwa landasan pembangunan benteng itu telah dimulai ketika pria yang disebut berasal dari negeri seberang, Dungkucangia, meletakkan landasan penyusunan benteng pada tahun 1309. Pekerjaan ini kemudian diteruskan oleh Sultan La Sangaji. Ketika musim paceklik mencekam negeri pada tahun 1595, pekerjaan itu terjenti selama kurang lebih dua tahun. Hingga akhirnya La Sangaji mangkat, dan selanjutnya pekerjaan itu diteruskan oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin pada tahun 1612 hingga 1616.

Namun ketulusan yang dibarengi tanpa kenal lelah ditunjukkan Sultan Gafulr Al Wadud pada tahun 1638 hingga 1645. Sososk yang dipanggil La Buke ini telah mengambil-alih misi penyelesaian benteng yang tidak terselesaikan oleh para sultan terdahulu. Ia yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa benteng adalah mekanisme perlindungan yang paling dibutuhkan masyarakat.

Ia kukuh untuk menuntaskan benteng ini, meskipun banyak pihak yang menentangnya. Ketika rakyat memprotes karena tidak bisa menjalankan aktivitas kesehariannya akibat harus menyumbangkan tenaga demi pembangunan benteng, ia tetap bersikeras agar benteng itu dituntaskan. Ia menyatakan siap mengundurkan diri ketika pekerjaan itu telah dituntaskan. Peristiwa ini digambarkan secara dramatis dalam naskah kabanti yang disusun Abdul Ganiu:

Siympompuu yingkoo ukakaangi
Ohukumu bhey malapeyakana
Sabharaaka miya iparintangimu;
Bholi yanggea sabhara oni mosala;

Simbou waye isarongi masabuna
Ikumbewaha tongkona apewau kota;
Amufakamo sabhara Siolimbona;
Tee malingu sabhara miya ogena;

Tee moduka sabhara miya kidina;
Asaangumo manga bheya pasabua;
Alawanimo amendeyupo asabu;
Tabeyanamo padhapo amondo kota;

Baru saja engkau kokohkan;
Hukum untuk memberbaikinya
Segenap rakyat yang engkau perintah;
Jangan peduli segala kata yang salah;

Konon yang disebut memakzulkan diri
Di Kumbewaha saat membuat benteng;
Telah mufakat segenap Siolimbona;
Dan dengan segenap orang besar

Dan juga segenap rakyat kecil
Telah bersatu mereka memakzulkannya
Dia menjawab belum mau makzulkan iri;
Kecuali sudah selesai Benteng;

Syair ini menyebutkan betapa La Buke hendak dimakzulkan atau dikudeta oleh banyak kelompok yang tidak menginginkan proses pembangunan megaproyek tersebut. La Buke meneruskannya, meskipun mesti mengorbankan kekayaan pribadi yang dimilikinya. La Buke tercatat sebagai sosok paling konsisten yang mengerjakan sesuatu hingga tuntas. Ketika desakan itu makin kuat, ia meminta penangguhan hingga pekerjaan besar itu terselesaikan.

Amondoaka kota siy kuundamo;
Apasabuaku yindamo bheku mendeyu;
Amondo kota aminamo ikarona;
Apepepasabu miya bhari agagamo;

Amendeumo manga bhea pasabua;
Akamatamo rouna ampadeana;
Wakutuuna apewau kota yitu;
Apaddemea sabhara arataana;
Amembalimo ikandena isumpuna
Omiya bhari mokarajaana kota;

Selesai benteng ini aku sudah mau
Dimakzulkan tidak lagi kutolak
selesai benteng sudah dari dirinya;
Bermohon berhenti rakyat sudah menolak

Mereka menolak untuk dimakzulkan
Karena saksikan wujud kegunaannya;
Ketika ia membuat benteng itu;
Habislah segala hartanya;

Telah menjadi makanan dan minuman;
Rakyat yang mengerjakan benteng;

Yang menakjubkan, ketika semua pekerjaan itu selesai, ia memilih untuk mengundurkan diri. Ia tidak bersedia untuk memperpanjang kekuasaannya. Ia memilih untuk lebur bersama masyarakat banyak, setelah terlebih dahulu memberikan pesan-pesan filosofis. Ia mengatakan bahwa siapapun yang hendak memperjuangkan negara, maka tidak seyogyanya menumpang pada kebesaran dan kekuasaan. Sebab kekuasaan hanyalah tumpangan atas kewajiban dan amanah. Secara lengkap bisa dibaca pada syair berikut;

Neupeelu ukakaroaka lipu tee mia bhari;
Bholi mpuu  usawi ikawasa tee kapooli;
Kawasa tee kapooli siytu;
Osawikana kawajiba tee amaanati;
Pakeyana mangayincema;
mosungkuna yincana;
Mobhanguna Lipu tee molape lapena miya bhari
Osiytumo ikeniakana Sara Pangka;
Tee malingu sabhara  Siolimbona;
Itumindana manga mokenina kapooli; 
Mosuungina Bhawana Khalifatul Khamis;
Bholi mentaga Neakawamo sababuna isabuaka;
Ihilasimo bholimo bheyu mentaga;
Osiytumo isarongiyaka pakeya molabhi;
Ee komiyu malinguaka mokenina kapooli;
Yinda yindamo arataa somanamo karo;
 Yindamo karo somanamo lipu;
Yinda yindamo lipu somanamo sara;
Yinda yindamo sara somanamo Agama;
Osiytumo pakeya kawolioa;
Idhikana siwuluta molabhina;

Jika ingin memperjuangkan negara dan rakyat;
Jangan menumpang pada kebesaran dan kekuasaan
Kebesaran dan kekuasaan itu
Tumpangan kewajiban dan amanah;
Pakaian bagi siapa yang sesungguh hati;
Membangun negara dan memperbaiki rakyat;
Itulah pegangan eksekutif
Dan semua Legislatif;
Yang dipahami semua pemegang kekuasaan;
Yang menjunjung beban Khalifatul Khamis;
Jika telah cukup syarat dimakzulkan;
Ikhlaskan sudah jangan menolak;
Itulah yang dinamakan pakaian kemuliaan;
Hai kalian pemegang kekuasaan;
Hilang hilanglah harta asalkan diri;
Hilang hilanglah diri asalkan Negara;
Hilang hilanglah Negara asalkan pemerintah;
Hilang hilanglah pemerintah asalkan Agama;
Itulah Pakaian ke-Wolio-an;
Yang diwariskan leluhur yang mulia;

Tekad La Buke untuk menyelesaikan benteng ini adalah cerminan dari keteguhannya menyelesaikan sebuah pekerjaan yang tertunda, sekaligus kecintaannya kepada masyarakat banyak. Tekad ini juga ditunjukkannya ketika pada Gubernur Jenderal Van Diemen yang berkunjung ke Buton tahun 1637. Ia menolak menandatangani satupun perjanjian. Sikap keras dan non kompromi yang dianut Sultan Gafur Al Wadud bahkan sangat mengkhawatirkan legislative Kesultanan Buton yang bersikap lunak kepada Kompeni Belanda.

Selain kisah keteguhan Sultan La Buke, benteng ini juga menyimpan lapis kisah tentang patriotism seorang wanita bernama Wa Ode Wau. Perempuan bangsawan ini adalah salah satu perempuan terkaya dalam sejarah Buton. Tak hanya kaya, ia juga mendermakan kekayaannya demi bangsa.

Menurut kisah yang beredar di masyarakat, pada setiap  musim  ia  akan menyerahkan sebaki emas dan perak kepada Sara Kesultanan untuk biaya makan dan minum para pekerja benteng hingga selesainya benteng itu selama tujuh tahun dikerjakan. Ia memiliki usaha yang merambah ke seluruh Nusantara. Ratusan buah perahu dimodali dengan tenunan Buton berlayar ke Maluku dan ditukar dengan rempah rempah yang kemudian dijual diberbagai pasaran Jawa dan Sumatra hingga wilayah Johor.

Lahan perkebunannya berupa jati tersebar di banyak kadie mulai Sampolawa, Wawoangi, Batauga, Kaesabu, Wolowa, Kamelanta, Watumotobe, Todanga, Lambelu, Kumbewaha, Kamaru, Lawele hingga Pangkowulu dan Kambowa. Rakyat dibantunya untuk menanam kapas pada tiap kebun untuk dijadikan benang dan ditenun menjadi kain dan sarung. Ia juga mendatangkan perajin emas dari Kalimantan.

Bersama saudaranya, Sultan Syafiuddin (La Dini) dihabiskan di Bone. Terselip pula kisah kalau Wa Ode Wau dahulu sangat dekat dengan Sultan Muhammad Said, putra Sultan Alauddin di Gowa. Dikarenakan masalah politik, hubungan itu tidak bisa diresmikan.

Mungkin inilah sebab mengapa Wa ode Wau menolak kawin meskipun banyak dilamar oleh pejabat kesultanan. Ia akhirnya menikah pada usia 70 tahun dengan seorang yarona Kenelupu, putra La Ode Walanda. Atas jasa jasanya membantu pembangunan negerinya dan Benteng Wolio, Sara Kesultanan Buton merasa berutang budi sehingga Wa Ode Wau ditawarkan pembayaran dengan emas dan uang perak tetapi ditolak dengan halus. Ia menyatakan:

Poleleyakea osara, ayinda iyaku tey metaku inuncana kupohamba isara topewauna kota siyate, maka tangkanapo betao kalapena liputa siy teemo duka bhetao kalapena manga anaku, opuaku muri murina, saangiana manga bheyaose duka simbau ipewauku siy.

Saya tidak mengharapkan sesuatu pemberian dari Sara Kerajaan atas  pengorbanan harta benda saya terhadap pembangunan Benteng Wolio tetapi semata mata untuk kepentingan negeri saya sendiri serta untuk kehormatan Kaumku dan anak cucuku di kemudian hari semoga mereka ada yang mengikuti jejak saya ini.

Ketika meninggal, ia meninggalkan harta yang sangat banyak berupa emas, perak, permata dan berlian. Menurut keterangan Gubernur Jenderal Seutija (Sautijn), pejabat Kompeni tahun 1734, dan yang dikuatkan oleh Gubernur Jenderal Arnold Alting serta Residen Brugman, harta kekayaannya adalah tidak kurang dari 180 milyar gulden atau senilai 60 miliar dolar. Harta itu kemudian dkitanam di dalam tanah oleh Raja Sorawolio La Ode Sribidayan (anak Angkat Wa Ode Wau). Harta karun itu disebut harta karun Kalamuia. Harta karun inilah yang dimasukkan dalam pasal 14 Kontrak Perjanjian Pendek atau Kortoverklaring yang ditanda tangani oleh Sultan Muhammad Asikin dan Residen Brugman pada 8 April 1906 di atas Kapal De Ruyter.

Demikianlah, benteng perkasa ini ternyata menyimpan kisah tentang manusia-manusia yang berdedikasi seperti La Buke dan Wa Ode Wau. Benteng ini memahatkan sejumlah nama-nama yang berdedikasi demi negeri. Benteng ini mencatat tentang mereka yang ikhlas menjadi martir demi sesuatu yang lebih besar, demi inspirasi serta gagasan yang tak pernah habis.

Ada begitu banyak kisah-kisah yang nyaris lenyap dalam ingatan kolektif manusia yang singgah. Melihat benteng sebesar ini beserta tata kota yang rapi, apakah gerangan yang dibayangkan Arung Palakka? Mungkinkah ia membayangkan peradaban yang merupakan titik puncak dari upaya pergulatan manusia menemukan jawaban atas terjangan masalah yang dihadapinya? Mungkinkah ia berpikir bahwa manusia boleh menjelajah hingga ke negeri jauh, melanglangbuana serupa awan di langit, namun hasrat kuat mewariskan peradaban adalah bagian dari persembahan generasi masa silam kepada generasi masa depan?

Ia lalu memikirkan seribu benteng di negeri Buton. Pikirannya berkelana hingga ke benteng-benteng terjauh dan rakyatnya yang siap sedia bertarung nyawa untuk melindungi diri. Permenungan itu membawanya pada sekuntum refleksi yang melampaui segenap teori dan filsafat peperangan. Ia menyaksikan sebuah pertahanan yang bermaksud melindungi perjalanan di jalan spiritualitas. Ia juga melihat indahnya pertanyaan filosofis yang berpangkal pada perenungan tentang hidup yang diaktualkan dalam ratusan benteng yang disebar di berbagai sudut pulau. Ia juga melihat sebuah visi tentang kota modern.

Batinnya tak henti bertanya mengapa bangsa Buton membangun ratusan benteng-benteng. Ia sadar bahwa nenek moyang Bugis tak banyak membangun benteng untuk melindungi warganya. Sementara nenek moyang mereka telah membangun ratusan benteng di berbagai penjuru pulau demi mempertahankan sesuatu. Lantas, sedemikian pentingkah nyawa bagi mereka?

Sebuah benteng adalah sebuah pertahanan. Rentang panjang pengalaman pria Bugis ini cukup untuk memberinya informasi betapa pentingnya sebuah benteng demi menyelamatkan peradaban. Bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda dan Inggris membangun benteng sebagai tempat pertahanan, demikian pula dengan bangsa Arab dan Timur Tengah.

Bahkan di Nusantara, bangsa Portugis membangun benteng-benteng perkasa di Maluku Utara. Ada semacam konsensus universal bahwa benteng sangat vital bagi sebuah kawasan yang senantiasa dirundung bencana, kawasan yang selalu ditantang berbagai kekuatan yang hendak meremukkan peradaban. Tapi, benteng yang tengah disaksikannya ini amat berbeda dengan benteng-benteng lain yang berdiri di Maluku atau pesisir barat Nusantara. Bahkan Benteng Somba Opu yang menjadi sumbu utama pertahanan Gowa justru tidak sebesar dan semegah benteng yang terbuat dari batu-batu karang yang tersusun rapi ini.

Bagi pihak kesultanan, benteng adalah bagian dari konsep pertahanan. Benteng melengkapi sistem pertahanan lain yang membentang di sepanjang pesisir pulau dan menempatkan rakyat sebagai subyek penting dalam pertahanan. Selain benteng, sistem pertahanan itu adalah Barata, Matana Sorumba, Pata Limbona, maupun pertahanan Bhisa Patamiana.

Barata adalah kerajaan kecil yang diberi otonomi seluas-luasnya termasuk mempertahankan diri. Barata terdiri atas empat yaitu Muna, Kulisusu, Tiworo, dan Kaledupa. Sedangkan Matana Sorumba (Jarum yang sangat tajam) yaitu prajurit dalam menjaga wilayah daratan kesultanan merupakan anggota masyarakat yang telah terpilih, terlatih dan teruji kemampuannya dalam hal keprajuritan. Pertahanan Bonto adalah tugas untuk menjaga keutuhan ibu kota kesultanan yang dikelilingi sebuah benteng. Inti kekuatan pertahanan Kesultanan Buton ada pada pata limbona terdapat dalam wilayah Keraton Wolio yang setiap limbo dipimpin oleh seorang Bonto.

Pertahanan bhisa patamiana yang mempunyai tugas dalam pertahanan adalah pertahanan kebathinan yang mempunyai kedudukan dalam ibu kota dengan mengandalkan kekuatan supranatural dalam mengetahui keberadaan musuh pemerintah Kesultanan. Mereka berupaya untuk menghancurkan musuh yang akan merongrong keutuhan wilayah dan pemerintahan kesultanan atas izin Yang Maha Kuasa.

Apakah gerangan yang dibayangkan siapapun yang menyaksikan benteng perkasa ini? Mungkinkah orang-orang membayangkan sebuah bangunan yang merupakan bangunan pertahanan terluas yang pernah dilihatnya di jazirah timur. Di satu sisi, benteng ini adalah symbol pertahanan. Tapi di sisi lain, benteng ini adalah perlambang dari hasrat kuat bangsa Buton untuk melindungi segenap rakyatnya dari segala marabahaya yang setiap saat mengancam.  Hasrat melindungi serta ancaman yang datang terus-menerus ibarat dua sisi sayap pengetahuan yang kemudian menerbangkan kesultanan untuk membangun sebuah karya arsitektur yang fantastis pada zamannya.

Inilah suatu bangsa yang hari-harinya adalah mempertahankan dan melindungi segenap warganya. Inilah suatu bangsa yang ketika datang serangan dari musuh, maka secara spontan seluruh lapisan masyarakatnya akan mengambil bagian untuk berjuang demi menghancurkan musuh dalam rangka mempertahankan kesultanan. Inilah suatu bangsa, yang bertahan dari segala serangan demi mendirikan layar pencarian eksistensi diri di jagad spiritualitas.

Di Nusantara, beberapa bangsa telah membangun benteng sebagai tempat perlindungan. Bahkan Raja Gowa I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallona juga telah membangun benteng pada tahun 1545. Benteng yang kemudian hari disebut Benteng Fort Rotterdam itu memiliki bahan dasar tanah liat yang kemudian diganti dengan batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng itu berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuk, sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di darat maupun laut. Di saat yang tak begitu jauh, bangsa asing yang singgah ke Nusantara juga membangun benteng yakni Benteng Belgica dan Benteng Nassau di Banda Neira, juga beberapa buah benteng yang didirikan Portugis di Ternate.

Aktualitas itu nampak pada sudut-sudut benteng memiliki yang bentuk dan falsafah unik.  Benteng yang berdiri kokoh di atas bukit itu memiliki 12 pintu atau lazim disebut lawa. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat adat Buton adalah mewakili 12 lubang keluar pada tubuh manusia.

Lawa atau pintu gerbang didesain sebagai pintu penghubung antara benteng menuju sederetan kampung di sekitarnya. Setiap lawa merupakan representasi atas wilayah. Kata lawa selalu mendapat akhiran “na” (nya) sesuai dengan gramatika bahasa yang pada masanya menjadi bahasa pemersatu di jazirah Kesultanan Buton. Akhiran na berfungsi sebagai pengganti kata milik. Dari 12 lawa, terdapat Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Wajo/ Bariya, Lawana Burukene/ Tanailandu, Lawana Melai, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-Gundu. Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda. Perbedaan itu dapat dilihat dari bentuk dan materi yang digunakan, ada yang besar, sedang, ada yang hanya terbuat dari batu dan ada juga yang dipadukan dengan kayu, semacam gazebo yang berfungsi sebagai menara pengintai.

Benteng tersebut berbentuk huruf “dal” dalam aksara Arab. Sementara tak jauh dari Benteng Wolio terdapat Benteng Baadia yang berbentuk huruf “alif”. Masih dalam radius pandangan mata, terdapat Benteng Sorawolio yang berbentuk huruf “mim”.  Ketiga benteng ini membentuk lukisan semiotika yang membentuk kata Adam, sebagai manusia pertama, juga kata Ahmad sebagai nama lain Rasulullah. Artinya, benteng-benteng itu menyimpan satu teka-teki semiotika yang mesti ditemukan maknanya, ditemukan pesan-pesan spiritual di baliknya hingga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi para pejalan spiritual, benteng adalah serupa tampilan lahir diri manusia. Diri bukan segala-galanya. Bukan pula sesuatu yang esensial. Diri hanyalah satu tahapan dalam perjalanan menuju Tuhan. Sejak masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin tahun 1614 yang bijaksana, para leluhur  telah menyusun tahapan-tahapan perjalanan spiritual. Mereka menyusun tahapan yaitu harta sebagai aspek paling pertama, kemudian diri, negeri, hukum, kemudian agama. Untuk menjadi manusia sempurna, maka kita harus meninggalkan semuanya secara perlahan dan hanya memilih jalan agama. Keyakinan ini sudah muncul dalam falsafah hidup yang berbunyi:

Nainda-indamo arata somanamo karo
Nainda-indamo karo somanamo lipu
Nainda-indami lipu somanamo sara
Nainda-indamo sara somanamo agama

Tidak-tidaklah harta asal diri
Tidak-tidaklah diri asal negeri
Tidak-tidaklah negeri asal hukum
Tidak-tidaklah hukum asal Agama

Falsafah itu bisa dimaknai secara sederhana. Bahwa di atas harta, masih ada diri pribadi. Di atas diri, masih ada negeri, dan di atasnya masih ada hukum. Di atas hukum, ada jalan agama atau jalan Tuhan sebagai tujuan utama. Jalan agama atau jalan Tuhan mesti ditempatkan sebagai tujuan tertinggi dari proses gerak manusia. Ketika Tuhan dimaknai sebagai titik terakhir dari orientasi gerak manusia, maka jalan agama mesti ditempatkan sebagai bagian paling penting dari ziarah perjalanan manusia. Ini mengingatkan pada filosofi bahwa di atas syariat ada hakikat, dan di atas hakikat ada makrifat, atau tangga-tangga perjalanan untuk menggapai Tuhan.

Demi melepaskan apa yang disebut diri, orang-orang tua terdahulu berani untuk melepas harta, dan melepaskan nyawanya. Semua bentuk pengorbanan diarahkan pada negeri (lipu), yang pada akhirnya juga diikhlaskan demi agama. Itu bisa terbaca pada syair berikut:

Manga yincia mancuana morikana
Pituwulinga abinasa arataana
Tumbasakamo bholiakamo abinasa
Somanampuu bhea malape karona

Kaapaaka rampana o Karo yitu
Osiytumo tao katondona Lipu
Yisarongiaka Lipu yitu oanata
Tee malingu wutitinai bhawine

Dadiakanamo mancuana morikana
Yindaa meri apabinasa karona
Pitu wulinga hengga amateakea
Somana mpuu bhea malape lipuna

Mereka orang tua terdahulu
Tujuh kali hancur hartanya ;
Tawakkal biarkan binasa ;
Asalkan saja dirinya baik ;

Oleh sebab karena diri itu ;
Itulan yang menjadi benteng negeri ;
Yang disebut negeri itu  seumpama anak kita ;
Dan semua keluarga perempuan

Karena itu orang tua terdahulu
Tidak segan menghancurkan dirinya ;
Tujuh kali hingga menjadi syahid ;
Asalkan saja untuk kebaikan negerinya

Filosofi ini mengandung negasi sekaligus rekonstruksi. Hal yang disangkal adalah harta, diri, dan negara. Dan yang hendak ditegakkan adalah jalan agama. Bukan berarti bahwa orang Buton mengajarkan sikap untuk tidak membela negara. Mereka hanya menegaskan bahwa membela negara hanyalah satu tahapan dalam proses menuju jalan Tuhan. Jika hidup didedikasikan untuk sesuatu yang lebih substansial, maka harta, diri, hukum, dan negara, adalah stasiun-stasiun yang dilewati demi mengorbankan diri di jalan Tuhan. Ini mengingatkan pada konsep maqamat dalam tasawuf yaitu tempat-tempat persinggahan manusia dalam perjalanan mencapai Sang Pencipta.

Lantas, apa pula filosofi bangsa Buton saat membangun benteng tersebut? Mereka tidak hendak mematrikan kejayaan baik di laut dan di darat. Mereka juga tidak hendak mengungkapkan epos-epos besar tentang keperkasaan armada yang berlayar hingga tanah Marege di Australia sana. Mereka mematrikan benteng sebagai bagian dari filosofi tentang hidup dan kesempurnaan manusia di samudera kehidupan. Mereka menyusun berlembar-lembar pemikiran yang memotret perjalanan manusianserta tangga-tangga mendaki kesempurnaan. Dan betapa hebatnya bangsa Buton yang memiliki filosofi kehidupan yang demikian indah terjaga. Maka benteng itu adalah simbol dari perjalanan spiritual mereka yang serupa perahu menyusuri kehidupan. Benteng itu adalah prasasti dari spirit kemanusiaan yang berlayar di tengah rimba raya kehidupan yang penuh karang-karang tantangan. Benteng itu adalah aktualitas dari pahaman filosofis yang digali dari ajaran Islam.

Dilihat lebih jauh, benteng-benteng itu sesungguhnya hendak mematrikan pandangan tentang kecintaan di jalan spiritual. Beberapa seniman abad pertengahan Eropa juga mematrikan kecintaan pada Tuhan melalui benda-benda. Beberapa seniman Italia seperti Leonardo Da Vinci, Raphael, dan Michelangelo telah memahatkan kecintaannya pada Tuhan melalui pembangunan Basilika Santo Petrus yang hingga kini tercatat sebagai salah satu keajaiban dunia. Ada selaksa gagasan yang berpusar dalam benak, dan kemudian dimaterialkan dalam patung, lukisan, atau bangunan-bangunan megah.

Hubungan antara seniman dan ciptaannya adalah serupa hubungan yang bertaut antara satu keping realitas (kenyataan yang sesungguhnya), serta experience (bagaimana realitas itu mempengaruhi kesadaran hari ini), dan expression (bagaimana pengalaman subyek dibingkai dan diartikulasikan). Hubungan itu bersifat dialektik di mana pengalaman menstrukturkan atau membingkai ekspresi, dan sebaliknya, ekspresi juga membingkai pengalaman. Kenyataan akan mempengaruhi pengalaman, dan pengalamanlah yang kemudian melahirkan ekspresi dalam karya-karya.

Ratusan benteng di Pulau Buton adalah sebuah ekspresi yang mesti ditafsir sebagai aktualitas dari pengalaman dan cara menafsir pengalaman tersebut. Orang-orang Buton hendak menstrukturisasi pengalaman dan pengetahuan filosofis ke dalam bentuk yang aktual. Benteng itu adalah selaksa permenungan atas realitas, yang lalu mempengaruhi struktur pengalaman, kemudian dipahatkan hingga abadi sebagai warisan bagi generasi penerus untuk ditemukan maknanya.

Tahun 2011. Serombongan arkeolog dan turis mengitari benteng luas di bukit Kota Baubau. Mereka menelusuri benteng serta memasuki lawa. Beberapa kali mereka menggali di sejumlah tempat dan menemukan artefak keramik kuno di situ. Sejak tahun 2005, beberapa peneliti Jepang telah menggali di benteng itu dan menemukan banyaknya keramik yang di masa silam hanya bisa ditemukan di masyarakat lapis atas di Cina. Kini, pecahan keramik itu tersebar di banyak tempat di benteng.

Ketika mencapai sebelah benteng yang di bawahnya ada lembah, serta berhadapan dengan Benteng Sorawolio, mereka menyaksikan papan kecil bertuliskan LIANA LA TONDU. Di bawahnya ada tulisan Gua Arung Palakka. Mereka bertanya-tanya siapa gerangan Arung Palakka itu dan jejak apa yang diwariskan di tanah Buton. Di antara mereka ada yang pernah membaca karya Leonard Andaya berjudul The Heritage of Arung Palakka serta membaca beberapa rekaman peristiwa yang disarikan para budayawan setempat.

Maka terurailah kisah tentang seorang penakluk dan pahlawan bangsa Bugis. Terungkaplah kisah petualangan bangsawan Bugis itu ke Tanah Buton demi mendapatkan suaka politik, yang boleh jadi merupakan konsep suaka politik pertama dalam sejarah politik Nusantara. Terungkap pula kisah tentang persembunyian Arung Palakka di dalam gua kecil.

Terselip pula cerita sumpah keramat Sultan Buton yang hendak melindungi pahlawan Tanah Bugis itu. Ada pula kisah tentang filosofi benteng, tentang pintu-pintu yang menggambarkan lubang-lubang pada tubuh manusia, atau tentang kronik atau pertempuran antar kerajaan di Sulawesi hingga kedatangan pedagang asing yang berniaga ke negeri timur.

Di abad ke-17, terjadi sebuah perang besar di tempat itu. Gowa mengirim armada berkekuatan 20.000 personel untuk menggempur Buton yang dianggap melindungi Arung Palakka, pemberontak terhadap kekuasaan Raja Gowa. Perang di sini hanyalah pematik dari perang besar di Makassar. Gowa dikepung oleh banyak kerajaan seperti Bugis, Buton, dan Ternate, yang disokong oleh Belanda.

Pada akhir tahun abad ke-17, Batavia juga mengirim pasukan ke Makassar lalu bergerak ke Buton yang sedang digempur oleh pasukan Gowa pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Pasukan kompeni itu dipimpin Admiral Cornelis Speelman berkekuatan 500 orang Belanda dan 300 bumiputra, di antaranya termasuk Arung Palakka. Pasukan Bonto Marannu pun kalah atas strategi militer dan persenjataan kompeni yang lebih modern. Sekitar 5.500 orangnya ditawan di sebuah pulau kecil di perairan Teluk Baubau. Pulau itu oleh orang Buton disebut Liwuto. Liwuto artinya pulau.

Di Tanah Buton, terdapat jejak-jejak peristiwa masa silam yang terus membekas hingga hari ini. Betapa tidak, peristiwa ini telah diinterpretasi dengan berbagai versi dan ikut berpengaruh pada pertumbuhan karakter manusia zaman kini. Pemerintah melihatnya dari sudut pandang sejarah yang mendiskreditkan para bangsa asing serta mereka yang bekerja sama.

Sementara mereka yang berperang di masa silam sedang berikhtiar menegakkan kemanusiaan melalui sosok Arung Palakka. Peristiwa masa silam bisa menjadi luka sejarah, bisa pula menyimpan energi positif yang melahirkan karakter dan semangat zaman.

Tapi setidaknya getar semua peristiwa masa silam itu bisa terasa saat menyaksikan seribu benteng di Pulau Buton. Bentangan benteng yang menjadi saksi bisu rangkaian kejadian, dan menunggu tafsiran-tafsiran generasi masa kini untuk menyingkap hikmah dan filosofinya. Semuanya tercatat rapi di Negeri Seribu Benteng (Buton).

Persaudaraan Bone-Buton tak pernah tergerus masa, bahkan hubungan kedua daerah ini berlanjut hingga kini, mereka saling mengunjungi terlebih disaat memperingati hari jadi daerah masing-masing.
(TimurAngin)

Cara Instal Font Bugis pada Komputer

$
0
0

Cara Instal Font Bugis

  1. Buka Computer Anda.
  2. Kemudian Klik  Links Download di bawah ini
  3. Setelah Anda download kemudian buka
  4. Setelah itu Klik File  Instal
Silakan Dowload FONT BUGIS DI SINI

Tata Cara Pernikahan Adat Bugis Bone

$
0
0
 Setiap suku bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan atau tradisi yang menjadi ciri khas daerahnya. Demikian pula Bangsa Bugis khususnya suku Bugis Bone. Berikut ini kami akan paparkan secara lengkap tentang kronologis dan tatabahasa yang sering digunakan oleh bangsa bugis dalam melaksanakan hajatan pernikahan tersebut.

I. MAMMANU'-MANU' = MAPPESE'-PESE' = MAPPAU RI BOKO TANGE' = MABBALAWO CICI = MABBAJA LALENG : Artinya Menjajajki, pendekatan, pembuka jalan, merintis.

II. LETTU' = MASSURO = MADDUTA. Artinya Melamar atau menyampaikan lamaran atau meminang yang dilakukan oleh salah seorang atau masing-masing duta dari kedua belah pihak untuk berdialog dan waktu melamar belum melibatkan banyak orang. Biasanya paling banyak 3-5 orang dari masing-masing pihak termasuk kedua duta.

III. MAPPASIAREKENG. Artinya mengukuhkan kembali apa yang telah disepakati oleh kedua duta yang dihadiri oleh sespuh dari masing-masing pihak. dalam pelaksanaannya belum melibatkan banyak orang, yaitu cukup kedua duta bersama sesepuh dari masing-masing pihak. Pada waktu inilah ditentukan pelaksanaan Mappettu Ada yang artinya mengambil keputusan, kapan dilaksanakan acara Mappettu Ada. Setelah sudah ada kesepakatan penentuan waktunya barulah dilaksanakan.

IV.. MAPPETTU ADA. Artinya mengambil keputusan bersama segala sesuatunya yang akan dilaksanakan, termasuk kesepakatan duta terdahulu dan selanjutnya kesepakatan waktu itu mengenai 

Motto Kabupaten Bone

$
0
0

MOTTO  adalah kata atau kalimat pendek yang menggambarkan motivasi, semangat untuk mencapai  tujuan suatu organisasi atau daerah. Motto biasanya menggunakan bahasa daerah setempat (lokal). Kalau di Kabupaten Bone tentu menggunakan bahasa Bugis.
SUMANGE’
Kata Sumange’ dalam bahasa Bugis merupakan ungkapan yang menggambarkan di mana  terjadi interaksi antara jiwa dan raga pada situasi tertentu sehingga  menimbulkan efek perasaan senang, bahagia, dan bersemangat.
Sering kita dengar ungkapan Bugis “ Kuru’ Sumange’mu  Ana’ “ hal ini mengandung makna seorang ibu atau ayah memberi ucapan selamat kepada anak yang baru saja menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
Demikian pula apabila seorang anak yang mengalami sakit parah atau baru saja sembuh dari penyakitnya “ Kuru, Sunge’mu Ana’ Malampe Sunge’mu Ana’ “ adalah ungkapan orang tua kepada anak yang sedang menderita sakit semoga cepat sembuh dan panjang umur.
Kata SUNGE’  dalam bahasa Bugis melambangkan Ruh atau Jiwa  sedangkan kata SUMANGE  dapat diartikan sebagai penyatuan antara jiwa dan raga yang diwujudkan menjadi semangat.
TEALARA’
Tealara terdiri atas dua kata yakni Tea dan Lara’ . Dalam bahasa Bugis Tea artinya tak akan (Takkan) sedangkan kata “lara’”  bermakna terpisah, keluar dari kesatuan.  Jika kedua kata tersebut disatukan menjadi TEALARA artinya takkan terpisahkan sehingga bermakna kukuh dan kuat.
SUMANGE’ TEALARA’
SUMANGE merupakan pengintegrasian jiwa dan raga. Sedang kata TEALARA berarti tak terpisahkan tidak terpisah, tidak bercerai-berai, yang menggambarkan kebersamaan, kekukuhan dan keyakinan diri.  Karena itu, SUMANGE TEALARA sebagai pengintegrasian jiwaraga untuk mewujudkan keteguhan dan keyakinan diri yang berawal dari niat sehingga tergambar dalam prilaku dan perbuatan untuk  bersama-sama mengahadapi sebuah pekerjaan atau tantangan kehidupan.
Diantara sekian banyak petuah bugis Bone  yang sering kita dengar seperti, Siatting Lima, Sitonra Ola, Tessibelleang, Tessipano, Tellabu Essoe Ritengnga Bitarae, Getteng, Lempu, Ada Tongeng, Taro ada Taro Gau. Kesemuanya terangkum dalam SUMANGE TEALARA.
Khusus Kata Siatting lima (Bergandengan tangan satu sama lain), Sitonra Ola (Berjalan searah, satu kata mufakat), Tessibelleang (Tidak saling menghianati dan tak saling membohongi), dan Tessipano (Tidak saling menjatuhkan) merupakan petuah leluhur asli dari Bugis Bone. Turunannya adalah Getteng, lempu, Ada Tongeng, Taro Ada Taro Gau, Tellabu Essoe Ritengnga Bitarae, Siri Napesse (harga diri digenggam erat-erat karena sekali saja dipermalukan maka harga diripun sudah tidak ada lagi).
Sebagaimana pesan orang tua lehur Bugis kepada anaknya ” Rekko laoki rilipu mabbettang langie Niniriwi Riasengnge Ampe Kedo Majae Nenniya Niniriwi Cappa Lila Temmampukkae ” ( Jika engkau pergi di kampung lain, hindari sikap dan perilaku yang tidak baik dan Hindarilah kata dan ucapan yang tidak berujung pangkal ).
Penulis berpendapat bahwa dari sekian banyak petuah leluhur Bugis Bone yang ada perlu adanya satu bahasa YASSIBONEI ( Seluruh masyarakat Bone termasuk Bugis Bone di luar negeri ) untuk dijadikan sebagai sebuah bahasa semangat sekaligus menjadi MOTTO BUGIS BONE.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Motto SUMANGE’ TEALARA :
1. SUMANGE TEALARA berawal dari niat
2. SUMANGE TEALARA memberikan kekuatan dan keyakinan diri
3. SUMANGE TEALARA lahir dari kebersamaan
4. SUMNAGE TEALARA adalah ruh kehidupan yang menjiwai segala tindak tanduk kita.
5. SUMANGE TEALARA  dapat menciptakan jalan.
6. SUMANGE TEALARA  dapat mengusir ketakutan
7. SUMANGE TEALARA  dapat mengobati rasa lelah
8. SUMANGE TEALARA dapat mematahkan kesulitan.
9. SUMANGETEALARA dapat mengantarkan kita pada tujuan
10. SUMANGE TEALARA dapat menunjukkan jati diri
11. SUMANGE TEALARA  dapat menerangi kegelapan kita
12. SUMANGE TEALARA dapat mengangkat harkat dan martabat
Demikian sekelumit buah pikiran penulis semoga ada mamfaatnya dan semoga motto SUMANGE  TEALARA (Teguh dalam Keyakinan Kukuh dalam Kebersamaan ) dapat menggugah kita dalam upaya mewujudkan masyarakat Bone yang sehat, cerdas, dan sejahtera. (Terima Kasih, Salama Topada Salama)
(Oleh : Mursalim)

Refleksi Hari Jadi Bone Ke-686 Tahun

$
0
0
Setelah terbit Peraturan Daerah Kabupaten Bone Nomor 1 Tahun 1990 Tanggal 22 Maret 1990 Seri C Nomor 1 Tentang Penetapan Hari Jadi Bone yang intinya bahwa Hari Jadi Bone ditetapkan pada tanggal 6 April terhitung sejak masa pemerintahan Raja Bone ke-1 ManurungngE Ri Matajang (1330-1365). Sedang Tanggal 6 April diambil dari tanggal pelantikan Raja Bone ke-16 Lapatau Matanna Tikka MatinroE Ri Nagauleng (1696-1714).

Sejarah panjangpun telah ditorehkan oleh Kabupaten Bone dalam perjalanannya dari mulai berbentuk kerajaan Bone hingga menjadi sebuah kabupaten Bone sekarang ini. Perjalanan panjang ini membuktikan bahwa Kabupaten Bone mampu bereksistensi dan tak lapuk dimakan zaman dan mempunyai daya saing dalam era globalisasi.

Bone dihari jadinya ke-686 tahun ini, merupakan tahun ketiga dimasa kepemimpinan H.Andi Fahsar Mahdin Padjalangi dan H.Ambo Dalle sebagai Bupati dan wakil Bupati Bone. Tentunya dengan kepemimpinan Bupati Bone yang sudah berpengalaman dan mengerti dengan keadaan Bone diharapkan dengan konsep kepemimpinan partisipatifnya yang selalu berusaha menyerap aspirasi seluruh komponen masyarakat dalam pembangunan Bumi Arung Palakka mampu menjawab berbagai macam kendala yang dihadapi oleh Kabupaten Bone.

Satu hal yang penting seperti halnya pemberdayaan keterampilan masyarakat, yaitu bagaimana meningkatkan keterampilan skill personal. Akibat perkembangan teknologi kemampuan skill personal menjadi tergerus, semua hanya mengandalkan hasil teknologi tanpa memikirkan kemampuan individu.

Insya Allah hari Rabu, 06 April 2016, Bone yang dijuluki Bumi Arung Palakka genap berusia enam ratus delapan puluh enam tahun. Dihari jadinya yang kesekian itu tentu beragam cerita dan kisah yang bisa muncul bagaimana Bone masa silam, bagaimana Bone masa sekarang, dan bagaimana Bone ke depan.

Pernyataan-pernyataan itu, ada yang memberikan saran, tanggapan, juga penilaian yang selama ini sudah berjalan. Mulai dari tokoh politik, agama, pelajar dan mahasiswa, aktivis, sampai tukang ojek, dan ada juga yang tidak mau tahu.

Diusia yang sudah terbilang cukup tua, Bone harus lebih dewasa dan cerdas dalam membangun, khususnya dalam mengembangkan sumber daya manusia dan infrastruktur, disamping upaya membangun kesadaran kultural menuju masyarakat berbudaya dan religius.

Selain itu, Bone juga harus menjadi penyangga nilai-nilai agama dan kultur dalam persaingan yang kompetitif, yakni kemampuan yang diperoleh melalui karakteristik dan sumber daya yang ada.
Harapan kita semua, pembangunan yang ada di Bone harus disertai dukungan dari berbagai stakeholders. Semoga Bone semakin maju dan selalu hadir dalam keluh kesah masyarakatnya. Untuk mencapai itu semua, saya kira, orang Bone harus bersatu padu dalam membangun Bone.
 
Mari tinggalkan sifat egoistik pribadi dan kelompok, ayo bersatu membangun Bone, yang 686 tahun silam diperjuangkan para pendirinya dengan susah payah penuh pengorbanan, tumpahan darah dan air matanya mestinya jangan disia-siakan.

Bone ke depan harus lebih aktif dalam meningkatkan infrastruktur. Selain itu, Bone juga harus menggali dan menata wilayah-wilayah potensial untuk meningkatkan pendapatan daerah, khususnya pada sektor industri dan wisata.

Pengambil kebijakan di Bone baik eksekutif maupun legislatif jangan terjebak oleh ego kepentingan masing-masing, sudah tidak boleh lagi menjual atas nama konstituen, padahal jelas segala yang dilakukan untuk kepentingan masa depan politiknya.

Antara Legislatif dan Eksekutif harus konsisten dalam menjalankan RPJP dan RPJMD. Bone harus mengevaluasi lemahnya koordinasi antar SKPD yang menjalankan program sesuai tugas pokok dan fungsinya. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Sementara ini Bone sudah baik, tinggal ditingkatkan lagi semua lini pembangunannya, agar ke depan semakin nampak. Sebagai penyangga, beberapa desa yang ada di Bone harus diberikan prioritas pembangunannya. Selain itu, Bone juga harus peduli budaya yang selama ini sudah hampir tidak terlihat.
Sedangkan dari potensi wisata, Kabupaten Bone dihadapkan dengan belum terencananya kawasan wisata yang andal. Seperti yang kita ketahui,sektor pariwisata belum memberikan yang terbaik bagi Bone. Karena itu dituntut untuk bekerja lebih keras lagi mengembangkan potensi wisata lainnya seperti Kawasan Bukit Cempalagi, dan tempat wisata lainnya yang belum terjamah.

Dalam usianya yang ke-686 tahun Bone, diharapkan akan lebih mampu mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapinya, sehingga Visi Pembangunan Daerah Kabupaten Bone Tahun 2013 -2018 yaitu mewujudkan Bone yang Sehat,Cerdas, dan Sejahtera bisa terwujud.

Visi Kabupaten Bone tahun 2013-2018 yang memberikan skala prioritas terhadap pembangunan di mana meningkatnya derajat kesehatan masyarakat dengan memperluas aksesibilitas pelayanan kesehatan yang adil dan berkualitas. Terciptanya pemerataan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan, berkebutuhan khusus, difable dan marginal yang berkualitas untuk mewujudkan kualitas manusia mandiri berbasis nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Pembangunan Masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup berkelanjutan dalam aspek ekonomi, politik,sosial budaya,lingkungan hidup,didukung infrastruktrur dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Visi ini semoga bukan hanya sebatas wacana saja, harus ada tindakan nyata untuk merealisasikannya, oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Bone harus menciptakan Good Goverment and Good Governance membangun pemerintah dan tata pemerintahan yang baik.

Selain itu, yang perlu dikedepankan adalah bagaimana pemerintah Kabupaten Bone mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standard Pelayanan Publik yang efektif, mudah, murah, dan cepat. Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah akan mempengaruhi minat para investor dalam menanamkan modalnya di suatu daerah. Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi di pemerintah daerah.

Memang bukanlah hal yang mudah untuk membangun Bumi Arung Palakka ini, dibutuhkan kerja sama antara berbagai pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat itu sendiri. Semangat kebersamaan dengan optimisme yang tinggi merupakan solusi untuk menjawab segala permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh Kabupaten Bone.

Para pendahulu sudah mewariskan hegemoni nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, persatuan, patriotisme, serta perjuangan yang tinggi. Nilai-nilai itu telah menembus waktu dari abad ke abad dan akan terus bergulir. Sebab, hakikat dari nilai itu adalah kesadaran akan kolektivitas, kesadaran bahwa kita tak bisa maju, tanpa kebersamaan dan kerja sama yang berakar nadi.

Dengan semangat kebersamaan, kita bersyukur dan bangga Kabupaten Bone terus mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Hingga di usia ke-686 tahun 2016 ini, Pemerintah Kabupaten  Bone di era kepemimpinan H.ANDI FAHSAR MAHADIN PADJALNGI dan H.AMBO DALLE, berhasil mengukir  berbagai kemajuan, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, maupun infrastruktur. Ini semua tentu tak lepas dari kerja sama semua pihak dan peran serta rakyat Bone.

Meski dalam bekerja bukan untuk mengejar penghargaan, buah dari kerja keras kita itu mendapatkan penilaian positif dari berbagai pihak atas prestasi yang dicapai. Sejumlah kemajuan dan keberhasilan yang kita capai selama ini, adalah hasil kerja keras dan ketulusan hati untuk bekerja tanpa pamrih, keikhlasan untuk mengabdi, dan rasa cinta untuk Bone.

Jujur harus diakui bahwa telah banyak perbaikan, telah banyak perubahan dan telah banyak harapan yang dapat kita wujudkan. Kita pun menyadari, bahwa untuk menggapai harapan itu, di depan kita masih banyak tantangan, rintangan dan permasalahan. Namun, kita harus optimis, dengan kebersamaan,  rasa cinta dan rasa  memiliki daerah ini, tantangan, rintangan dan permasalahan apapun akan dapat kita atasi demi kemajuan Bone dengan memegang prinsip-prinsip Sumange’ Teallara’ yang kita miliki.

Memasuki tiga tahun kepemimpinan pasangan Bupati dan Wakil Bupati Bone Dr.H.A.Fahsar M.Padjalangi dan Drs.H.Ambo Dalle,M.M.telah banyak membuahkan hasil baik segi pisik maupun non-pisik. ” Namun disadari, bahwa apa yang telah dilakukan selama ini masih terbilang kecil jika melihat kondisi daerah yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang besar.

Akhirnya, Semoga di Hari Jadi Bone yang ke-686 tahun ini bisa dijiwai oleh seluruh masyarakat Bone dan biasnya dapat dijadikan untuk menghantar Kabupaten Bone ke depan yang lebih baik lagi. Mari membangun Bone dengan Sumange’ Teallara’ Teguh dalam Keyakinan Kukuh dalam Kebersamaan. Selamat Hari Jadi Bone.
(Oleh : Mursalim)

Bone Semakin Hebat

$
0
0
Pada Tanggal 6 April 2016, Bone memasuki usianya yang ke enam ratus delapan puluh enam tahun (686). Usia yang dianggap cukup tua sejak berdirinya pada tahun 1330 Masehi. Rentang waktu yang cukup panjang itu diwarnai setumpuk episode panggung sejarah yang mengisahkan rasa suka, duka, sedih, gundah dan membahana hingga ke ngarai, lembah,jurang, gunung dan lautan.

Sejak masa Sianrebale antar kalula atau anang yang diakhiri seorang tokoh dengan gelar Manurungnge ri Matajang sekaligus didaulat sebagai Raja Bone Ke-1 tahun 1330. Dikultuskan sebagai to Manurung karena mampu mengendalikan suasana dan mendamaikan orang-orang Bone dalam episode sejarah yang paling mematikan itu, yakni pergolakan Sianrebale. Siapa yang kuat itulah pemenangnya yang biasa disebut hukum rimba.

Dalam bahas Bugis Bone Sianrebale disimbolkan sebagai ibarat ikan yang memangsa saudara bahkan anaknya sendiri. Walaupun ada juga jenis ikan yang memasukkan anaknya ke dalam rongga mulutnya sekadar mengamankan gangguan dari binatang lainnya tetapi tidak memangsanya.

Sehingga Sianrebale dimaknai sebagai di mana pada waktu itu orang-orang saling menyerang dan membunuh baik perorangan maupun kelompok. Mereka masing-masing mencari strategi-politik bagaimana mengalahkan lawan-lawanya demi menguasai kelompok lainnya untuk menancapkan kekuasaan.

Inilah barangkali hal ikhwal yang menyebabkan orang-orang Bone dikenal pandai dalam politik sampai saat ini. Jadi Bone pernah Sianrebale karena politik bukan karena kekosongan perut alias kelaparan seperti daerah lainnya pada waktu itu.

Bone dengan bentangan alam yang di dalamnya banyak menyimpan potensi dan misteri. Ada laut, ada daratan, ada gunung karena begitu lengkapnya sehingga leluhur Bone mengatakan ” Makkoddang ri Tasie, Massulappe ri Pottanangnge, Mangkalungung ri Bulue ” atau sebaliknya ” Mangkalungung ri Bulue, Massulappe ri Pottanangnge, Makkoddang ri Tasie. Gunung sebagai bantal, Darat sebagai bantal guling, Laut sebagai kasur.

Kita kembali kesubtansinya, sejak kerajaan Bone bergabung ke NKRI pada tanggal 4 Juli 1959 yang sekaligus awal terbentuknya Kabupaten Bone. Sejak itu pula Kabupaten Bone sudah dipimpin sebanyak 16 Kepala Daerah / kepala Afdeling hingga sekarang. Jika dihitung berarti Kabupaten Bone beranjak pada usia 57 tahun pada tanggal 4 juli 2016 (1959-2016)

Hari Ulang Tahun ke-686 Bone berarti bukanlah ulang tahun kabupaten Bone yang diperingati akan tetapi ulang tahunnya Bone sejak masa kerajaan sampai sekarang ini (1330-2016). Tujuan peringatan hari jadi Bone adalah bagaimana mereflesikan hegemoni Bone pada masa lalu sebagai sumber pembelajaran (edukasi) baik dari sisi sejarah, budaya, hingga sekarang ini terkait hasil-hasil pembangunan yang sedang dan sudah dicapai.

Sejatinya dalam merayakan ulang tahun Bone berarti seluruh orang Bone tanpa terkecuali mulai dari dusun, desa, kecamatan, Kota, hingga mereka yang berdomisili di luar negeri harus berpartisipasi. Bukan sekadar dirayakan oleh sekelompok organisasi atau lainnya. Jadi seluruh kegiatan melibatkan orang-orang Bone.

Alangkah indahnya seandainya orang Bone di Jakarta, Malaysia, Brunai, ataupun di lima Benua pulang ke Bone dan berkumpul bersama keluarga untuk merayakan hari ulang tahun tanah leluhurnya. Semakin hebat lagi ketika mereka bergabung dalam bentuk karnaval. Inilah orang Bone dari Malaysia, Inilah orang Bone dari Singapura, Inilah orang Bone dari Amerika, dan inilah … dan inilah … wow … Bone Hebat Pasti. Sekali setahun kan ?

Disadari, Pemerintah daerah tentu mempunyai keterbatasan baik kemampuan berpikir maupun anggaran untuk membangun Bone. Dengan hadirnya seluruh orang Bone dan berkumpul menjadi satu kemudian turut menyumbangkan tenaga dan pikiran-pikirannya, niscaya Bone akan lebih maju lagi. Membangun Bone dengan YASSIBONEI. Yakinlah Bone Semakin Hebat
(Oleh Mursalim)

Falsafah Eppa Cappa di Kalangan Bugis

$
0
0
Salah satu kepandaian orang-orang Bugis yang banyak tersebar dihampir seluruh kepulauan nusantara kita adalah mampu dan piawai dalam mengartikulasikan, merumuskan kalimat atau kata-kata sehingga bermakna filosofis bagi kehidupan baik sebagai pribadi maupun komunitas sosial.

Satu diantara sekian banyak formulasi yang bernilai filosofis, sangat strategi, taktis, dan antisifatif adalah Eppa Cappa'.
“Dalam paseng to riolo (pesan tetua jaman dahulu) dikatakan :
Engka eppa cappa’ bokonna to laoe, iyana ritu : Cappa’ lilae, Cappa’ orowanewe, Cappa’ kawalie. (Terdapat tiga ujung yang menjadi bekal bagi orang yang bepergian, yaitu :Ujung lidah,Ujung kelelakian (kemaluan).Ujung badi’/kawali (senjata), dan Cappa Kallang (Ujung Polpen)"

Sudak sejak dulu orang Bugis-Makassar selalu menggunakan Eppa Cappa' dalam menyelesaikan suatu perkara atau masalah. Ketika menghadapi sebuah masalah, orang Bugis-Makassar mengedepankan Ujung Lidah, menyelesaikan dengan jalan Diplomasi atau pembicaraan terlebih dahulu. Bila gagal dengan ujung lidah, maka bisa dilakukan dengan mengadakan perkawinan antara kedua pihak yang bertikai, diharapkan dengan adanya perkawinan ini bisa menjalin kekerabatan yang lebih kuat. Tetapi bila kedua cara di atas gagal maka cara terakhir adalah dengan peperangan untuk mempertahankan Harga Diri dan menunjukkan Keberanian.

Falsafah Eppa Cappa' , bukan hanya efektif dalam penyelesaian Perkara atau masalah saja , tapi dalam pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga demikian…
  1. Ujung lidah (Cappa Lila): diartikan sebagai kecerdasan yang mencakup semua hal, baik kecerdasan emosional sampai kecerdasan spiritual, sehingga dapat membedakan baik-buruk.
  2. Ujung Kemaluan (Cappa Laso): bisa di artikan bahwa dalam mencari jodoh, hendaklah mencari jodoh dari kalangan bangsawan, atau orang yang berpengaruh.
  3. Ujung Badik(Cappa Kawali) bermakna bahwa dalam pergaulan hendaklah menjaga harkat dan martabat sebagai orang Bugis-Makassar yang menjunjung tinggi adat ‘Siri Napesse’ . dan bila menghadapi permusuhan, maka di sinilah fungsi Ujung yang terakhir , Harga Diri menjadi taruhan, keberanian pantang mundur ditunjukkan untuk dipertaruhkan, dengan catatan bahwa kita dalam posisi yang benar. Dalam adat Bugis-Makassar Harga diri adalah harga mati yang harus dibayar meskipun dengan nyawa.
  4. Ujung Pena (Cappa Kallang) bermakna ilmu pengetahuan bahwa tidak cukup hanyalh Ujung Lidah, Ujung Kemaluan, Ujung Badik, namun harus didukung dengan ilmu.
Keluwesan orang Bugis-Makassar membuatnya mudah beradaptasi dan dengan cepat membaur dengan masyarakat setempat . orang Bugis-Makassar di mana-mana lebih menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.

Dikisahkan, tiga pangeran Kerajaan Gowa, Daeng Mangalle, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo diutus oleh Kerajaan Gowa untuk belajar ke Kerajaan Siam, Thailand. Tapi Sayang sekali, keberadaan mereka di Siam tidak tepat. Karena saat itu perang tengah berkecamuk antara tentara Prancis dengan prajurit Siam. Sejarah mencatat, salah satu pangeran dari kerajaan Gowa, yaitu Daeng Mangalle ikut angkat senjata dalam perang itu.

Namun dalam perang ini, Daeng Mangalle gugur. Mengenai gugurnya Daeng Mangalle dan prajurit Bugis-Makassar, seorang pendeta Prancis membuat catatan yang menurutnya hampir-hampir tidak masuk di akal. Pendeta itu menulis, seumur hidupnya, dia baru pertama kali menyaksikan keberanian manusia yang dikenal sebagai prajurit Bugis-Makassar. Saat itu, seorang prajurit Bugis-Makassar yang telah membunuh tujuh tentara Prancis, akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan tembakan dan tikaman bayonet bertubi-tubi.

Dalam keadaan sekarat, seorang tentara Prancis menendang-nendang kepala prajurit Bugis-Makassar itu. Tiba-tiba saja prajurit Bugis-Makassar ini bangkit lalu membunuh tentara yang menendang-nendang kepalanya itu, kemudian dia pun mengembuskan nafasnya yang terakhir.
Pendeta ini mengatakan, tak ada alasan lain yang membuat prajurit itu mendapatkan kembali kekuatannya, selain karena mempertahankan harga diri dan keberanian.

Nasib yang lebih mujur dialami dua saudara Daeng Mangalle, yaitu Daeng Ruru dan Daeng Tulolo. Mereka berhasil meloloskan diri dari perang dan menuju Kerajaan Prancis, pada masa kekuasaan Louis XIV dan Louis XV. Malah, keduanya mendapat kehormatan dari Raja Louis XIV, kedua pangeran dari Kerajaan Gowa itu dijadikan sebagai anak angkat.

Telah terbukti keempat “ujung atau cappa” tersebut merupakan bekal yang baik, apabila digunakan demi tujuan baik, dengan cara yang juga baik pula.

Pemerhati bugis, Mursalim kemudian menambahkan cappa’ keempat, yaitu cappa’ kallang,” (ujung pena). Mengacu pada kemampuan menggunakan media informasi untuk mengembangkan diri. Dapat juga diartikan sebagai perwakilan dari ilmu pengetahuan. Jadi, mari menggunakan empat ujung yang kita miliki, dengan cara yang bijaksana.

Pada saatnyalah, falsafah yang telah diwariskan orang-orang Bugis ini bisa dijadikan salah satu sumbangan bagi kekayaan kita dalam upaya bersama membangun karakter bangsa yang harus ditumbuhkan secara simultan dan menanganinya pula secara integral sejak masa usia kanak-kanak. Medianya adalah pendidikan yang berkualitas sebagai wujud karakter manusia Indonesia yang semakin langka tetapi wajib dibangun. 

Sumber : Teluk Bone

Arung Palakka Jagoan Bugis yang Menggetarkan Tanah Jawa

$
0
0
Jika kita melontara' atau mengisahkan sejarah perjuangan orang Bugis dalam melawan penjajah Belanda, ada satu jagoan di antara ribuan tokoh pejuang yang namanya melegenda. Jagoan ini merupakan raja di zamanya,  Arung Palakka Raja Bone ke-15.

Bagi sebagian masyarakat Bugis, nama Arung Palakka  merupakan  pengeran dan pejuang kemerdekaan yang namanya masih tetap harum sampai saat. Namun demikian, bagi sebagian orang lagi, menganggap tindakan Arung Palakka bekerja sama dengan Belanda (VOC) dan meruntuhkan kerajaan Sultan Hasanuddin merupakan sejarah kelam.

Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat menggebu-gebu untuk penaklukan. Dia  terasing dari bangsanya, suku Bugis Bone yang kebebasannya terpasung lantaran perbendaan pendangan dengan Raja Gowa. Namun, dia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia setelah meninggalkan kota kelahirannya di Bone.

Arung Palakka konon ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaannya seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya.

Pria Bugis Bone dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660-an, ketika dia bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman  keperkasaan Sultan Hasanuddin.

Sebelum ke Tanah Jawa Batavia (Jakarta sekarang) mungkin tak banyak yang tahu kalau Pulau Buton (kadang disebut Butung), pernah menjadi tempat pelarian Arung Palakka dari kejaran pasukan Sultan Hasanudin. Pelajaran sejarah yang pernah singgah tatkala kecil dulu paling hanya menjabarkan kalau Sang Pangeran berambut panjang ini hanyalah seorang pengkhianat.

Tidak bagi sebagian masyarakat Bone dan Buton, Arung Palaka bukanlah sosok jahat, seperti didiskreditkan sekarang ini. Alkisah masyarakat Bone dan Buton, sekitar tahun 1660, Bone dan Gowa bertikai. Arung Palakka sebagai salah seorang pemimpin Bone tidak bisa menerima perlakuan para bangsawan Gowa yang menindas rakyatnya.

Perlakuan kerja paksa untuk membangun benteng di perkebunan daerah Makassar jelas membuat rasa siri (harga diri) masyarakat Bone termasuk Arung Palakka tercabik-cabik, apalagi setelah para bangsawan Bone juga dipaksa ikut kerja paksa tersebut.

Akhirnya bersama Tobala, pemimpin Bone yang ditunjuk oleh Gowa, Arung Palkka melakukan perlawanan dengan melarikan orang-orang Bugis dari kerja paksa tersebut. Sebenarnya para prajurit Gowa hanya mencari Tobala karena dianggap tidak mampu mengawasi budak dari Bone.

Hanya saja Arung Palakka yang merasa tidak memiliki tempat lagi di bumi yang disebut Belanda Celebes itu memutuskan pergi  untuk mencari tempat semedi dan merenung demi mengembalikan siri mereka.  Sebelum ke Pulau Jawa, terlebih dahulu Arung Palakka ke Buton untuk mencari startegi. Raja Buton ke-10 yang waktu itu bernama La Sombata atau lebih dikenal bergelar Sultan Aidul Rahiem.

Pada saat pasukan Gowa mencari Arung Palakka hingga ke Buton. Sultan Buton bersumpah bahwa mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas pulau mereka. ”Apabila kami berbohong, kami rela pulau ini ditutupi oleh air,” ucap Sultan Buton, yang diucapkan kembali oleh salah seorang penerusnya.

Ternyata sumpah tersebut dianggap sah karena pada kenyataannya Pulau Buton memang tidak pernah tenggelam hingga saat ini. Gua Liana La To Undu adalah bukti sejarah sejarah yang dijadikan sebagai salah satu objek wisata sejarah di sana, merupakan tempat Arung Palakka merenung untuk mengatur startegi perangnya.

Sistem batuan di daerah Buton bisa jadi merupakan salah satu alasan yang jelas mengenai hal ini. Daerah batuan berkarang dengan ceruk-ceruk kecil di sepanjang bukitnya, menggambarkan kebenaran sejarah tersebut. Pernyataan Sultan Buton pada saat menyembunyikan Arung Palakka dianggap benar.

Mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas dataran tanah mereka. Namun di antara ceruk-ceruk  sekitar pantai yang menurut pendapat orang Buton bukanlah sebuah dataran, melainkan gua, yang berada di dalam tanah.

Kepintaran bersilat lidah Sultan Buton inilah yang akhirnya Arung Palakka lolos dari pengejaran dan pencarian pasukan Gowa. Hal ini juga dibenarkan oleh pemuka adat setempat yang bernama La Ode Hafi’i. Dia  menjelaskan bahwa antara Kesultanan Buton dan Bone sejak dahulu memang telah terikat dalam perjanjian sebagai saudara.

”Bone raja di darat, Buton raja di laut,” ucapnya. Hal itu juga yang mendasari mengapa Sultan Buton memutuskan membantu Arung Palakka dan turut membiayai Arung Palakka bersama 400 lebih pengikutnya menuju Batavia.

Patung Sang ayam jantan dari Timur, Sang Pembebas dengan gelar pahlawan kemanusiaan Petta Malampee Gemme'na, kini berdiri di tengah kota Watampone Kabupaten Bone yang merupakan bukti sejarah dan menjadi simbol semangat hegemoni pejuang-pejuang Bugis masa lalu.

Malaweng, Hukum Adat Bugis Tempo Lalu

$
0
0
Setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri yang merupakan pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari pada jiwa bangsa itu sendiri. Demikian pula bangsa Bugis memiliki  tatanan hukum adat dalam menjalani kehidupannya.

Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa yang berlangsung turun temurun dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Sehingga ketidaksamaan inilah yang memberikan identitas antara bangsa yang satu dengan yang lainnya.

Adat diibaratkan sebuah fundasi yang kukuh, sehingga kehidupan modern pun ternyata tidak mampu melengserkan adat-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Karena adat itu dapat mengadaptasikan diri dengan keadaan dalam proses kemajuan zaman sehingga adat itu tetap kekal dan tegar menghadapi tantangan zaman.

Hukum adat merupakan sesuatu tatanan hidup masyarakat yang kemudian menjadi hukum yang tidak tertulis. walaupun demikian tetap dipatuhi berdasarkan atas keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Dahulu, dikalangan Bugis Bone dikenal hukum adat dengan istilah “Malaweng”. Dari berbagai sumber yang diperoleh penulis bahwa, Hukum Adat Malaweng itu terdapat tiga tingkatan, yaitu :
  1. Malaweng tingkat pertama (Malaweng Pakkita), yakni sesorang yang melakukan pelanggaran melalui pandangan mata. Misalnya, menatap sinis kepada orang lain, menatap tajam laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan lain sejenisnya. 
  2. Malaweng tingkat kedua (Malaweng Ada-ada), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran melalui kata-kata yang diucapkan. Misalnya, berkata yang tidak senonoh kepada orang, membicarakan aib orang lain, berkata sombong dan angkuh, berkata kasar kepada lawan bicaranya, dan lain sejenisnya. 
  3. Malaweng tingkat ketiga (Malaweng Pangkaukeng), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran karena perbuatan tingkah laku. Misalnya, laki-laki melakukan hubungan intim dengan perempuan adik atau kakak kandungnya sendiri, membawa lari anak gadis (silariang), melakukan hubungan intim dengan ibu/ayah kandungnya sendiri, menghilangkan nyawa orang lain, mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya, dan lain sejenisnya.
Dahulu, khusus dalam hal kawin-mawin dengan saudara kandungnya sendiri atau ayah/ibu kandungnya sendiri  tergolong pelanggaran adat yang paling berat karena apabila hal ini terjadi maka keduanya baik laki-laki maupun perempuan mendapat hukuman dengan cara “Riladung” yakni keduanya dimasukkan ke dalam sebuah karung yang diikat dengan tali kemudian ditenggelamkan ke dasar laut dengan menggunakan alat pemberat batu.

Dahulu, salah satu tempat eksekusi yang ada di Bone adalah Kawasan Tanjung Pallette yang berjarak 12 km dari kota Watampone sekarang ini. Keduanya dinaikkan kesebuah perahu kecil dan dibawa ke arah timur sejauh 3 km dari pantai Tanjung Pallette kemudian ditenggelamkan ke laut.

Menurut H.Andi Bahram Sebbu, bahwa khusus untuk bangsawan yang malaweng dihukum dengan cara ” Diludda” artinya dieksekusi dengan mengunakan alat tumpul seperti alu lesung sampai meninggal tanpa mengeluarkan darah. Karena tidak diperbolehkan seorang raja dihukum mati sampai mengeluarkan darah apalagi menggunakan alat runcing (Temmaka Wedding Ripassolo Darana Arungnge/ pantang mengeluarkan darah orang bangsawan). Salah satu bangsawan Bone yang dihukum dengan cara di Ludda di Tangga diantaranya, Lainca dan Arung Macege karena keduanya melakukan pelanggaran dengan memperisterikan muhrimnya sendiri.

Hukuman dengan cara “Diludda” seperti menghukum dengan cara disuruh berlari secara paksa (dalam bahasa bugis dinamakan disosok atau dirimpa) sampai menghembuskan nafas terakhir, dan bisa juga dihukum dengan menggunakan alat tumpul seperti kayu alu lesung, kemudian bisa juga dilakukan dengan cara membuat sang raja menjadi marah tak terkendali akhinya pingsan dan meninggal dengan sendirinya.

Dengan demikian, demi keadilan bukan hanya kalangan rakyat biasa yang dihukum akibat malaweng tetapi juga terjadi dikalangan bangsawan atau raja. Sehinnga hukum Malaweng ini berlaku untuk semua kalangan. Bahkan hukuman malaweng ini yang diberlakukan kepada bangsawan atau Raja jauh lebih berat dibandingkan masyarakat biasa.

Terminologi Keluarga pada Suku Bugis

$
0
0

Terminologi Keluarga pada Suku Bugis

 


Bugis
Indonesia
  1. Nene'
  2. Ambo'
  3. Indo'
  4. Wija
  5. Sulessureng
  6. Padarane
  7. Padakkunrai
  8. Anri'
  9. Daeng
  10. Baine
  11. Lakkai
  12. Ipa
  13. Matua
  14. Manettu
  15. Baiseng
  16. Sapposiseng
  17. Sappo kadua
  18. Sappo katellu
  19. Amure
  20. Nure'
  21. Appo
  1. Nenek / Kakek
  2. Bapak / ayah
  3. Ibu
  4. Anak
  5. Saudara
  6. Saudara laki-laki
  7. Saudara perempuan
  8. Adik
  9. Kakak
  10. Istri
  11. Suami
  12. Ipar
  13. Mertua
  14. Menantu
  15. Baiseng
  16. Sepupu sekali
  17. Sepupu dua kali
  18. Sepupu tiga kali
  19. Paman
  20. Kemanakan
  21. Cucu

Untuk Arah

Indonesia
Soppeng
Wajo (Tarum’pekka’ E)
Sidrap (Rappang)
  1. Utara
  2. Timur
  3. Selatan
  4. Barat
1.Manorang
2.Alau
3.Rattang
4.Orai
  1. Ma’nyiang
  2. A’laut
  3. Ma’noreng
  4. O’rei
  1. I’rijang
  2. Ti’moreng
  3. I’lautang
  4. Wa’ttang
Untuk Bilangan


No
Bugis
Jepan
English
Belanda
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Seddi
Duwwa
Tellu
Eppa
Lima
Enneng
Pitu
Aruwa
Asera
Seppulo
Ichi
Ni
San
Shi / Yon
Go
Roku
Nana
Hachi
Kyu
ju
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
ten
Een
Twee
drie
Vier
Vijf
Zes
Zeven
Acht
Negen
Tien

Cara Membuat Privacy Policy (kebijakan Pribadi)

$
0
0
Secara garis besar Privacy Policy merupakan kebijakan privacy dari sebuah blog maupun website yag di buat oleh pemilik itu sendiri. Dengan menambahkan halaman Privacy Policy pada blog, maka hal ini dapat menjadi dasar dan benar-benar akan di tekuni serta akan mejadi lebih baik dalam perkembangannya. Adanya kebijakan privasi ini agar pembaca bisa mengetahui semua ketentuan dan peraturan yang ada dalam blog atau website. Fungsi lain dari kebijakan privacy ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk mendaftar di Adsence dan situs pengelola iklan lainnya.
Selain membuat halaman Privacy Policy, masih ada beberapa syarat lain yang sama pentingnya dan harus ada pada web/blog, diantaranya Contact From, about Me, Disclaimer dan Site Map. Setelah Anda mengetahui pengertian Privacy Policy, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana cara untuk membuat halaman privacy policy. Perhatikan langkah berikut step by step dan jangan sampai ada yang terlewatkan.

Cara Membuat Privacy Policy (kebijakan Pribadi)
1. Kunjungi situs resminya atau klik Link ini.
2. Kemudian anda akan di arahkan pada halaman pendaftaran, perhatikan gambar berikut ini :
Cara Membuat Privacy Policy (kebijakan Pribadi) Di Blogspot


3. Silakan isi semua kolom pendaftaran dengan benar.
  • Your site Title : isi dengan Nama Blog anda.
  • Your Site URL : isi dengan Alamat Blog anda.
  • Contact Link : isi dengan Link Contact From  atau Imail yang anda gunakan pada blog.
  • Email Address : isi dengan Imail yang anda gunakan di blog.
  • Email Encryption : centang No Encryption.
  • Cokies : Centang Yes.
  • Advertisers On Your Site : centang pada Google Adsence ( jika blog anda ingin di daftarkan ke Adsence).
4. Jika anda sudah selasai mengisi kolom pendaftaran, selanjutnya klik Generate Policy.
5. Kemudian Anda akan di arahkan pada halaman Privacy Policy Online dan Copy semua teksnya.

THE LEGEND of MEONGPALO KARELLAE

$
0
0
THE LEGEND of MEONGPALO KARELLAE

Adalah salah satu episode dari epos La Galigo, suatu karya sastra yang bersifat mitologis, tetapi pada hakekatnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah sesuatu positif dan universal.

Meong Palo Karellae (MPK) yang artinya kucing loreng ke merah-merahan ( Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang), di Luwu biasa disebut Meong Palo Bolonge (MPB) yang artinya kucing loreng kehitam-hitaman, secara prinsipil versinya tidak berbeda hanya menyangkut istilah dan cara pandang seseorang terhadap Meong Paloe, apabila kucing tersebut dilihat dari depan maka warna yang dominan adalah hitam keloreng-lorengan, sebaliknya apabila dipandang dari samping maka kucing itu kelihatan berwarna merah keloreng-lorengan.

Sehingga sampai saat ini di kalangan masyarakat Bugis bahwa kucing yang mempunyai warna merah atau hitam keloreng-lorengan dianggap mempunyai aspek kedewataan, karena itu ia harus diperlakukan sebagai makhluk yang sakral dan keramat.

Ada beberapa upacara yang mengiringi pembacaan teks (Meong Palo Karellae), antara lain :
1) Upacara Mappalili,
2) Upacara Maddoja Bine
3) Upacara Mappaddendang.
Upacara Mappalili : adalah upacara membangun Arajang (Alat-alat kerajaan yang dianggap keramat dan sakral) menjelang musim panen, dalam upacara ini setelah usai membacakan doa, Bissu biasanya menunjukkan kesaktiannya dengan berkali-kali menusukkan senjata tajam ketubuhnya tanpa terluka (Maggiri), dengan diiringi tabuhan gendang dan musik tradisional Bugis yang seperti menghadirkan suasana magis. Apa yang diperagakan para Bissu dalam tarian Mabbissu itu, berupa kekebalan tubuh terhadap senjata tajam, sebetulnya manifestasi dua kekuatan yang menyatu dalam diri Bissu : Kekuatan kelembutan, dan kekuatan keperkasaan (Jalal dan Jamal) (Kombie,A.S,2003:200-201).
Bissu adalah sekelompok pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Ketuanya digelari Puang Matowa atau Puang Towa. Bissu dalam naskah I La Galigo adalah perantara antara manusia dan dewata sekaligus sebagai penasehat para raja dan keluarganya dan menjaga Arajang (benda-benda pusaka kerajaan). Mulan turunnya Bissu dipercaya sebagai pendamping Batara Guru ketika turun ke bumi (dunia tengah).

Bissu secara fisik adalah campuran antara lelaki dan perempuan yang secara filosofis dimaknai sebagai penggabungan kekuatan dan kelembutan. Sampai saat ini Bissu masih berperan banyak dalam ritual-ritual Bugis, salah satunya upacara Mappalili.
Maddoja Bine : diadakan sesudah 20 malam usianya upacara Mappalili, diadakan lima hari lima malam. Tiap malam teks MPK dibacakan oleh seorang Bissu atau orang-orang tua yang dijadikan sesepuh di hadapan seonggokan bibit padi yang akan ditanam di tengah-tengah rumah.

Mappaddendang : Diadakan sesudah panen, sebagai tanda kesyukuran atas berhasilnya padi. Upacara ini biasanya diadakan di muka istana kerajaan dengan mempertunjukkan berbagai macam kesenian, sambil menyaksikan para Bissu mempertunjukkan tarian-tarian ritual yang kadang disertai dengan atraksi yang cukup mendebarkan (Maggiri).

Saat ini upacara tersebut sudah jarang dilakukan kecuali di Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep, dan di Kabupaten Barru, Kemudian dilestarikan kembali di Kabupaten Bone. MPK (Meong Palo Karellae) mengandung aspek sosial budaya masyarakat Bugis.

Otonomi harus mampu menjaga karakter budaya dan kekhasan daerah. Kalau tidak, maka itu bukan otonomi. “Bahasa Lontara, dan kekhasan daerah lainnya harus bisa dijaga, demikian pula Meong Palo Karellae harus dijaga karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan.

BEGINI MEONG PALO KARELLAE

Sebuah mitos mengenai We Oddangriu puteri Batara Guru yang setelah meninggalnya, menjelma menjadi Dewi Padi (Sangiangserri), Meong Palo Karellae adalah penjelmaan dari ibu susuan (Inannyumparenna) We Oddangriu menceriterakan pengembaraan Sangiangserri dan pengikutnya ke beberapa negeri Bugis untuk mencari manusia yang berbudi baik dan berlaku sopan santun.
Batara Guru adalah anak lelaki tertua dari mahadewa langit To Palanroe (sang pencipta), juga dinamai To Patotoe (sang pengatur takdir manusia), dari Datu Palinge (wanita sang pencipta) turun ke bumi atas keinginan dari semua Raja laki-laki dan Raja perempuan di langit dan dibawah bumi, sesudah para keluarga besar mahadewa di langit mengadakan rapat, maka diputuskan untuk mengirim Batara Guru guna menciptakan tulang bumi, yang ketika itu masih kacau balau sebagai tempat yang dapat didiami oleh manusia.

Oleh karena Batara Guru tidak dapat tinggal dibumi, selanjutnya ditentukan bahwa kakak lelaki kembar ibunya, mahadewa dari dunia bawah yang bernama Guru ri Sa’lang, dan istrinya dari saudari kembar Patotoe yang bernama Sinau Toja (yang dinaungi oleh air), anak perempuan mereka Wenyili Timo Tompoe (To Ompoe’) ribusa empong (yaitu yang muncul dari buih gelombang) akan dikirim ke bumi, disamping kelima puteri-puterinya lainnya dari bawah bumi untuk dikawinkan dengan Batara Guru sebagai istri pertama dan utama.

Batara Guru sesudah itu turun ke bumi melalui pelangi di dalam batang bambu dengan pengiringnya. Sedang Wenyili Timo dengan rombongannya muncul dari buih-buih ombak laut, dan disambut dengan tangan terbuka oleh Batara Guru. Tempat pertemuan ini adalah Luwu yang pada waktu itu dinamai Wara’. Dari sinilah peradaban menyebar selanjutnya keseluruh Sulawesi, dan bahkan keluar negeri.

Pada suatu waktu Batara Guru termenung dan melepaskan pandangan ke arah matahari terbit. Tiba-tiba dilihatnya di sebelah timur datang sebuah sinar menerangi lautan, laksana bara api memercik-mercik berkilau-kilau di permukaan laut terhampar. Berkatalah Manurunnge (Batara Guru) kepada dayang-dayangnya : ” Apakah itu (hai) We Senriu, (hai) We Lele-Ellung, (hai) Apputalaga, bagaikan api menyala-nyala di atas samudera itu?” Baru saja lepas pertanyaan Manurunnge itu, tiba-tiba muncullah We Nyili’Timo di atas air (Busa empong), di elu-elukan oleh cahaya cemerlang laut terhampar. Dengan penuh rasa gembira, Manurunnge pun melihat kedatangan sepupunya, teroleng-oleng di atas lautan, maka bersabdalah Batara Guru “Berangkatlah engkau semua putera-putera dewata, menerangi, menyonsong kedatangan Datu junjunganmu!” Maka sekalian anak Datu sama melompat berenang, menyonsong Datu junjungannya.

Seolah-olah madu tergenang dalam hati Batara Guru memandang sepupunya, menyuruh angkat naik ke pantai, dan mengundang masuk istana. Pada saat itu, lupalah Batara Guru kehidupan di Botillangi (dunia atas) setelah bergaul dengan sepupunya sebagai suami-isteri. Mereka senantiasa duduk bersanding, menikmati kipasan angin dari kipas emas kemilau. Sesudah tiga bulan lamanya, We Nyili’timo berdiam diatas bumi, ia pun mengidamlah. Tak enak perasaannya, tidak ada barang sesuatu yang dapat diterima oleh perutnya. Pada suatu hari yang cerah, kedua suami-isteri melepaskan pandangan melewati jendela istana. Wenyili’timo pun memandang burung-burung beterbangan. Di antaranya burung-burung itu terlihat seekor yang menerbangkan buah nangka di paruhnya, ada yang menerbangkan pepaya masak dan pisang. We Nyili’timo’ pun menyeru, “memanggil burung-burung itu dan berkata :”Bawaan burung-burung itu tak akan memabokkan, karenanya ingin saya memakannya”.

Tepat ketika matahari bersemayam di tengah-tengah langit, bayang-bayang tak condong ke barat ataupun ke timur, maka diulurkanlah turun Puang ri Lae-lae yang tinggal dilereng gunung Latimojong, diulur juga I We Ampang Langi’, yang akan menjadi dukun beranak di istana. Sesudah tujuh bulan kandungan We Nyili’timo’, bersalinlah ia seorang puteri, diberinya nama We Oddang-Riu’. Tetapi tujuh hari saja usia puteri itu, terseranglah ia penyakit perut yang menyebabkan kematiannya. Maka dicarinya hutan untuk tempat menyimpannya, tempat yang akan dijadikan kuburannya. Setelah tiga malam meninggalnya We Oddangriu’, datanglah kerinduan dalam hati Manurunnge kepada almarhumah puterinya. Ia pun keluar menuju kuburan puteri tercinta. Tetapi apa yang dijumpainya hanyalah padi menguning. Itulah sangiangserri. Ada yang putih, ada yang hitam, ada yang merah memenuhi padang, meliputi daratan, memenuhi parit-parit. Maka dibawanya sangiangserri itu pulang ke istananya.
Maka berkatalah To PalanroE (Lapatotoe) di Botillangi’ kepada puteranya :” Hai anakku itulah puterimu yang menjelma menjadi sangiangserri”. Tetapi janganlah engkau memakannya dulu. Nantilah setelah lewat beberapa tahun, setelah engkau telah melupakannya, barulah engkau memakannya. Sebelumnya makanlah jagung”.

Tatkala Sangiangserri (Dewi Padi) merasa tidak lagi dihargai oleh orang-orang Luwu, ia tidak lagi di tempatkan pada singgasananya, penduduk tidak lagi mematuhi petuah, pantangan, dan larangan-larangannya, ia dimakan tikus pada malam hari, di totok ayam pada siang hari, karena hanya Meong Palo Karellae yang mengawalnya justru ia disiksa oleh manusia, maka iapun sepakat dengan MPK dan pengawal-pengawalnya untuk pergi mengembara (Sompe).
Dalam pengembaraan itu, mula-mula sangiangserri dan rombongan tiba di Enrekang, lalu terdampar di Maiwa (Duri), kemudian berturut-turut ke Soppeng, Langkemme, terus ke Kessi, Watu, Lisu, sampai akhirnya tiba di Barru. Perjalanan dari Enrekang sampai ke Lisu, penuh dengan berbagai dengan derita dan tantangan, sikap dan perlakuan orang-orang yang tidak senonoh, kucing (MPK) disiksanya habis-habisan, ia dan rombongan kelaparan, kehausan, belum lagi kepanasan yang menimpanya pada siang hari, dan kedinginan pada malam hari.
Tetapi ketika ia di Barru, ia menemukan sesuatu yang lain dari tempat-tempat yang telah dilaluinya. Sangiangserri (Sanghyangsri) dan rombongan di sambut dengan penuh kehangatan, dijamu, diistirahatkan di Rakkeyang (loteng), ditambah dengan sifat keramah-tamahan penduduk, keadilan dan kebijaksanaan penguasa, membuat Sangiangserri dan rombongan beta.

Sayang sekali Sangiangserri sudah terlalu letih, lelah, dan sedih mengingat suka duka perjalanannya, dan sifat-sifat anak manusia yang ditemuinya, sehingga ia bertekad untuk meninggalkan bumi, untuk kemudian kembali ke langit menemui kedua orang tuanya yang bertahta di Boting Langi (Kerajaan Langit).

Tetapi sesampainya di langit, Sangiangserri beserta rombongan tidak diperkenangkan oleh kedua orang tuanya untuk menetap dilangit, sebab memang nasib dan kejadiaannya telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk memberi kehidupan kepada orang-orang bumi (Peritiwi). Karena itulah akhirnya mereka terpaksa kembali ke bumi, dan Barru lah yang dituju sebagai tempat menetap mereka.
Tujuh hari tujuh malam sesudah Sangiangserri tiba di Barru, barulah ia memberikan petunjuk-petunjuk, petuah-petuah, nasehat-nasehat, serta pantangan-pantangan, khususnya yang berhubungan dengan pertanian, dan norma-norma masyarakat Bugis, baik menyangkut lapangan hidup pertanian, maupun sikap dan perilaku yang patut (Sitinaja) dimiliki oleh masyarakat, agar masyarakat tetap makmur, tenteram, dan sejahtera.
Hal ini dimungkinkan karena dengan demikian Sangiangserri akan menetap di Barru, dan itu pertanda sebagai kemakmuran dan kesejahteraan. (dapat dibuktikan bahwa Arung Barru (Raja Barru) adalah keturunan Raja Bone, Mappajunge ri Luwu dan Sombae ri Gowa).

Inilah yang menceriterakan kucing loreng kehitam-hitaman atau kucing loreng kemerah-merahan, juga disebut Cokie, Meong Paloe dan Posa’e.
Dia (MPK) berkata :” Ketika aku bermukim di Tempe, menetapku di Wage, meski belanak saya makan, meski bete kubawa berlari, tak pernah aku di usik, sabar dan pemurah, tuanku yang punya rumah.

Kemudian aku dihina Punna Langi (Penguasa Langit), tak di senangi oleh Dewata, diatas di Ruangllette, dibawah di Peretiwi (Dunia Bawah). Aku lalu terbuang di Enrekang, terdampar di Maiwa, tak teratur makananku. Ketika tuan rumah pulang dari pasar, ia membawa ikan ceppe (semacam ikan mujair), aku mendekat dan merampas, dekat yang paling besar. Dipukulku dengan punggung parang, oleh yang empunya ikan ceppe, bagaikan pecah kepalaku, seperti keluar biji mataku, berkunang-kunanglah penglihatanku, bagaikan keluar isi otakku, melayang semangatku, tersingkap jiwa ragaku, padam pelita di dalam, perasaan hatiku, pupuslah sudah kekuatanku, bergetar-getar (Seluruh) tubuhku. Sembari berlari mendengus, dibawah dapur, bagaikan pupus di dalam, perasaan hatiku, berdenyut-denyut sudah, seluruh anggota tubuhku, maka tersalah semuanya, urat-urat kecilku, bergetar-getar pula seluruhnya, semua urat-urat besarku.
Kemudian kembali dilemparnya aku dengan sakkaleng, oleh tuanku yang punya rumah. Akupun berlari diatas papan dapur, ia pun melempar lagi aku dengan pabberung, oleh tuanku yang memasak. Kulari mendengus, di bawah dapur, ditusuknya aku dengan puntung kayu bakar, oleh tuanku yang memasak, kemudian dilanjutkan dengan menusukku dengan pabberung, aku pun lalu terjatuh ke tanah.
Kemudian aku di patiti (memanggil anjing dengan menggonggong), tuanku yang punya rumah, maka gegerlah semua orang.
Pada berdatangan orang yang menumbuk padi mengusirku dengan alu, memukulkan dengan alat pemukulnya, melemparkan nyirunya (Pattapi), berserakanlah padinya, tertumpah berasnya, menumpuk sambil tersungut-sungut, berhamburanlah sebelah menyebelah, tanpa ia tunduk memungutnya. Ayam pun kemudian membawa lari, sebutir setangkai. Tak henti-hentinya mengomel, tuanku yang menumbuk, ada juga yang mengusirku dengan siak (mengusir kucing dengan kata sih) gegerlah lagi semua orang, perempuan laki-laki, akupun berlari memanjat, pada tiang yang sampai rumah, terus-terus aku naik, hingga sampai di rumah.

Kemudian aku masuk di bawah tenun, ditusuknya aku dengan alat tenun, oleh tuanku yang bertenun. Akupun berlari terengah-engah, di bagian rakkeyang, tak henti-hentinya memburu, tuanku yang punya ikan ceppe. Langsung aku naik, di rakkeyang, disusulnya aku yang punya rumah. Lalu aku berlari berlindung, dibawah usoreng (tempat tumpukan padi di rakkeyang), menyelundupkan kepalakaku, mengunci diriku, dibawahnya We Tune (nama lain dari Datu Sangiangserri), ratunya sangiangserri tak henti-hentinya marah, isteri yang empunya rumah, laksana kabut yang mengepul, raut mukanya dipandang, tak henti-hentinya mengumpat, laki-laki perempuan, seluruh isi rumah.
Kebetulan sekali, nyenyak tidurnya, Datu Sangiangserri , ia diserempet oleh ujung cambuk, ia pun berpaling terkejut, bangkit dengan awut-awutan, Datu Sangiangserri. Alangkah ibanya jiwanya, pilu perasaannya, melayang semangatnya, sedih di dalam, perasaan hatinya, Datu Sangiangserri.

Sembari menangis We Tune’ berkata : sang keturunan pajung (gelar bangsawan tertinggi di Luwu) :” Bangunlah sekalian ! padi ketan padi biasa, semua padi yang setia, tak usah tinggal menderita, di tempat usoreng ini. Bangkitlah kita pergi mencari sifat-sifat yang baik, aku tak mau lagi tinggal disini, di totok oleh ayam, dimakan oleh tikus, sebab hanya kucing yang diharapkan untuk menjaga kita, berjaga-jaga tanpa tidur, malam dan siang, menangkap tikus, agar tidak gugur tangkaiku, maupun pengikatku, justru dialah (MPK), yang sangat dibenci, oleh isi rumah”. Belum lagi habis pembicaraan, Datu Sangiangserri, maka pada bangkitlah, seluruh isi rakkeyang, sama duduk melingkar mengelilingi tumpukan padi, besar kecil, beras ketan beras biasa, semua padi yang banyak, semua padi yang setia. Belum lagi hancur daun sirihnya, belum sempat berkedip mata, maka sama bergerak, semua padi yang banyak, diarak bergerak, di muka We Tune, Datu Sangiangserri.

Berkata sembari menangis We Tune :” Bagaimana tanggapanmu, menurut pikiranmu, perihal dibencinya sang kucing, disiksa siang malam. Sebab menurut pendapatku, di dalam sanubariku. Lebih baik kita pergi membuang diri di kampung yang jauh, mencari budi pekerti yang baik. Siapa tahu kita mendapatkan orang sabar dan berpasrah diri, sesuai keinginan kita, tahu menghargai Wisesa (Sangiangserri), menaikkan padi, tidak cemburu hati terhadap tetangganya, sabar berpasrah diri, terhadap sesama manusia, laki-laki yang jujur (lempu), wanita yang dermawan (malabo), mengantar orang yang bepergian (marola), menjemput orang yang datang (madduppa), memberikan makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, menyarungi (memberi sarung) kepada orang yang telanjang, menerima orang yang susah, menampung orang yang terdampar, menerima orang yang dibenci, menerima semua orang, yang diperlakukan sewenang-wenang, oleh sesama manusia” inilah dinamakan malabo (dermawan).

Serentak sama mengiya, semua padi yang banyak, juga gandum dan jagung, serta semua teman-temannya.
Belum lagi hancur daun sirih, belum sempat mata berkedip, maka sama berangkatlah, semua padi yang banyak, mengikuti ia turun, di arak dengan tenang, Datu Sangiangserri.

Kemudia ia sampai berdesakan, dirumah Matoa, Sulewatang Maiwa, yang diikuti menurun, oleh Datu Meong Paloe, memenuhi sebagian rumah. Belum lagi hilang letihnya, duduknya dirumah, Datu Sangiangserri, kebetulan sekali, sedang makan orang dirumah, menyendok nasinya secara berhamburan, menyuap tanpa memasukkan di mulut sehingga nasi berhamburan di lantai, tanpa tunduk memungut, ibu yang melahirkannya, dan tidak mau di tegur, terhadap teman-temannya.

Kemudian ia (penghuni rumah) berpaling berontak, menangis meronta-ronta, merajuk tak henti-hentinya, sembari menggaruk-garuk kepalanya, dan menarik rambutnya, diiringi dengan keringat yang bercucuran. Melemparkan nasinya, berhamburanlah ia, ke kanan dan ke kiri. Marah nian bapaknya, juga ibu yang melahirkannya, di sumpah-sumpahinya anaknya, juga teman-temannya, dan berkelahi dengan suaminya.

Kemudian ia berpaling sembari berkata, Datu Sangiangserri, terhadap teman-temannya :”Saya tak ingin bermalam, tidak ditakdirkan We Tune, Tuhan Pabare-baree, di atas di Boting Langi, di bawah di Peretiwi, duduk bertahta di Maiwa, memberi kehidupan orang bumi. Tak kusenangi perbuatannya, juga sifat-sifatnya, matoa petani tersebut, Sulewatannya Maiwa. Turutlah kalian! Kita pergi, mencari sifat-sifat yang terpuji, agar kita menemukan, sesuai kehendak hati kita perempuan yang rapih, lelaki yang berpasrah diri, lapang dada di dalam sanubarinya (baik hati), tidak culas, berpasrah diri terhadap sesama manusia, tahu menjemput wisesa (padi), menaikkan Sangiangserri di rakkeyang.

Serentak mereka berangkat, semua padi yang banyak mengikuti menurun, Datu Sangiangserri, dipikul oleh air, bertelekan tanah, menyeimbangkan (badan) pada angin, berjalan beriring-iringan, Datu Sangiangserri.
Belum hancur daun sirih, belum lagi mata berkedip, maka ia pun telah membelakangi Maiwa, dan didepannya adalah Soppeng, di pinggirnya terdapat Pattojo, dekat pula La Injong, yang mengarah ke Bakke.
Keesokan harinya, ketika langit cerah, matahari bersinar di balik pegunungan, matahari yang bersinar. Fajar pun telah menyinsing, maka berpalinglah berkata, Datu Sangiangserri, kepada teman-temannya : “Sebaiknya yang mana kita harus tuju, apakah yang disebelah utara, jalan yang menuju Bakke, ataukah yang disebelah barat, jalan yang menuju Tanete”, maka serentak mengiya, semua teman-temannya dan berkata:”Anginlah engkau dan aku hanya daun kering (Angikko ku raukkaju), kemana tuan bertiup, ke situlah hamba terbawa”.

Kemudian singgah beristirahat sejenak, Datu Sangiangserri di perantaraan kampung, menyebarkan baunya, harumnya menusuk hidung, di dapatinya, Datu Tiuseng (bibit), gandum dan jagung, dan jelai yang banyak, dalam keadaan sedih pada bertangis-tangisan, di luar kampung, pada bersiap-siap untuk membuang diri.

Buntulah perasaannya, Datu Sangiangserri, karena tidak ditemuinya satu pun, kampung yang bakal ditempatinya. Kemudian ia berpaling dan berkata Datu Tiuseng, terhadap teman-temannya :”Perbaiki gerangan dirimu, seperti aku melihat, tuan kita yang disembah, yaitu Tuan kita We Tune Datu Sangiangserri, mari kita ikuti dari pada tinggal berdesakan, di perantaraan kampung, dimakan tikus, di totok ayam, dan dimakan hama. Belum lagi habis ucapannya, Datu Tiuseng, maka tibalah ia berdesakan, keturunan mappajung, keturunan dari Boting Langi, keturunan dari Peritiwi. Kemudian berpaling dan berkata, Datu Sangiangserri : Dengarkan baik-baik kataku, Datu Barelle (jagung), Datu Tiuseng (bibit), dan semua jelai yang banyak, aku bertanya baik-baik, apa gerangan yang menyebabkan engkau duduk disitu, di luar perkampungan, serentak mereka sujud sembari berkata, Datu Barelle, Datu Batae, Datu Riusenge, dan semua jelai yang banyak :” Sudah terlalu sakit aku Tuanku, tidak dibawa ke rumah, orang di Langkemme. Bawa aku Tuan, dan kita memilih tempat menetap, kampung yang kau tetapkan”. Ia pun berkata, Datu Sangiangserri :”Kendatipun demikian ucapanmu, biarlah singgah sejenak, di kampung Langkemme, menenangkan perasaan. Siapa tahu kita menemukan, sesuai kata hati kita, sabar dan berpasrah diri, lelaki yang jujur, perempuan yang apik, dan berlapang dada, terhadap sesama manusia, tidak berbuat culas, tidak cemburu hati, terhadap tetangganya, sabar dan pasrah, terhadap anak cucunya, sabar dan tekun, tidak cemburu hati, terhadap orang-orang sekampungnya”.
Ia pun menangis dan berkata, Datu Sangiangseri, terhadap teman-temannya :”Tidak jadilah saya menetap, di Kampung Langkemme, saya sangat pedih (melihat), marah tak tentunya, berkata-kata seenaknya, Matoa petani, yang berkuasa di Langkemme, di sumpah-sumpahinya anaknya, disinggung perasaan teman-temannya, disakitinya sekampungnya, orang yang cemburu hati, terhadap tetangganya. Mereka mengundang bala yang dahsyat, oleh sifat yang tidak terpuji”.
Ia pun mengulang lagi perkataannya, Datu Sangiangserri : ” Mari kita berangkat, mencari sifat-sifat yang terpuji, siapa tahu kita menemukan, sesuai kata hati kita. Sabar penuh pasrah, terhadap sesama manusia, laki-laki yang pemurah, perempuan yang apik, berpasrah diri, terhadap sesama manusia, diberinya kuru’ sumange’, keluarga dan sekampungnya, tidak culas, tahu menjemput wisesa (padi), menaikkan ke rumah Sangiangserri. Serentak mereka sama berangkat, turun kembali, Datunna Sangiangserri, diusung oleh air, bertelekan pada tanah, menyeimbangkan tubuh pada angin, melewati perantaraan kampung, ketika mentari di rembang senja, bertemulah dengan gelap, pelita sang Datu pun telah menyala, ketika ia telah membelakangi Langkemme.
Belum lagi habis daun sirih, belum lagi mata berkedip ia pun telah berada di Ambang (kampung) Kessi, ia pun berpaling sambil berkata, Datu Sangiangserri : “Marilah kita singgah sejenak, di kampungnya orang Kessi, siapa tahu kita menemukan, sesuatu kata hati kita, itulah kemudian yang kita tempati, menetap di dalam, tenggorokan manusia”.

Merekapun serentak mengiya, semua padi yang banyak, gandum dan jagung, dan semua jelai yang banyak. Belum lagi habis daun sirih, belum lagi berkedip mata, merekapun telah sampai di Kessi, langsung mereka naik, di istana kerajaannya, Matoa petani, yang menguasai Kessi, memenuhi sebagian rumah, mereka duduk, sembari bersandar dengan santai, pada bagian tiang rumah.
Kebetulan sekali, sedang berkelahi dengan suaminya, orang di dalam rumah. Dan ketika senja hari, mereka berlomba-lomba memasak, pada menaikkan pancinya, menjejerkan belanganya, sembari duduk berdesak-desakan di muka dapur. Ada yang sedang memegang sajinya, ada yang mengayu akan sendoknya, sementara yang lain mengaduk peniupnya. Di tengah-tengah dapur, dan memperebutkan puntung kayu bakar. Maka menangislah sambil berkata, Datu Sangiangserri :”Dengarkanlah sekalian, semua padi yang banyak, di Kampung Lakessi.

Tak kusukai perbuatannya, tak kusenangi sifatnya, wanita tercintanya, Matoa petani, yang berkuasa di Lakessi. Mari kita turun ! pergi mencari sifat yang baik, agar kita menemukan, sesuai dengan bicara (kata hati) kita, sesuai dengan jalan pikiran kita, bicara yang tidak bertentangan, wanita yang apik, laki-laki yang patuh, terhadap sesama manusia, tahu menjemput wisesa, menaikkan Sangiangserri, tidak cemburu hati, terhadap tetangganya, dan menerima orang yang kesusahan”.

Serentak mereka turun, diusung oleh air, bertelekan pada tanah, menyeimbangkan tubuh pada angin, dan akhirnya beristirahat sejenak di perantaraan kampung, sebab sudah terlalu lelah, Datu Sangiangserri, berjalan jauh. Mereka kemudian naik di rumah sebelah timur, tak mendengar suara apapun, dan tak melihat seorangpun, duduk menghidupkan pelita ketika gelap mulai menjelang. Mereka tidur bersilang-silangan, laki-laki perempuan. Serentak dia naik, Datu Sangiangserri, langsung meraba, tempayan yang didudukkan, tak ditemuinya setitik airpun, apalagi yang namanya seteguk, ke Datu Tiuseng, gandum dan jagung, semuanya jelai yang banyak, Datu Meong Paloe. Kemudian mereka berkata :”Kur jiwa semangatmu (Kuru’ sumange’mu), keturunan La Patotoe, keturunan Datu Mangkau’, anginlah engkau ku daun kayu yang kering, di atas engkau bertiup, datu engkau terdampar, kuikuti terbawa, terbawa-bawa sampai, di dunia pammasareng (alam arwah).

Belum lagi lepas ucapannya, serentak mereka telah tiba berdesakan, di rumah peristirahatannya, Matoa Watu, memenuhi rumah sebagian langsung ia naik, Datu Meong Paloe, menghempaskan diri berbaring, diatas onggokan padi, seketika ia langsung tertidur pulas. Belum lagi kering keringatnya, Datu Sangiangserri, ketika lewat tengah hari, isteri yang empunya rumah, tanpa mencuci kaki, langsung naik ke rakkeyang, mengambil padi seikat. Bertepatan ketika itu, berbaringnya sang kucing, di puncak onggokan padi tersebut, mengumpulkan dengan baik, desahan nafasnya, sebab sudah terlalu capek, berjalan sepanjang jalan, rasa laparpun telah memuncak, lapar dan dahaga, perasaan jiwanya, Datu Meong Paloe. Bergetar-getar seluruh tubuhnya, bergerak-gerak dagingnya, berkunang-kunang sudah penglihatanya. Ia kemudian diusir, tapi sang kucing tetap saja enggan bergeser, Datu Meong Paloe, spontan ia naik, menyepaknya dengan ujung kaki, maka terlemparlah sang kucing, terdampar persis di depannya, Datu Sangiangserri.

Ia pun bangkit awut-awutan, sembari berpaling dan terkejut, Datu Sangiangserri. Ia pun berangkat dengan mengamuk isteri yang empunya rumah, diangkatnya padinya, dengan marah dan berjalan turun, menuju ke lesung, tanpa mengistirahatkan sebentar, di tengah rumah. Ia pun menumbuk dengan mulut komat-kamit, berhamburan sebelah-menyebelah, tanpa tunduk memungutnya, maka ayampun membawanya lari, sebutir dan setangkai.
Ia pun menangis sembari berkata, Datu Sangiangserri, terhadap teman-temannya : “Ayo kita turun dan berangkat, hatiku sangat pedih, melihat perbuatan takabbur, dari yang empunya rumah.
Maka serentak mereka berangkat, Datu Sangiangserri, diarak dengan tenang, diusung oleh air, bertelekan pada tanah, maka menipislah sudah, seluruh isi rakkeyang, penguasa di Watu.

Kemudian ia pun menangis dan berkata, Datu Sangiangserri “Ayo kita turun, menelusuri takdir kita, yang telah ditetapkan, To Pabbare-baree (yang memelihara), mencari sifat-sifat yang terpuji, siapa tahu kita menemukan, wanita yang apik, laki-laki yang sabar, berpasrah hati, terhadap sesama manusia, tahu menjemput wisesa, menaikkan Sangiangserri.

Merekapun telah sampai d Lisu, menangis dan berkata We Datu :”Ayo kita singgah sejenak, di istana kerajaannya, Matoa petani “Serentak mereka mengiya, semua padi yang banyak, semua teman-temannya. Bertepatan ketika matahari di rembang senja, bertemunya gelap, ketika mereka tiba berdesakan, memenuhi rumah sepotong, bagaikan angin ribut yang datang, suaranya kedengaran, tanpa kelihatan wujudnya, berhamburan menusuk hidung, harumnya We Tune, memabukkan harumnya. Bertepatan sekali, sedang makan minum orang Lisu, berjaga menghadapi bibit padinya, begitu sulit nasinya (makan), menggerutu, di dalam jiwanya, isteri petani, sumpah serapahnya tak henti-henti, kata di dalam hatinya :”Apakah berhasil kelak, ataukah tidak, padi yang kupersiapkan, sudah terlalu banyak, belanjaku yang tak habis-habisnya, perbuatan yang tak karuan, Matoa petani, yang berkuasa di Lisu ini. Dan disini semuanya berkumpul, keluarga dan sekampungnya, begitu sulit nasinya, itulah yang membuat aku malu, berjalan di saksikan oleh orang”.

Tak henti-hentinya ia bersumpah, isteri yang sama keturunannya, Matoa Lisu, kebetulan sekali suaranya di dengar, oleh Datu Sangangserri, ketika menyerakkan baunya, bau-baunya We Tune’, memabukkan baunya.

Sembah sujud sembari berkata, Matoa petani itu :”Maafkan aku oh marupe ingatlah tuan, dan maafkanlah hambamu, lalu kemudian ia berpaling, kepada isterinya yang lalai; “ingatlah marupe musuhlah nafsumu, batasilah murkamu” Dapatkah engkau gerangan Datu watena, keturunang Mappajung, yang menyerbakkan baunya, dan memabukkan harumnya, kasihanilah aku We Raja, duduklah di sini marupe, di kampungmu di Lisu memberi makan orang bumi, simpanlah di luar langit, dan di atas bara, amarahnya hambamu”.

Ia pun menangis dan berkata, Datu Sangiangserri : “Baik sekali ucapanmu, hai Matoa petani, aku akan tetap pergi, mencari orang yang berbudi pekerti, orang lapang dada, dan mempunyai sifat-sifat yang terpuji. Biarlah aku pergi membuang diri, agar aku menemukan, sesuai dengan ucapan, di dalam jiwaku, wanita yang apik, laki-laki yang jujur, sabar dan berpasrah diri, terhadap sesamanya manusia, tahu menjemput wisesa. Kiranya di situlah menetap, semangat sanubariku, barulah aku berhenti merantau. Sebab saya tidak senang, ittikad yang tidak baik, isteri yang sama turunannya, Matoa petani itu, tidak mengenal siapa We Tune’, yaitu keturunan Lapatotoe anaknya I Lasangiang yang menetap di Boting Langi, di bawah di Peritiwi, keturunan manusia pertama, anak mappajung, membawa kesusahan yang tiada taranya, dan kesedihan, sampai akhirnya terdampar di kampungmu”.

Sembah sujud dan bersumpah, Matoa petani, yang memerintah di Lisu, menengadahkan kedua tangannya, menyesali diri tak henti-hentinya, terhadap orang-orang yang ada di dalam rumah, terhadap isterinya yang lalai, isteri seketurunannya, wanita durhaka, tidak mengenal We Tune, keturunan yang disembah. Bagaikan pupus di dalam, perasaan hatinya, Matoa petani, penguasa di Lisu.

Tanpa berpaling lagi, Datu Sangiangserri, langsung berangkat, diarak dengan tenang, diusung oleh air, bertelekan pada tanah, dan menyeimbangkan badan pada angin, melewati perantaraan kampung.

Ia kemudian singgah mengamati, perantaraan kampung, mereka pun datang berdesakan, dipinggir rumah, Sulewatang yang memerintah, sebagai penguasa di Lisu. Kebetulan sekali orang sedang bertengkar, sekeluarga, Ia pun mendengarkan yang disebelah timur, maka tak seorangpun yang di dengarnya, berkata-kata yang baik, perempuan laki-laki, penduduk Lisu, dan tidak mempunyai pendapat yang searah, sekampung dan sekeluarga, dibencinya semuanya, dan cemburu hati, terhadap sesamanya kita turun berangkat, menelusuri suratan takdir kita, yang telah digariskan, oleh To parampuk-rampuk’e, menelusuri jalan yang benar, berjalan jauh, agar kita menemukan, orang yang sesuai dengan kata hati kita, sabar dan berpasrah diri, pengasih dan pemurah, merendah diri, terhadap teman-temannya, sekeluarga dan sekampung, jujur dan hemat, sabar dan rajin, dan diatasi oleh Batara, dipayungi Batara, dan diliputi oleh Peritiwi, agar kita menemukan, sesuai dengan kata hati kita, dan kita pilih sebagai tempat menetap, semangat sanubari kita, menyatukan cahaya semangat kita”.

Serentak mereka mengiya, semua padi yang banyak, padi ketan padi biasa, semua padi yang setia, Serentak ikut pula rombongan, gandum jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Paloe, berbondong-bondong mengikuti. Datu Sangiangserri, diarak oleh awan, bertelekan pada tanah, menyeimbangkan tubuh pada angin, menelusuri perantaraan kampung, mengikuti jalan yang panjang, mengikuti anak sungai yang panjang.

Mereka tidak lagi mengamati, semua kampung yang banyak, kampung yang luas. Tiga hari tiga malam, jalan sepanjang jalan, merekapun tiba pada sebuah persimpangan jalan, keturunan mappajung, keturunan yang disembah, buntulah pikirannya, semua padi yang banyak, Datu Sangiangserri. Mereka kemudian serentak berkata : “Aku menengadahkan tangan Tuanku aku ada kulit bawang We Tune’, tenggorokanku di dalam, akan datang La Puang, jawablah kata sepotong, keturunannya yang disembah, anak mappajung, kemana gerangan tibanya, matahari itu”.

Mereka kemudian menemukan simpang jalan, yang menuju ke Barru, mereka lalu sembah sujud, semua padi yang banyak, “Kemana gerangan jalan yang kita tuju, apakah kita melewati, jalan menuju Barru? “Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :” Sebaiknya kita lewat, jalan yang menuju Barru, siapa tahu kita menemukan, sesuai dengan kata hati kita, menampung orang yang terdampar, menerima orang kesusahan, sabar dan pasrah, jujur dan berhati-hati, dilindungi aku Batara, diliputi oleh Peritiwi, memusuhi nafsunya, dan membatasi marahnya.

Sebab menurut firasatku, di dalam sanubariku, di sinilah (Barru) tempat menetapku, rumah mahligainya, Pabbicara di Barru, terang benderang kulihat pelitanya, penuh semangat perasaanku, mendengar suara kawalakie, rajin menegur, terhadap anak cucunya, diberinya kuru’ sumange’, terhadap semua teman-temannya.

Tempat yang kita pilih sebagai tempat menetap, adalah yang berlapang dada, merendah diri, menghargai sesama keluarga dan sekampung, berbicara jujur, tidak berbuat culas, terhadap isi hatinya”.

Kemudian ia tunduk sembari menangis, Datu Sangiangserri, menenangkan perbuatannya, Matoa Maiwa, sambil menghempaskan ingus ia berkata :”Apakah kalian masih ingat ketika pertama kali lahir di Luwu, lalu terdampar ke Ware’, yang membuatku bersedih, tak dikembalikannya aku ke dalam, Tuan kita manusia pertama, jelas tidak datang lagi, di dalam perutnya kembali, sama sepakat, Tuan kita yang wanita yang timbul dari Busa Empong, turun di Luwu. Itulah yang membuat saya marah, kupergi membuang diriku. Kubelakangi Luwu, kuterdampar di ware, sampai akhirnya tiba, di kampung Barru. Tidak ditakdirkan We Tune, To Pabbare-baree, menjadi manusia di Luwu, menyempurnakan kehidupan kampung, Ware, mendinginkan orang banyak, Barru telah ditetapkan diberikan untukku, oleh Tuan kita manusia pertama, yang turun di Luwu, sama sembahnya di ware. Tidak ditakdirkan We Tune, menjadi datu di Luwu, menjadi Pajung di Luwu, dan melayanglah sudah, jiwa raga mangkau’ku, sehingga menjadi padi menguning. Tiga hari setelah aku lahir, di istana kerajannya, senapati mangkauku, orang pertama di Luwu, yang menetas di bambu betung (Tellang Pulaweng). Usiaku kemudian pendek, Tuhan telah mentakdirkan, mati muda di dunia, menjadi Sangiangserri, menjadi padi menguning, pada perbuatan terlarangku, kubur pembaringanku.

Disakiti aku oleh orang Luwu, itulah yang kusakitkan, kupergi membuang diri, kubelakangi Luwu, kuterdampar di Ware, kuterdamparlah di Barru. Sangat takbur nian, orang Luwu dan Ware, aku tidak dinaikkannya, dirumah peristirahatannya, hampirlah aku jadi benir, di patuk-patuk oleh ayam, dimakan tikus, baginya lebih berharga, lebih disenangi, makanan yag salah, dia lebih menyukai, talas dan ubi, sedih nian di dalam, perasaan hatiku aku pun pergi membuang diri, kuterdampar di Barru.

Belum lagi habis ucapannya, Datu Sangiangserri, matahari pun telah senja, mereka pun sampai berdesakan, di pinggir kampung, yaitu kampung Barru, kampung berkelilingnya. Ia pun berdiri mengamati, di muka rumahnya, Matoa Barru bertepatan sekali, bertutur kata yang baik, isteri seturunannya, Pabbicara di Barru, seiya sekata semua orang, di dalam rumah. Terus ia naik, Datu Sangiangserri, di rumah perisirahatannya, Pabbicara Barru, menyebarkan baunya, memabukkan harumnya. Laksana angin topan yang datang, begitu kedengarannya, Datunna Sangiangserri, berdiri bersandar We Datu, pada papan tangga, enggan untuk naik, keturunan mappajung itu. Maka terasalah di dalam, dalam hatinya, Isteri Pabbicara, Ia Pun bangkit merangkak-rangkak, Matoa di Barru, sama berangkat ke belakang, sekeluarga, mengambil air secerek, menanti baiknya, Datu Sangiangserri, sembari menghamburkan benih, isteri Pabbiara, menyembah sambil berkata : “Kuru’ Sumange’mu, Datu Sangiangserri, sangiang yang berdarah biru, keturunan yang disembah, naiklah kerumah, Datu Sangiangseri, Datu Gandum, Datu Jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Palo, Datu Tiuseng, telah terhampar tikarmu, tikar yang berpinggir laken”.
Lalu di panggillah Bissu, ditudunglah puncaknya, dan dikipas dengan La Wollo, dan dibunyikan gendang, dan dipukulkan gong, dibunyikan leang-leang, cacalepa emasnya, seruling yang turun (dari langit), ramailah kedengaran, upacara datu, keturunan mappajung.

Berdirilah We Datu, dijemput oleh Bissu, dipanggil semangatnya, dan dihimpun jiwanya, dan di datangkan semangatnya, cahaya semangatnya yang pudar, keturunan dari Boting Langi’, keturunan di Peritiwi.
Sembah sujud dan berkata, isteri Pabbicara, anak beranak dan suami (sekeluarga) :”Kuru’ Sumange’mu, keturunan Opu yang disembah, sebelah menyebelah berdarah murni (maddara takku), naiklah ke rumah, duduk di singgasanamu, semua padi yang banyak, pada kedudukan kecintaanmu”.
Barulah kemudian naik, Datu Sangiangserri. Maka tampaklah kelihatan We Datu, menjelma kelihatan manusia, di pandang oleh manusia, Lalu dicucikan kakinya, baru We Tune’ duduk. Maka serentak pada naik pula, semua padi yang banyak, semua padi yang setia, gandum, jagung, semua jelai yang banyak, dan Datunna Meong Paloe.

Sembah sujudlah cepat, isteri Pabbicara, sekeluarga, dan sama-sama berkata :”Di ataslah engkau duduk, hai keturunan datu yang di sembah, keturunan yang pantang di durhakai, sangiang berdarah murni, semua teman-temanmu, di mahligai kemewahanmu, Kuberi engkau kuru’ sumange’mu, duduklah menetap, menyebarkan keturunanmu di Barru, demikianlah ketentuan, memberi kehidupan orang bumi”.

Barulah kemudian ia duduk, Datu Sangiangserri, semua hamba terhormatnya, mendudukan orang yang banyak, memenuhi rumah sepotong hamba yang diharapkannya, Datu Sangiangserri. Di minyak-minyakilah, dan didupailah, laksana kabut yang naik, asap kemenyan itu, kemudian di jamu dengan sirih.
Sembah sujud ia berkata, isteri Pabbicara, sekeluarga :”Duduklah engkau hai We Raja, di kampungmu di Barru, demikianlah ketentuan, semangat jiwa ragamu, memberi kehidupan orang bumi. Ku pergi memanggil, semua penduduk Barru, sebab sudah terlalu lama engkau tinggalkan, membelakangi kampungmu, pergi tanpa perkataan pulang, haus dan lapar sudah, pendudukmu di Barru.
Sejak kamu telah pergi, sepanjang jalan, menuruti jalan yang panjang, melewati perantaraan kampung, tak pernah lagi kembali, datang Sangiangserri, dan naiklah wisesa itu, di sini di tanah Barru.

Tunduklah tanpa berkata, Datu Sangiangserri, belum lagi hilang capeknya, Datu Sangiangserri, serentak berdatanganlah, penduduk Barru, secepatnya pada naik, memuja-muja tak henti-hentinya, di hadapan We Datu, memberi kuru’ sumange’, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, para hamba, Matoa petani memanggil dengan cepat, semua penduduk Barru.

Belum lagi hancur daun sirih, dan belum sempat mata berkedip, maka pada berdatanganlah berbondong-bondong, tamu yang banyak, penduduk Barru, melingkar bak pasar ramainya, Tak henti-hentinya naik, jamu-jamuan We Datu, belum begitu matang Wisesa, pemberian jamuan dinaikkan oleh orang Barru. Belum lagi hancur daun sirih, dan mata berkedip, maka diangkatlah ke luar, jamuan untuk We Datu : lepet jelai, ketupat gandum, pisang raja bersisir, kelapa muda, tebu yang telah dibersihkan, nasi ketan berkepal di piring, juga dibuat seperti tiang, dan dibentuk seperti orang-orangan, diruncingkan puncaknya, bulat seperti bulan tengahnya, dan ditudungilah atasnya, lalu digantungi emas semua puncaknya, semua ubi dan talas, penjemput hidangan, untuk Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, dan Datu Meong Paloe.
Sesudah makan minum, Datu Sangiangserri, maka segera diberi sirih, dan kembali di dupai, laksana kabut yang mengepul, asap kemenyan, mengembalikan semua semangatnya, Datu Sangiangserri, menghimpun jiwa We Datu, duduk bergembira ria, semua teman-temannya, Datu Sangiangserri.

Maka sembah sujudlah berkata, semua penduduk Barru :”Kuru’ sumange'mu’, keturunan opu yang disembah, mangkau’ yang terhormat, seperti aku diliputi langit, dikasihani Dewata, gembira tak terkira, senangku tak terukur. Karena pada akhirnya kau kembali, kusandari tak bergoyah, demikianlah ketentuan di dalam tenggorokanku, bersama-sama kita ke maje (akhirat), pada hari kemudian”.

Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :”Dengarlah baik-baik, isteri Pabbicara, semua orang yang banyak, penduduk Barru, apabila kau kekalkan, sifat-sifat baikmu, kata-katamu yang tidak bertentangan, di dalam kampung, itulah yang aku senangi, kembali semua semangatku, maka itulah satu ampunan, orang yang menerima orang yang kesusahan, menampung orang yang terbuang, menerima orang yang dibenci, disertai belas kasihan, orang yang menampung orang terbuang, membawa susah tiada taranya. Itulah sebabnya kutinggalkan Luwu, kuterdampar di Ware, kusampai di Maiwa, karena dibencinya kucing, disiksanya kucing, jauh aku mengembara, hingga tiba di Barru, karena engkau mempunyai sifat menerima, orang yang kesusahan.

Sembah sujud dan berkata, isteri Pabbicara :”Kuru sumange’mu, keturunan opu yang disembah, keturunan pajung, Datunna Sangiangseri. Kehendakmulah We Raja, kepadamulah We Datu, sebab tuanku tahu, kami ini orang dungunya Dewata, apa kehendak We Datu, itulah yang saya ikuti. Karena engkau maha pengasih, beritahukanlah aku Puang, ajarkanlah semuanya tingkah-laku Sangiangserri, kuyakini dengan pasti, di dalam hatiku, kugenggam tak terlepas, engkau yang tertua sejak awalnya, aku hanya tua dalam kelahiran”.
Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :”Baiklah kalau begitu ucapanmu, dengarlah baik-baik, isteri Pabbicara, semua orang yang banyak, kalau kau kekalkan, sifat-sifat lembutmu, ucapan yang tidak bertentangan, sekeluarga dan sekampung, di dalam kampung, benarlah aku duduk di Barru, demikianlah ketentuan, di dalam kerongkonganmu. Karena itu kamu orang Barru, janganlah saling bertentangan, sekeluarga dan sekampung, di dalam kampung, benarlah aku duduk di Barru, demikianlah ketentuan, di dalam kerongkonganmu. Karena itu kamu orang Barru, janganlah saling bertentangan! pada sore hari, jangan membesarkan suaramu! pada waktu tengah malam, jangan besar suara pada subuh hari, pada fajar subuh, sebab saya terkaget-kaget, iba perasaanku, padam semangatku. Itu ketika aku berjalan, berkeliling di kampung, mencari sifat-sifat yang baik, mendengar suara, orang yang berbudi luhur, yang bagus tutur katanya. Sebab yang selalu kucari, sebagai tempat menetapku, adalah orang yang mempunyai sifat-sifat yang baik, itulah tempatku menetap, kampung yang berhati-hati. Tiga kali semalam, aku berkeliling dunia, jangan sekali-sekali menggemuruh! Memukul timba tempayanmu, kalau kau menimba air, perbaiki terlebih dahulu! Perasaan hatimu, yang membuat senang, jangan sekali-sekali padamkan lampumu! Pada tengah malam, jangan tak menghidupkan! Apimu di dapurmu, tutuplah tempat berasmu! Kumpulkanlah takaranmu! Itu yang membuat aku gembira, kembali semua semangatmu, pada malam hari, Jangan sekali-sekali tidak mengumpulkan! Sajimu bersama sendokmu, kalau kamu tidak mengindahkan, pantangan wisesaku, sifat-sifat Sangiangserri, ketika aku sedang bersiap-siap, naik ke tangga, menuju rumah, ketika aku pergi, mengelilingi kampung, kudapati kalian ribut, di muka dapur, bertengkar di rumahmu, aku turun kembali. Tiga tahun kemudian, hilang semangat rezekimu, di dalam dunia, wisesa (bibit) yang kamu tanam. Tidaklah tahu hal ihwal? Keturunan I La Patotoe, keturunan To Palanroe, menetasnya di Luwu, anaknya Batara Guru, orang pertama di dunia.

Berkeliling di dunia, menyebarkan baunya, memabukkan harumnya, mencari sifat-sifat yang baik, diantar oleh rasa kesedihan, pergi kemana-mana, mencari orang yang penyayang. Ia pun menangis sambil menunduk :”Tahukah engkau, para penduduk Barru, hambaku di Watampare, saya bersiap-siap, menuju (naik) ke langit, sebab sudah terlalu perih, perasaan hatiku, dudukku (ketika menetap) di Maiwa, dibencinya kucing, disiksanya kucing itu, di pukul siang dan malam, Datu Meong Palo. Seperti diiris sembilu, perihnya kurasakan, perasaan hatiku, mengingat perbuatannya, wanita yang durhaka, yang sama semua dalam rumah, laki-laki perempuan, Itulah yang membuatku sangat sedih, ditendangnya kucing, di atas tumpukan padi, biarlah aku naik ke langit, aku tak ingin lagi hidup di dunia ini”.

Serentak sembah sujud dan berkata, isteri Pabbicara, semua orang yang banyak, penduduk Barru, dan sama berkata :”Kalau memang demikian La Puang, engkau menuju, naik ke Boting Langi, bawalah aku La Puang, buat apa aku hidup di dunia, apa yang kita pertahankan di sini, tak satupun, memberi kehidupan (kami).

Menangis sembari berkata, Datu Sangiangserri :”Kuru’ Sumange’mu, semua yang menyenangi aku, duduklah engkau marupe, di kampung yang membesarkanmu. Biarlah sayalah sendiri yang melayang, terus naik ke langit, pada bambu kehidupanku, senapati mangkaukku, merajuk tak henti-hentinya, Kecuali tidak diizinkan, duduk menetap di langit, barulah aku kembali, di Barru, aku akan memilihnya (Barru) sebagai tempat menetapku, semangat jiwa ragaku.
Sembah sujud dan berkata, isteri Pabbicara :”Kalau memang demikian La Puang kehendakmu, benar-benar akan naik, melayang di langit, mohon supaya kembali, di kampungmu di Barru, demikianlah ketentuan, pada tenggorokan “Menangis dan berkata, Datu Sangiangserri :”Kalau memang takdir (toto) saya kembali, barulah kita bergembira ria, di mahligai kemewahanmu, apabila tidak diperkenangkan, orang tua mangkaukku, duduk dan menetap di langit, berakar di langit, dan sama mengiyalah, semua penduduk Barru”.

Belum habis ucapannya, Datu Sangiangserri, laksana angin topan yang datang, begitu kedengarannya, angin ribut tersebut, ketika menuju melayang, Datu Sangiangserri, menyebarkan baunya, memabukkan wanginya, kilat sambung-menyambung, diikuti oleh gemuruh guntur. Ketika tengah malam, ketika bertemunya gelap, saat itulah mereka berangkat, keturunan To Palanroe, semua padi yang banyak, padi ketan padi biasa, semua padi yang setia, gandum jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Paloe.

Pada berangkatlah ia, melayang, Datunna Sangiangserri, semua padi yang banyak, terus naik ke langit, keturunan pajung. Belum lagi hancur daun sirih, belum lagi berkedip mata, maka sampailah di atas, pada lapisan awan. Dan terbukalah kuncinya, pintu langit, dan datang melihat dan menyaksikan, lapis-lapis langit, terus mereka naik, di Sawo Wero Pareppa. Mereka akhirnya sampai berdesakan, di muka We Raja, dan sembah sujud menyembah, dihadapan tuhannya, To Pabbare-baree, di istana kemewahannya, nenek mankauknya, kebetulan sekali, sedang menampakkan diri, To Palanroe pada tahta keemasannya, kursi kerajaannya, diliputi oleh perasaan kasih, sembah sujud dan duduklah, dihadapan tuhannya, senapati mangkauknya, batara yang melahirkannya, yang menurunkannya ke dunia, menjadi Sangiangserri, memberi kehidupan orang bumi, Bagaikan orang yang menimba, madu di dalam hatinya, jiwa keperkasaannya, To Pabbare-baree, menatap raut wajahnya, keturunan kegembiraannya. Langsung We Tune duduk, di muka Tuhannya, laksana matahari terbit, mentari yang mulai muncul, muka yang tidak membosankan, bagaikan bulan yang sempurna.

Menangislah tersedu-sedu, Datu Sangiangserri, padi ketan padi biasa, gandum jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Paloe. Ia pun berpaling dan berkata, To Pabbare-baree “Kuru’ Sumange’mu We Tune’, anakku We Maudara (panggilan kesangan Sangiangserri), apa yang menyebabkan engkau naik? Di sini di Boting Langi, anaknya We nyili’ Timo (ibu Sangiangserri), puteri Batara Guru (Ayah Sangiangserri), mengapa engkau tidak menetap di dunia? Memberi kehidupan orang bumi”.

Tunduk dan menangislah, Datu Sangiangserri, sembah sujud berkata:”Sebabnya La Puang, kunaik di Ruwang Lette, sembah sujud dihadapanmu, kusampai merajuk, saya berkeinginan, kembali masuk, pada bambu orang tuaku, menjadi darah yang dikandung, senapati mangakaukku, sebab aku sudah terlalu sakit rasanya, menjadi padi di dunia. Aku tidak menyukai perbuatannya, tak kusuka sifat-sifatnya, orang dunia orang bumi itu, aku sudah tidak menggembirainya (menyenanginya), di sepak-sepak aku burung pipit, diisap langau, dilejit oleh tikus, bisa-bisa aku jadi benir. Mereka tidak lagi menjaga aku, juga tidak berpantang lagi, pantangan wisesaku. Tidak seia sekata, orang di dalam dunia, orang di dalam kampung, jauhlah diperkatakan, orang di dalam rumah, merekapun menusukkan tongkatnya, makan yang bukan makanannya, orang dunia orang bumi itu”.

Memasukkan larangan pergaulan, orang yang muda menyiksa, perempuan yang bersalah, itulah yang membuatku bersedih, ibah lah hatiku, hilang semangatku, tersingkap jiwa ragaku, juga di dalam, perasaan hatiku, Aku sangat benci, dibencinya kucing, disiksa kucing itu, dipukul siang malam, sebab hanya dialah La Puang, kuharapkan menjagaku, mengembalaku menjagaku, siang dan malam, justru dialah yang dibenci, dipukul tak berantara, ketika aku tinggal di Maiwa, Sebab cukuplah Tuhan, perihnya perasaanku, tak dapat lagi La Puang, aku kembali ke dunia, berkembang biak di dunia.

Orang tidak lagi menghargai diriku, akupun sudah tidak menggembirainya (menyenangi), dilaksanakannya semua pantanganku, sifat-sifat wisesaku, pabbicara yang culas, serta raja yang tidak jujur.

Ia pun tunduk menangis, To Pabbare-baree, menjawab dan berkata : “Kuru’ Sumange’mu, kur jiwa kesayanganku, seluas langit pusakamu, marahkah engkau La Wija? (keturunanku)? Meraju kah gerangan engkau We Datu, merayu-rayu tak henti, anakku We Maudara, sehingga engkau naik ke langit, di kampung kediamanmu, di tempat dibesarkannya, senapati mangkaukmu. Lalu bagaimana anakku We Maudara, kalau kamu merenguk terus, tak mau lagi menjadi orang bumi, hancurlah sudah, orang bumi itu, semua orang akan mati, semua yang ditutup di langit. Aku tak tahu lagi bagaimana harus menjawabmu, aku tak bisa lagi membantumu, anakku Sangiangserri, ketika kamu merajuk di sini, di Sawo Wero Pareppa, pada perbuatan pantangan Tuhanmu, bambu kelahiranmu. Karena memang di sanalah menetap, semangat jiwa ragamu, penahan jiwamu, ibu mangkaukmu, Batara yang melahirkanmu, di atas di Coppo Meru, sampailah engkau merajuk, sebab keinginanku, di dalam sanubariku, aku ingin kau tetap menetap, hidup di dalam dunia, di dunia mengembangkan turunanmu”.

Merunduk sembari menangis, Datu Sangiangserri, belum lagi lepas pembicaraan, To Pabbare-baree, ia pun berpaling menendang, jalan yang menuju, di kampung Coppo Meru, ditiupnya tiga kali, keturunan kegembiraannya, tak terasa dirinya, Datu Sangiangserri.

Ia pun berdiri maju, di kampung Coppo Meru (alam arwah) , tempat menetapnya, ibunda mangkauknya. Ia pun berpaling melihat, Batara yang melahirkannya, suami isteri, tak ubahnya orang yang saling diselipkan, jiwa raganya, senapati mangkauknya, Datu Sangiangserri, menatap anaknya. Lama kemudian baru Opu Batara Luwu berpaling, menangis sembari berkata, Datu yang tercinta :”Kuru sumange’ mu, anakku Sangiangserri, ada apa gerangan kamu naik, di Sawo Wero Pareppa? Mengapa tidak menetap saja di dunia, memberi kehidupan orang bumi”.

Secepatnya sembah sujud, Datu Sangiangserri, lalu bangkit duduk, di mahligai We Datu, yang bersegi tiga kemilaunya, serentak berdiri pula, semua temannya, hamba sesama terbuang, Datu Sangiangserri.

Sembah sujud dan berkata :”Itulah sebabnya La Puang, ku naik di Boting Langi, ku sampai di Coppo Meru, ku tiba berdesakan, di Sawo Wero Pareppa, Aku tak mau lagi duduk (menetap) di dunia, memberi kehidupan orang bumi, tak dapat lagi aku menjadi orang bumi, aku rindu kamu kembalikan, masuk kedalam rahim, aku tak suka perbuatannya, tak kusukai sifat-sifatnya, orang bumi itu. Musnah gerangan We Tune, duduk di kampung dunia, aku hanya tinggal di bumi, di patuk-patuk ayam, dilejit oleh tikus, di habis-habisi oleh burung pipit, diisap oleh langau, dililit oleh ular, dimusnahkan oleh ulat, bisa-bisa aku jadi benir, Mereka tidak lagi mau menungguiku, Halnya kucing, kuharap menjagaku, mengembalaku, menjagaku, siang dan malam, justru dialah yang dibenci, dipukul tak berantara, oleh isteri kecintaannya, matoa petani itu, yang berkuasa di Maiwa. Itulah yang kubenci, perihku tak terucapkan, ku langsung menuju, naik di Boting Langi, memegang lama La Puang, kamu benarkan kepedihanku”.

Tunduklah ia menangis, ibunda mangkaunya, Datu Sangiangserri, sembari berkata :”Kasihani aku We Tune’, turunlah kembali! Menghadirkan diri di dunia, memang demikianlah takdirmu, dari to Parampu’-rampu’e, ketika kamu diturunkan ke bumi, memberi kehidupan, pada tenggorokannya, manusia di dunia dan di bumi. Dan bisalah semua orang, anakku We Maudara, semua keluargamu. Duduklah engkau di dunia! Mati semua We Tune, semua yang di tutup langit, kalau engkau tetap menetap di sini, di kampung Coppo Meru, Sebabnya saya naik, di Sawo Wero Pareppa, sebab telah padam, semangat jiwa ragaku, pupuslah sudah jiwaku, padam bagai pelita, jiwa ragaku. Izinkanlah aku di sini, di kampung Coppo Meru, negeri hari kemudian, di sini padang yag luas.
Tak tahukah engkau, bahwa telah berpindah di hari kemudian, Batara yang melahirkanmu. Kasihanilah aku We Tune’, anakku We Maudara, turunlah cepat, di kampung orang dunia, memberi kehidupan orang bumi, karena demikianlah ketentuan, di dalam tenggorokan, orang dunia orang Bumi”.

Sembah sujud dan berkata, Datu Sangiangserri, sembari menangis tersedu-sedu :”Kasihanilah aku La Puang, turutlah rajukanku. Biarlah kita mati bersama, kembali di hari kemudian, kulaksanakan semua pantangan, di kampung Coppo Meru, ataukah di Sawo Wero Pareppa. Biarlah ku tinggalkan, kubelakangi dunia, dari pada tinggal di dunia, berakar di Watampare’, kudengar tak kudengar, melanggar pantanganku. Sesuatu yang sangat tidak kusukai, berbicara takabbur,orang dunia itu, jelaslah sudah La Puang, tak senang dengan diriku, saya juga sudah tidak menyenanginya. Apa saja yang terbaik, ku naik La Puang, agar supaya engkau mau, memasukkan aku kembali, masuk di dalam rahim. Tak dapat lagi aku menjadi orang bumi, aku tidak menyukai sifatnya, juga perbuatannya, orang dunia orang bumi itu.

Biarlah mati semua, apalagi yang harus ku ambil pulang, kembali di dalam dunia, di patuk-patuk ayam, di lejit tikus,hampir saja aku menjadi benir, dililit ular. Tidak mau lagi menjagaku, dikerjakannya semua pantanganku, pantangan wisesaku, tak ada lagi yang dapat kupertahankan, semangat jiwa ragaku.

Pedihku tak terkira, dipukulnya kucing, dipukul siang malam, Padahal Cuma kucing itulah, kuharap menjagaku, menyempurnakanku dan membesarkanku, menjagaku dan mengawalku, tanpa tidur, pada siang hari.

Justru dialah yang dibenci, Datu Meong Palo, pada isteri kecintaannya, matoa petani, yang berkuasa di Maiwa. Itulah yang kusakitkan, pedih tak terperikan. Maka berangkatlah aku, pergi membuang diri, jalan menelusuri takdir, mencari sifat-sifat yag baik, menelusuri jalan yang panjang, hingga akhirnya aku sampai di Barru. Kusinggah mengamati, dan dari situlah aku menuju, di tempatnya, Pabbicara Barru, naik kelangit ini.

Aku ingin kembali, masuk ke dalam rahim, menjadi darah kau kandung, di dalam perut, tak usahlah saya menetap di dunia, merasakan semua, semua yang merayap dan semua yang terbang, semua yang di tutup langit”.

Bagaikan orang yang diselipkan, perasaan hatinya, Opu Batara Luwu, bagaikan pupus di dalam, perasaan hatinya, mendengar ucapannya, isi perutnya. Tiga hari ketika ia lahir, padam semangatnya (meninggal), semangat mangkau’nya, di kampungnya di Luwu. Tapi dilanggar pantangannya, pantangan wisesanya, Anak perempuan diciptakan, bagaikan matahari bersinar, bulan bersinar, kelihatan jelas, anak kecintaannya, yang kemudian sama padam (meninggal), semangat jiwa raganya, tertegun (tagalatta), dia melihatnya, kecantikan kecintaannya, bagaikan bulan sempurna (seppulo eppa ompona ketennge), lemah lunglai di dalam, perasaan hatinya, Batara terhormatnya Luwu, rindu di anaknya, orang yang korban, tenggelam, menjadi Sangiangserri, duduk sendirian, dimasukkan ke dalam dunia.

Ia pun berpaling dan berkata, senapati ibundanya, Batara Sangiangserri :” Tak ubahnya kecantikannya, anak kecintaan mangkau’nya, kembar emas yang dipandang, tuhan kita Patotoe, dan perempuan, sama kecantikannya, tuhan kita Palinge, tidak tinggal begitu saja, anak kecintaan mangkau’nya, tak ada duanya kecantikannya, di dalam dunia, bercahaya benar rumah, menyinari rumah, bagai bulan bersinar, matahari yang mulai terbit, berkilaupun mata memandangnya, roman muka kecintaannya”.

Kemudian ia tunduk dan menangis, menepuk dada tak henti-hentinya Batara yang melahirkannya, Datu Sangiangseri, sembari berpaling dan berkata :”Kuru’ Sumange’mu We Tune’, anakku Sangiangseri, merajukkah engkau gerangan, juga bersitegang, merajuk tak henti-hentinya, tapi apalah dayaku, kali ini aku tak dapat menuruti, rajukanmu, dua kalikah engkau diciptakan? Melewati jalan yang sempit? Menjadi darah ku kandung? Sebab engkau tak diizinkan, hidup menetap di langit, juga tak boleh We Datu, dikembang-biakkan (pabbija) di Batara (langit), memang kau hanya diciptakan di dunia, untuk menjadi Sangiangserri, memberi kehidupan orang bumi, memang demikianlah takdirmu, dari To Parampu’-rampu’e”.

Tunduk dan menangislah, Datu Sangiangserri, begitu deras mengalir air matanya, sembari sembah sujud dan berkata :” Aku benar-benar sudah tidak mau, kembali ke dunia, biarlah aku pergi, membuang diri La Puang. Biarlah orang dunia itu, merasakan sakitnya, mau mati orang dunia itu, atau musnah orang bumi itu, biarlah semuanya menyeberang, kembali di dunia dan hari kemudian, membuka perkampungan dimana, tenggorokannya, orang dunia durhaka itu, tidak seimbang, hati sanubariku, hidup dibuatnya menderita. Ketika aku lagi nyenyak tertidur, ia naik menendang, Datu Meong Paloe, di puncak tumpukan padi, kubangun awut-awutan, lemah lunglai di dalam, perasaan hatiku, dikagetkannya aku, isteri kecintannya, matoa petani, yang berkuasa di Maiwa.

Apakah engkau lebih memilih dia La Puang, dari pada anak kandungmu, orang keturunan bersalahmu, menjadi Sangiangserri aku benar-benar sudah enggan kembali, di dalam dunia”.

Sejenak ia tunduk dan menangis, Batara tunggalnya Luwu, mengusap-usap (kepala) anaknya, diminyakinya kembali, di dupailah segera, sembari memberinya pakkuru’ sumange’, isi perutnya (anaknya), laksana kabut yang mengepul, sirih lengkapnya Puange, yang timbul di Busa Empong.

Ia pun berpaling sambil berkata, Opu Batara Luwu :” Kasihanilah aku We Datu, anakku We Maudara, turutlah diturunkan, menjelmakan diri di dunia, untuk menetap di sana We Tune’, duduklah kembali di Luwu, di tempat dibesarkanmu, di kampung yang dikuasai, Batara yang melahirkanmu”.

Sembah sujud menangis, Datu Sangiangserri, menyembah kedua belah tangannya dan berkata :” Kubuka kedua belah tangan ku La Puang, kusembah semua ucapanmu, aku tidak mau lagi kembali ke Luwu, Mereka lebih menyukai sagu, lebih menyukai dan mengutamakan, dari pada diriku, dia tidak mengetahui dirinya, orang Luwu dan Wara’ itu, keturunan La Patoto, tunasnya La Palanroe (Batara Guru), yang menetas di bambu betung, anaknya (pattolana) We Nyili’ Timo, yang muncul dari busa air. Membawa kepedihan yang besar, dan kesedihan yang tiada tara. Karena dibencinya kucing, Datunna Meong Paloe, sampai akhirnya aku pergi membuang diri, kubelakangi Luwu, dan terdampar di Maiwa”.
Menjawab dan menangislah, ibunda mangkau’nya, Datu Sangiangserri :” Bagaimana gerangan perbuatannya, orang yang tak mengenal tuhannya, yang sengsara yang besar, melahirkan anaknya. Tiga hari kemudian, maka padamlah nyawanya, dan tiga hari kemudian, kuziarahi kuburmu, kudatangi padi yang menguning, berkumpul dan berhimpun, gandum dan jagung, semua jelai yang banyak, kunaik di Boting Langi, menyampaikan kepada tuhan kita, To Pabbare-baree, dan jawabnya :” Itulah anakmu, menjadi padi menguning, menjadi gandum dan jagung, menjadi jelai yang banyak, jangan sekali-kali engkau memakannya ! anak kecintaanmu, sebelum lepas La Bela, tiga tahun meninggalnya, masuknya di dalam perut”.

Sembah sujud dan berkata, Datu Sangiangserri :” Bukan La Puang, menyebabkan aku meninggalkan Luwu, dan kutinggalkan Wara’, di negeri kekuasaanmu, engkau masukkan aku, di dalam tenggorokan, justru itu La Puang, kutinggalkan Wara’, karena benciku yang tiada tara, marahku yang marah betul, karena tidak dinaikkannya aku, ku duduk La Puang, di perantaraan kampung, dimakan tikus, di patuk-patuk burung, hampir saja diriku jadi benir, itulah yang membuat aku marah, kupergi membuang diriku, mengelilingi dunia ini”.

Kembali tertunduk dan menangis, Datu Sangiangserri, menangis tersedu-sedu, deras mengalir, air matanya, mendengarkan ucapan-ucapannya, senapati mangkau’nya, lama ia dibujuki, dibelai-belai dan di usap-usap, dan diminyaki, kemudian di endapkan, minyak wangi yang harum baunya, barulah kemudian, merasa enak perasaan hatinya, Datu Sangiangserri.

Menjawab berkata : “Duduklah engkau La Puang, di mahligai istanamu, sekeluarga, kuberi engkau semua makanan, semua isi istana, terhadap orang yang berpisah jiwanya”.

Dan serentak mereka berkata :”Peganglah erat-erat jiwa datumu, anakku We Maudara, kembali, ke kampung dunia, memberi kehidupan orang bumi, demikianlah ketentuan, berakar menyebarkan keturunanmu”.

Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :” Biarlah aku turun kembali, dan yang kupilih untuk kutinggali, adalah yang sesuai dengan kata hatiku, jujur dan tidak pelit, terhadap sesamanya manusia, tidak berbuat culas, di dalam hatinya, tidak cemburu hati, terhadap sesama manusia, tahu menghargai wisesa, menaikkan Sangiangserri, Apabila saya tidak menemukan orang yang baik hati, aku kembali kelangit, kita bersama-sama La Puang, yang telah ditentukan”.

Serentak ia tunduk menangis, ibu mangkau’nya, begitu deras mengalir, air matanya, duduk saling bertangis-tangisan, anak kecintaan kesayangannya, mendengar ucapan-ucapan, isi perutnya (anaknya), merenungi nasib (toto) anaknya.

Ia pun berpaling berkata, Opu Batara Luwu, sembari menangis tersedu-sedu, mengusap-usap anaknya :”Kuru’ Sumange’mu, anakku We Maudara, kasihani aku We Tune ! perbaiki, perasaan hatimu, kembali menjadi orang bumi, kau telusuri takdirmu, yang telah ditentukan, To Pabbare-bare’e. Sebab menurut firasatku, tidak enak perasaanmu, memabukkan baumu, makanannya orang dunia, Peganglah jiwa datumu ! anakku Sangiangserri”.

Belum lepas ucapannya, Batara tunggalnya Luwu, dibenarkan ucapannya, senapati mangkau’nya, sambung-menyambunglah bunyi guntur, sabung-menyabung kilat, turunlah pergi We Datu, berpegang erat pada guntur, berpautan dengan kilat, dipikul dengan udara, bertelekan pada tanah, menyeimbangkan badan pada angin, Serentak mereka berangkat, semua teman-teman, hamba datu pengawalnya, mengikutinya turun ke bawah, Datu Sangiangserri. Bagai akan musnah langit, dan patah batara (langit) itu, bergetar peretiwi, bagai hancur tanah, di bawah di dunia, sebagai pertanda menuju, kembali di dunia, anaknya Batara Guru, anaknya We Nyili’ Timo, yang menetas, pada bambu petung, dan yang muncul di busa air.

Bagaikan akan menghilang tanah ini, bagai akan tercabut tanah ini, serentak orang-orang dunia berkata, orang di bawa batara :” Siksaan apa gerangan, dari To Pabbare’-baree, begitu berat kedengaran, goyangan langit itu, peretiwi di dengar, bakal hancur dunia ini, karena kerasnya suara guruh itu “
Begitulah tandanya, menuju, turun kembali, Datu Sangiangserri, berhamburan manusia, di kampung dunia, orang yang di benua bawah, Bagaikan akan pupus, perasaan hatinya, Opu Batara Luwu, melihat anaknya, di terpa sinar matahari, duduk dia bersandar, mengamati anaknya, berpegang pada petir, berpaut pada guntur, melewati celah-celah awan, berkilauan di pandang, mentari yang mulai bersinar, matahari yang mulai naik, cahaya kilat bersinarnya. Tertegun (tagalatta) di dalam, perasaan hatinya, Opu Batara Luwu, melihat kecantikan isi perutnya, menjadi Sangiangserri.

Ia pun berpaling dan berkata, Opu Batara Luwu, pada isteri kecintaannya :”Lebih baik kita turunkan sekarang, angin ribut kebencian, dan dimusnahkan Maiwa, dan dipindahkan semua, reruntuhan negeri di dunia, orang bumi yang durhaka, sampai kepada yang tidak mengenalnya, keturunan I La Patoto, di atas di Ruwang Lette”

Maka disiksalah semuanya, semangat jiwa raganya, orang yang membenci kucing, menyiksa kucing, Datu Meong Paloe, dan dimusnahkan juga semuanya, orang dunia orang bumi, yang memasukkan (melanggar) pantangan, pantangan pemali wisesa. Dan yang menusukkan tongkatnya, perempuan bersalah, pabbicara yang culas, raja yang tidak jujur, orang yang cemburu hati terhadap sesamanya manusia.

Sebab terlalu sakit hatinya, menyaksikan anaknya menderita, isi perutnya. Tidak enak perasaannya, di dalam hati sanubarinya, mendengar perbuatan, matoa petani, penguasa di Maiwa, Maka berdatanganlah, binatang-binatang yang banyak, penyiksaan yang tidak ada duanya. Dan diturunkan pula, penyiksaannya yang kuat, kampung di Maiwa, semua kampung yang pernah diinjak, Datu sangiangserri, semua kampung yang disinggahinya, menepakkan pikiran, terbakarlah sudah, dan menjadi debulah, kampung Maiwa, hancurlah kampung Kessi, rubuh pulalah Lisu, menjadi debu tak muncul, kampung di Watu, semua kampung yang dilewati, Datu Sangiangserri, bersih laksana lautan, kampung Langkemme.

Tunduk sembari melihat, Datu Sangiangserri, dipindah-pindahi negeri lain. Dan bergetarlah ia menyaksikan, perasaan hatinya di dalam, sembari berkata, didalam hatinya :” Di dahului betul aku, penyiksaan yang diturunkan, ibu mangkau’ku, barulah aku yakin, sudah teguhlah di dalam perasaan hatiku”
Terus-terus ia pun turun, Datu Sangiangserri, dan tengah malam, ia pun tiba berdesakan, di kampung Barru. Sebab memang telah siap, pabbicara di Barru, menunggu kembalinya, Datu Sangiangserri, Isteri pabbicara, sekeluarga, memberi kuru’ sumange’, keturunan pajung itu, sembari meneburkan bertih tak henti-hentinya, berbunyilah penutup sirih, menarilah para bissu (maujangka), bissu yang turun langsung dari angkasa, pergi melengkapi, bawaan orang boting langi’, dituntun oleh peritiwi, mengusung We Datu, Datu Sangiangserri.

Berdirilah merangkak-rangkak, isteri pabbicara, menimba air secerek, baru kemudian ia duduk, menghadapi pelita, sekeluarga, di sebelah selatan dapur, menunggu We Tune’.
Naiklah merangkak-rangkak, bissu langsung dari langit tersebut, menggantungi La Wollo, menabur bertih tak henti-hentinya, menghamburkan cucubanna, dan memberi kuru’ sumange’, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, Datu Gandum, Datu Jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Paloe.
Serentak mereka terangkat, diarak dengan tenang, dan dibunyikanlah galappo, dikipas dengan La Wollo, dan yang ditempuh naik, di istana kerajaannya, pabbicara di Barru, kemudian dicucikan kakinya, Datu Sangiangserri.

Sembah sujud dan berkata, isteri pabbicara :”Kuru’ sumange’mu, keturunan opu yang disembah, sebelah menyebelah berdarah murni (maddara takku’), di atas gerangan engkau duduk, di istana kedudukanmu, semua yang menyenangimu. Kuru’ Sumange’mu, kur jiwa kecintaanmu, keturunan opu yang disembah, keturunan orang yang di durhakai, sebelah menyebelah berdarah murni, semua telah siap, tempat tertegun (tagalatta) jiwamu, seluas langit pusakamu, tempat tertumpunya jiwamu, perilaku wisesa, agar senang perasaanmu, perasaan hatimu, semangat jiwa ragamu, agar supaya dapat menetap, jiwa sanubarimu, di kampungmu di Barru”

Barulah dia perdi duduk, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, memenuhi rumah sepotong, Kemudian diminyaki cepat, lalu diberi sirih, Datu Sangiangserri. Sembah sujud dan berkata, isteri pabbicara, sembari berpaling menaburkan bertih :”Kur jiwa semangatmu, karena kau tetap kembali di sini, demikianlah ketentuan, berakar menyebarkan keturunan, di Kampung Barru”
“Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :”Mudah-mudahan abadilah, hati baikmu, jujur, berhati-hatimu. Demikianlah pula semua sesamamu, karena sifat penyayangmu, menerima orang yang terbuang, menampung orang yang kesusahan, supaya tidak kemana-mana, mencari sifat-sifat yang baik, terbuang dan terdampar, di kampung yang jauh, sampai akhirnya aku tiba, pada tempat dibesarkannya, saudaraku di Barru. Karena adanya sifat pengasihmu, biarlah aku menetap di Barru, mendengar dengan seksama, kata-kata yang baikku. Agar supaya engkau juga memahami dengan baik, pantangan wisesa, anak cucumu, sahabat-sahabatmu, semua yang menyenangiku, penduduk di Barru”

“Dengarlah baik-baik ! pesan dan petunjuknya, nasehat baiknya, nenek mangkau’ku, Batara yang melahirkan aku, pembuluh rahim, Opu Batara Luwu, orang pertama di Wara’, yang muncul di busa air, yang menetas di bambu betung. Ketahuilah We Tune’, To Pabbaree-baree, janganlah kamu kasar mulut ! pada waktu tengah malam, jangan besar suara! Pada bertemunya gelap, pada subuh hari, jangan juga marupe’ ! kamu menyaji nasimu, kalau belum begitu lurus perasaan hatimu, jangan berkata-kata ! kalau kamu sedang makan, sebab terkaget-kaget, di dalam hati sanubarimu, jangan engkau menyaji nasimu ! kalau belum kamu cuci ! tangan dan sendokmu, sebab kalau demikian, seperti kurasakan, orang yang diiris sembilu, di dalam tenggorokanku, bagai akan lenyap, semangat jiwa ragaku”

“Kecuali marupe’ kamu meninggalkan semua pantanganku, menjauhi semua pemaliku, barulah aku menetap, penguat semangatku, untuk menetap di Barru”
“Jangan pula marupe’, menakari nyirumu, jangan engkau menurunkan, takaranmu dari rumah, melayang semangatku, dan tersentak jiwa ragaku”

Sembah sujud berkata, isteri pabbicara :” Janganlah demikian We Datu, tuhan kita pemilik semua di kedalaman (dasar laut), keturunan yang berdarah murni (maddara takku), sebelah-menyebelah yang disembah. Kur semangatmu, segala keingianmu La Puang, kusandari tak tergoyahkan, kusebut-sebut kemana aku pergi, di kampung Barru”

Menjawab berkata, Datu Sangiangserri :” Syukurlah karena kamu mau, isteri pabbicara, menyenangi diriku, dengarkan baik-baik ! nasehat petunjukku, jangan sekali-kali !! engkau tak menghidupkan, apimu di dapurmu, juga jangan marupe’, kamu kosongi periukmu, begitu pula tempat berasmu, tempat bakul berasmu, juga marupe’! jangan kau kosongi tempayanmu, air yang kau inginkan, kamu hidupkan pelita, segenggam panjangnya, pada malam jumat”

“Hai sekalian orang Barru, jangan menukarkan, saji dan sendokmu, di belanga dan periukmu. Sebab kalau demikian marupe’! tidak mau berhati-hati, segala pantangan wisesa, habislah aku dimakan ulat, juga bakalan aku jadi benir, dimakan langau, dipatuk-patuk burung pipit, dimakan oleh tikus, dibelit aku ular, Tak dapat lagi aku hadir (berhasil), apabila kamu tidak menyayangiku, ketika aku turun di bumi, yang akan diwarisi oleh orang belakangan”
“Jangan juga marupe’ berbuat yang culas, jangan sekali-sekali ! hatimu tidak jujur, mengambil yang bukan menjadi hakmu (milikmu), memakan sesuatu yang tidak baik asalnya, memakan dengan menelan-nelan (berbunyi), di muka dapur. Yang aku senangi, berkumpul semua semangatku, kalau kamu meninggalkan semua pantanganku, sebaliknya yang paling kusakitkan, orang yang salah niatnya, terhadap anak cucunya, begitu pula orang yang berbuat zina, tidak bakal berhasil padi”

“Kamu sekalian orang Barru, kalau benar kamu mau, senang pada pada diriku, gembiraku tak terkira, karena engkau dapat marupe’, meninggalkan semua pantanganku, sampai menyembah, di atas di Boting Langi, di bawah di Peritiwi”

Sembah sujud berkata, isteri pabbicara, dan orang yang banyak :” Tandailah dengan baik, duduk (menatap) bergembira ria. Sebab menurut kata hatiku, di dalam sanubariku, betapa gembiranya aku La Puang, sampaikanlah dengan jelas !kabarkanlah kebaikan, larangan wisesae, dan pemali Sangiangserri, apa kata We Tune’, Datu Sangiangserri”

“Engkau sekalian orang Barru, semua orang yang banyak, dengarlah kataku, dengarlah dengan jelas ! adat istiadat Sangiangserri, ajarannya tadi, nenek mangkau’ku. Apabila kamu menyiapkan kataku, dengarlah dengan jelas! Adat istiadat Sangiangserri, ajarannya tadi, nenek mangkau’ku. Apabila kamu menyiapkan aku, menyiapkan bibit padimu, duduklah menghadapi pelita, berjagalah (maddoja) marupe’, juga semua gerakan hati sanubarimu (ati macinong), juga ucapan-ucapanmu, juga pandangan matamu, musuhlah nafsumu, batasi amarahmu, bendunglah air liurmu (keinginan), kemudian menghadap dengan baik, hatimu kepada Tuhanmu, hatimu memohon rasa kasih (rahman), dari To Pabbare-baree, sabarlah engkau dengan penuh kepasrahan, terhadap sesama dicipta.

“Engkau sekalian orang Barru, tutuplah tempat berasmu, jangan sekali-kali kosong, beras pada bakulmu, kumpulkanlah semua takaranmu ! membereskan semua sajimu, demikian pula sendokmu, hati-hati jangan sampai jatuh”
Jangan kasar mulut ! terhadap sesamamu manusia, jangan juga kamu melakukan ! berkumpul-kumpul berlebihan, pada sore hari, dan tengah malam. Jangan juga marupe’! duduk berdempet-dempetan, di muka dapur, memperebutkan puntung kayu, jangan bertengkar, pada subuh hari, pada pagi hari, jangan sekali-kali bergemuruh, engkau memukul tempayan.

Hati-hatilah pelitamu, wisesa (bibit) yang kau persiapkan, tiga kali semalam, engkau mengepulkan asap kemenyanmu, sirih lengkapmu We Tune’, Kudapati engkau ribut, marah di rumahmu, pilulah jiwaku, tersengat jiwa ragaku, hilang semangatku, tertegun sanubariku. Tidak jadi bibitmu, bibit yang kau persiapkan, hayatilah dan laksanakanlah, pantangan wisesaku.
Apabila engkau sekalian, isteri-isteri di Barru, mendengar semua nasehat , menjauhi semua larangan, pantangan wisesae, mudah-mudahan engkau beruntung, besar tak terhalang, hidup menyebarkan keturunan, semua bibit yang kamu tanam.

Apabila telah sampai, waktunya kami tuai, segenggam saja sehari, barulah kamu ikat, kamu isi padimu, di tengah-tengah sawah, jangan sekali-kali kamu cadingi ! sebab itu dilarang, oleh nenek mangkau’ku.

Tidak baik dilakukan, barang yang di tuai malam, haram diisikan, pada tempat beras, tidak mendatangkan (hasil), wisesa Sangiangserri.

Itulah yang kusampaikan kepadamu, isteri pabbicara, semua orang yang banyak, tiga kali aku semalam, mengelilingi kampung, mencari perbuatan baik, baru aku kembali, pada rumah tempat menetapku. Apabila kudapatkan, ketika menanjak naik ke tangga, aku mendengar, mulut kasar, aku akan turun kembali, dan seterusnya pergi membuang diri. Dan yang kupilih sebagai tempat menetap, adalah orang yang sesuai dengan kata hatiku, sabar berpasrah diri, jujur dan hati-hati, terhadap sesama manusia.

Jangan berselisih faham, sekeluarga dan sekampung, sebab aku terkaget-kaget, di dalam sanubariku, hilang semangatku. Demikianlah moga-moga engkau pengasih, seiya sekata, terhadap seisi kampung, sampaikanlah dan nasehatlah pula, semua penduduk Barru”

Sembah sujud berkata, isteri pabbicara : ” Kur semangat jiwamu, keturunan opu yang disembah, sebelah menyebelah berdarah murni, anak yang pantang di durhakai, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, Datu Gandum, Datu Jagung (baralle), Datu Meong Paloe. Akan ku usahakan, menghindari semua laranganmu, menjauhi semua pemalimu, karena rasa pengasihmu, mau menetap di Barru, sampai bersama mati, bersama ke akhirat (ri maje), apa yang menjadi keinginanmu We Raja, dan perkataan mu We Datu”

Menjawab berkata, Datu Sangiangserri :”Baiklah kalau begitu katamu, hanya langit di atasmu, ucapan rendah dirimu kasihanilah aku, persiapkanlah dengan baik ! naik ke rakkeyang, rakkeyang istanaku”

Berdirilah merangkak-rangkak, isteri pabbicara. Diminyakinya cepat, dihambur cucubanna, dan diberinya kur sumange’, di dupai berangkat, dan dikipaskan dengan La Wollo, dan yang dilewati naik, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, Datu Meong Paloe. Sambung-menyambung kilat, dan bergemuruh guntur, dan serentak berdirilah, semua padi yang banyak, diantar oleh angin yang ribut, di bawa-bawalah oleh petir, di arak oleh guntur geledek, memegang pada kilat itu, bergenggam pada guntur, diarak dengan tenang, oleh teman-temannya, sampai terlihat duduk dengan tenang, di rakkeyang.

Belum hilang lelahnya, Datu Sangiangserri, ia lalu berpaling dan berkata, kepada teman-temannya :” Sudah tujuh malam We Tune’, ketika tibaku dari langit, lalu aku terangkat, naik di rakkeyang, rakkeyang istanaku, belum pernah aku mendengar, pembicaraan yang berselisih, di dalam kampung, bakal menetaplah aku. Demikianlah ketentuan, berakar menyebarkan keturunan, memberi kehidupan orang bumi. Apabila ia mengabadikan sifat-sifat baiknya, kata-kata lemah lembutnya, seiya sekatanya, isteri pabbicara, semua orang yang banyak, maka berkepanjanganlah aku bersamanya, duduk bergembira ria dalam suka cita.

Kalau tidak ada halangan, disetujui, langitku (Tuhannya di langit), dan diliputi oleh Peritiwi (Tuhannya di Peritiwi), nenek mangkau’ku, batara yang melahirkanku, aku berniat menaikkan, wisesaku pada tiap rumah, di kampung Barru, terhadap semua orang yang menyenangiku”

Serentak sama naiklah, isteri pabbicara, semua orang yang banyak (rakyat), begitu mendengar ucapan, Datu Sangiangserri, keturunan pajunge. Sembah sujud secepatnya, menghamburkan cucubanna, sembari menaburkan bertih berkata :”Kur jiwa semangatmu, keturunan opu mangkau’, anak yang pantang di durhakai, sangiang yang berdarah murni, itulah semua sesamamu, karena keinginanmu menetap, di rakkeyang istanamu, ketentuan menetaskan keturunan, memberi kehidupan orang bumi. Ku panggil semuanya, penduduk Barru, yang mau berpantang, dan menjauhi semua, semua pesan-pesan We Raja, Datu Sangiangserri”

“Hai sekalian orang Barru, janganlah menampung, orang yang tidak baik perbuatannya, engkau semua pabbicarae, berbicaralah dengan jujur, sebab tidak baik jadinya, bisesa Sangiangserri (bibit padi), yakinilah semua ! petunjuk dan nasehatnya, pantangan-pantangan dari langit ! kubawa turun (ke bumi) menjelmakan diri di dunia. Ketahui dan yakinilah ! pabbicara (hakim) yang jujur, nanti kamu menjalani, benarkanlah sesuatu yang salah, barulah engkau menyalahkannya. Hadirkanlah saksinya (sabbi), saksi dari kedua belah pihak, dan alat pengukurmu telah mengiya, hatimu telah membenarkan, di dalam sanubarimu, barulah engkau memutuskan. Begitulah semua bicara (keputusan), benarlah sesuatu yang memang benar-benar benar.

Dengarkanlah baik-baik ! bicaranya sebelah-menyebelah, (saksi kedua belah pihak), jangan hanya sebelah saja, kau dengan bicaranya, bakalan engkau makan, perbuatan yang engkau perbuat, orang yang diadili”, itulah kata We Datu.

Kalau engkau tegas, berbicara dengan jujur, maka melimpah ruahlah wisesamu, berikut pohon-pohonan yang lain, dan juga berkurang penyakitnya. Itulah kusampaikan kepadamu, pabbicara yang jujur, jangan sekali-sekali engkau mengambil untung ! juga jangan menerima sogok (menerima suap), apabila engkau berbicara (mengadili), berbuat jujurlah ! jangan menerima marupe’ harta yang tidak jujur (tidak halal), demikian pula yang datang malam (curian), akan merajalela penyakit, tidak berhasil padi, berjatuhan buahnya, pohon-pohon yang dimakan.

Hilang pula semua ikan, semua isi sungai, apabila tidak baik, putusan bicara (keadilan/hakim). Tidak baik akibatnya di kemudian hari, merajalela penyakit, salah peraturan tuhanmu (tidak berhasil padi), semuanya menjadi padang ilalang, wisesa Sangiangseri.

Apabila demikian, benar-benar bicara itu (keputusan yang adil), akan berbicara dengan sendirinya padi-padimu itu, ramai berbunga, semua tanaman-tanamanmu, akan mudah semuanya, semua yang memberi kehidupan, semua tanam-tanaman, apabila engkau menjauhi semua pantangan, pesan-pesannya, puang nenek mangkau’ku, batara yang melahirkanku, Opu Batara Luwu .

Yakinilah engkau semua ! pada perkataan yang baik, keturunan I La Patoto (Topalanroe), yang menetas di bambu betung (Tellang pulawenge), sekianlah cerita-ceritanya, Datu Sangiangserri, berikut sebut-sebutannya, Datu Meong Paloe (Rahman, N,1990)

Nilai dermawan dan pengasih itulah yang mendasari sikap dan perilaku yang suka memberikan pertolongan atau jaminan sosial seperti yang ada dalam cerita Meong Palo Karellae (MPK) : ”Mengantar orang yang bepergian, menjemput orang yang datang, memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, menyarungi orang yang telanjang, menerima orang yang susah, menampung orang yang terdampar, menerima orang yang dibenci, dan menerima semua orang yang diperlakukan sewenang-wenang oleh sesama manusia” (M. Tang,2007). Sifat-sifat diatas merupakan sifat yang terpuji bila ditinjau dari segi ilmu agama yang mana mencintai sesama hamba Allah adalah lebih terpuji dan perilaku tersebut menumbuh-kembangkan sifat kedermawanan (malabo) tidak kikir (dena masekke) dengan perilaku ini membuat seseorang mempunyai kelebihan tersendiri yang jarang diketemukan pada orang kebanyakan karena dengan keikhlasan membuat seseorang merasa tenang dan tawaddu (rendah diri) kepada Allah. Dulu pada masa kerajaan di Sulawesi Selatan masih ada orang-orang yang mempunyai perilaku seperti ini, namun setelah masa orde reformasi perilaku seperti ini sudah jarang ditemukan.

Mengenai pentingnya menjaga padi sebagai sumber bantuan, berulangkali ditekankan perlunya menjaga padi dari serangan hama : ulat, nango, burung pipit, tikus dan ular. Sesudah terjaga ari serangan hama, ditekankan lagi perlunya memperlakukan padi secara baik (pasca panen), yaitu jangan sampai terhambur tanpa dipungut, jangan dibiarkan dimakan ayam dan tikus. Sesudah jadi nasi diingatkan lagi jangan sampai dibiarkan jatuh berhamburan tanpa dipungut. Biar satu biji nasi yang jatuh, juga harus dipungut.

(Teluk Bone)

Konsep Mattulu TelluE

$
0
0
I. Pengantar

Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki  ciri khas yang menjadi jati diri mereka. Dalam mempertahankan jati dirinya tersebut, mereka senantiasa berupaya  mencari cara sedemikian rupa  demi untuk mempertahankan eksistensi kelompok atau sukunya. Mereka berusaha menciptakan suatu tatanan prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam segala tindakan baik bersifat pribadi maupun kelompoknya.

Dengan tujuan, agar apa yang diharapkan dalam tindakannya dapat mendapatkan hasil yang diharapkan dan mendapat apresiasi baik dalam kelompok sukunya sendiri maupun di luar kelompok suku bangsanya. Mereka meyakini, bahwa dengan memiliki  prinsip sebgai pegangan maka segala yang  kita lakukan tidak akan kesasar dan mengambang, disamping prinsip itulah yang jadikan sebagai alat motivasi dalam melakoni hidup disegala bidang

Demikian pula bangsa Bugis sejak dahulu kala setiap suku telah memiliki prinsip-prinsip hidup yang dijadikan sebagai perisai dalam menjaga keberlangsungan norma-norma adab yang dimilikinya. Perisai yang dimaksud adalah prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai Motto dalam melindungi norma-norma adat-istiadatnya sebagai pegangan hidup dalam  menjalankan segala aktivitasnya baik secara internal maupun eksternal.

 Pada masa pemerintahan Latenritata alias Arung Palakka. Dalam lontara disebutkan: “Riwettu Puatta Petta Malampe-E Gemme’na Paoppang Palengengngi Tanah Bone,  Padatosaha Keteng Tepu Seppuloi Lima ompo’na”
Artinya: Sewaktu raja Bone Petta Malampe-E Gemme’na berkuasa, maka Bone pada waktu itu seumpama bulan, cerah bagaikan bulan purnama yang terbit sempurna kelima belas”.

Lalu masihkah hari ini, para genarasi (ana' rimunrie) menampakkan taring kebesaran itu?  Adakah kegairahan untuk belajar pada masa silam ? Bukankah potret sejarah masa depan adalah bertaut dengan rangkaian sejarah masa lalu dan apa yang kita gurat pada jejak masa kekinian?

Berbicara tentang Bugis juga selalu identik dengan Bone. Peradaban Bugis pada masa silam adalah peradaban besar dan gemilang yang memiliki daya tarik tersendiri bahkan seorang penulis asal Prancis: Christian Pelras rela menghabiskan 2/3 umurnya hanya untuk meneliti kebudayaan Bugis dan mengasilkan buku 'The Bugis', yang diperoleh dari hasil penelitian dan penelusuran dokumen yang berlangsung selama 40 tahun (1950–1990).

Penerbit Ininnawa kemudian diterjemahkan menjadi 'Manusia Bugis'. Memang fenomenal, seorang manusia Prancis, rela terjun selama puluhan tahun hanya untuk meneliti kebudayaan orang lain. Sesuatu yang jarang dijumpai di Indonesia, lebih-lebih di kalangan peneliti lokal sendiri.

Dari asumsi tersebut, terselip harapan untuk kembali melestarikan spirit kebugisan kita. Karena di sana ada kearifan hidup,ada spirit keberanian dan ketangguhan melawan hidup. Nenek moyang di masa lalu telah menawarkan spirit ketangguhan dan keberanian hidup. Mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan dalam mengarungi hidup.  Bukankah kearifan itu masih tersisa dalam jejak yang ditinggalnya dalam sastra Pappaseng ? Secara umum tercatat dalam sastra besar dunia, Sure’ Selleang I La Galigo.

Nah, masih adakah jiwa dan semangat ke To-Bone-an hari ini, ketika generasi kekinian tak lagi mengenal spirit kearifan hidup leluhur yang tercatat dalam sastra Pappaseng? Masih adakah Bugis Bone hari ini ketika generasi muda mulai tak fasih lagi bertutur bahasa Bugis dalam kesehariannya? Tidakkah hari ini generasi mulai malu menggunakan bahasanya sendiri karena merasa tidak sesuai dengan trend? Benarkah generasi sekarang ini … Aduh, penulis tak mampu lagi menulisnya di sini melihat fenomena yang ada.

Coba bayangkan,  Christian Pelras saja yang bukan orang Bugis tapi mampu bertutur  bahasa Bugis dengan fasih pada waktu memberikan ceramah umum tentang Manusia Bugis (26/09/2006). Mungkian suatu saat ketika para generasi ingin belajar bertutur Bugis dan belajar tentang Bugis kita harus belajar di negeri Eropa sana ?. He….he….. Ironis sekali.
Bugis mungkin suatu hari nanti hanyalah sebuah predikat yang malas kita sandang. Bukankah generasi kini lebih tahu tentang Putri Diana, lebih menguasai riwayat hidup Ronaldo dibandingkan riwayat Arung Palakka, Kajao Lalliddong  atau  legenda Sawerigading? Arus modernisasi dan neo-liberalisme begitu kuat mencengkram generasi Bugis masa sekarang ini.

Ketika melihat fenomena budaya yang berkembang di masyarakat Bone khususnya dikalangan generasi muda. Ada beberapa pertanyaan sederhana yang sebenarnya mengandung makna keprihatinan atas fenomena tersebut.
Berapa banyak anak muda Bone yang bisa bercerita lengkap tentang sejarah Bone? Sejauh mana anak muda Bone tahu tentang tokoh-tokoh di balik kebesaran kerajaan Bone?

Berapa banyak anak muda Bone yang bisa menulis dan membaca aksara lontara dengan baik? Berapa banyak anak muda Bone yang bisa berbahasa Bugis dengan bahasa yang halus? Berapa banyak anak muda yang hafal dan mengamalkan pesan-pesan leluhur (Pappaseng To Riolo)?

Apakah perilaku generasi Bone saat ini telah mencerminkan sikap-sikap (Mappakkeade’) seperti yang dulu dimiliki para pendahulunya? Dan masihkan ikatan emosional (Riassibonei) terjalin dengan harmonis antara sesama warga Bone di dalam dan luar daerah?

Kami tidak ingin memberikan jawaban dan penilaian dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Yang jelas dengan menumbuhkembangkankan jiwa dan semangat ke To Bone-an, sangatlah urgen dan strategis untuk dilakukan. Karena diakui atau tidak, saat ini masyarakat dunia (termasuk masyarakat Bone) hidup dalam kecenderungan yang bersifat global.

Pergeseran budaya yang semakin tajam, kecilnya dunia berkat sistem komunikasi dan transformasi  yang semakin canggih telah memberikan makna kehidupan manusia ke arah yang lebih maju dan modern.

Dalam situasi dan kondisi seperti ini, bukan hal yang mustahil semangat dan budaya kedaerahan (ke-to Bone-an) akan semakin terkikis atau mungkin hilang dari sanubari masyarakat Bone, terkhusus di kalangan generasi muda (ana ri munri) yang memang jarang tersentuh dengan gagasan–gagasan , kegiatan-kegiatan (aktivitas) dan peninggalan sejarah (artefak yang dimiliki kabupaten Bone dari lingkungannya (Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat).

Seyogianya, Bugis Bone (Wija To Bone) tidak hanya sekadar mengaku dan diakui sebagai orang Bone lantaran lahir di Tana Bone. Akan tetapi, lebih jauh mereka seharusnya memahami sejarah lelulur, memahami kebudayaan Bone dan mengimplementasikannya  nilai-nilai spirit kearifan hidup, spirit keberanian, dan ketangguhan menjalani hidup. Berpegang pada Pesan Leluhur, yakni :  Makkateni ri limae akkatenningeng, iyanaritu :

1.Mammulanna Riada TongengngE;
2.Maduanna RilempuE;
3.Matellunna Rigettengng-E.
4.Maeppana SipakatauE,
5.Malimanna mappesonaE ri Dewata SewwaE.

II. Masa Pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge (1568-1584)

Mattulu Tellue  berasal dari kata “Situlu Tellu”  dalam bahasa Bugis berarti  saling bertaut tiga yang disimbolkan sebagai tali. Kemudian melahirkan Mattulu Tellue yang artinya sesuatu atau tali  yang bertaut tiga yang dijadikan sebagai simbol keutuhan dan kekuatan.

Dalam bahasa Makassar disebut Mabbulo Sipeppa atau Mabbulo Sibatang, yakni tiga batang dijadikan menjadi satu. Dengan menggabungkan tiga buah batang menjadi satu kesatuan dapat membentuk sebuah kekuatan.

Baik Mattulu Tellue ataupun Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang merupakan sesuatu yang abstrak namun di dalamnya sarat dengan makna simbolis yang dijadikan sebagai motivasi dalam semangat hidup.

Dikalangan Bugis Bone, Konsep Mattulu Tellue sudah digunakan dimasa pemerintahan raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge (1568-1584) . Konsep ini dipopulerkan oleh sang diplomat ulung dari Tanah Bone yang di kenal dengan gelar  Kajao Lalliddong.

Lamellong yang bergelar Kajao lalliddong tersebut banyak menciptakan dan melahirkan konsep-konsep kepemimpinan sebagai norma-norma adab yang dijadikan sebagai anutan oleh raja dalam menjalankan roda pemerintahannya. Seperti berikut ini ;

1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;
3. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
4. Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.

Dalam menjaga eksistensi norma-norma adab di atas mereka membangun sebuah prinsip yang dijadikan sebagai perisai yakni Mattulu Tellue antara lain :

1. Siattinglima, yang artinya bergandengan tangan.
Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2.  Sitonraola, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat
Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3.  Tessibelleang, yang artinya tidak saling menghianati
Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka siapapun harus menaatinya.

Pada hakikatnya jauh sebelum Pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge nilai-nilai semangat Mattulu Tellue telah ada pada masa pemerintahan Raja Bone ke-1 La Ubbi yang digelar Manurungnge Ri Matajang dalam menyatukan rakyat Bone pada masa itu namun kata Siattinglima, Sitonraola, Tessibelleang dipopulerkan oleh lamellong Kajao Lalliddong

III. Masa pemerintahan Raja Bone  Ke-15 Arung Palakka (1667–1696)

Pada masa ini beliau menumbuhkan kembali jiwa dan semangat ke To-Bone-an, yaitu :

1. Malilu Sipakainge
2. Mali Siparappe,
3. Rebba Sipatokkong”
Terjemahan : "Hanyut saling berdampar, Rubuh saling tegakkan, Terlupa saling ingatkan, sehidup saling menghargai

Pepatah Bugis yang mengandung makna yang sangat dalam tentang arti persaudaraan akan selalu hidup dalam jiwa masyarakat.

Selanjutnya, dengan dasar norma adab di atas,  dalam mempertahankan eksistensi semangat Konsep Mattulu Tellue secara berkesinambungan di Tana Bone.

Pada masa pemerintahan Raja Bone ke-15 Arung Palakka membangun sebuah motto yang dikenal dengan sebutan “Tellabu Essoe Ri Tengnga Bitarae”  yang artinya “Takkan Tenggelam Matahari Di Tengah Langit” Maksudnya : Sesuatu pekerjaan harus berakhir dengan keberhasilan.

Dalam bahasa Bugis “Amporo atau Makkamporo” atau “Aja’ Muakkamporo” yaitu telur yang gagal menetas. Maksudnya apabila kita menghadapi atau melakukan suatu pekerjaan janganlah berhenti di tengah jalan.

Hal ini setara dengan “ Kambacu” Aja’ Muakkambacu” Dalam bahasa Bugis Kambacu adalah biji jagung yang digoreng namun gagal menjadi berti atau mekar. Konsep inilah juga yang dijadikan Arung Palakka sebagai penyemangat dalam membebaskan rakyat Bone yang dijadikan sebagai pekerja paksa  oleh Gowa pada masa itu.

Kebesaran Bone di masa lalu adalah spirit kehidupan, gerak kualitas peradaban. Namun ia baru berarti ketika filosofi agungnya sebagai pondasi dasar dan tetap utuh dianut serta dipegang teguh oleh masyarakatnya.

Lalu, sejauh manakah semangat ke To-Bone-an hari ini dan masih adakah manusia Bugis Bone yang sesungguhnya? Tatkala secara substansial nilai dasar sebagai filosof dan spirit hidup Bugis telah mengalami degradasi dan dehidrasi besar-besaran?

Di zaman ini, ketika kita kembali meneropong masa Ialu, menguak tabir jejak-jejak sejarah gemilang moyang kita pada masa silam. Seyogianya kita jadikan sebagai bahan renungan kita semua. Hal ini bukan berarti untuk mengevaluasi apa lagi untuk memberikan penilaian, akan tetapi semata-mata berniat sebagai “gelitik luhur ” dan bahan renungan bagi kita semua terutama bagi penulis sendiri, akan pentingnya munumbuhkan kembali jiwa dan semangat ke To-Bone-an, yaitu : ”Mattulu Tellue/Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang, yakni : Malilu Sipakainge, Mali Siparappe,Rebba,Sipatokkong”

Sebagaimana Petuah Leluhur :
“Seratu’ Ada’ seddi Gau’, Gau’E mappattentu.,Sadda mappabati Ada’., Ada’ mappabati Gau.,Gau mappabati Tau., Tau Sipakatau Sipakalebbi.  Mappau Ada Mappaddupa Gau,  Sitonrai Lilae  na BatelaE, Nasaba Engka Siri’ta Nennia Pesseta “siri’mi rionroang ri lino naiyya Sire’E Nyawa nakira-kira nenniya  Sunge’ Naranreng”, Nassibawai Wawang ati macinnong, lempu, getteng, ada tongeng, temmapasilaengeng, warani, amaccangeng, reso, tenricau tenribali, maradeka nennia assimellereng.,Makkatenni Masse ri Panngaderengnge na Mappesona ri Dewata SewwaE “Mette’ Tenribali, Massa’da Tenri Sumpala”

IV. SIMPULAN

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Konsep Mattulu Tellue dimasa Pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Siattinglima, yang artinya bergandengan tangan.
Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2. Sitonraola, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat
Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3. Tessibelleang, yang artinya tidak saling menghianati
Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka siapapun harus menaatinya.

Selanjutnya, Konsep Mattulu Tellue dimasa Pemerintahan Raja Bone ke-15 Latenri Tata Arung Palakka  dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Malilu Sipakainge,
2. Mali Siparappe,
3. Rebba,Sipatokkong”
(artinya : " Terlupa Saling Mengingatkan, Hanyut Saling Berdampar, Rubuh Saling Menegakkan)
Kata kunci konsep di atas adalah “Tellabu Essoe Ri Tengnga Bitarae”

Dengan demikian, semua tatanan adab di atas  berfungsi perisai dalam :
1. Menjaga dan mempertahankan eksistensinya baik personal maupun kelompok;
2. Bahasa simbol / Motto  yang berfungsi penyemangat dalam menjalankan segala bentuk aktivitas baik internal maupun eksternal dalam kelompok.

Oleh : Mursalim

Konsep Pancanorma

$
0
0
KONSEP PANCANORMA
Pencerminan kepribadian suatu bangsa, merupakan penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan yang sering disebut sebagai adat. Setiap bangsa di dunia ini tentu mempunyai adat kebiasaan sendiri-sendiri. Setiap bangsa memiliki adat kebiasaan yang berbeda antara bangsa yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, adat merupakan salah satu unsur penting yang memberikan identitas kepada suatu bangsa. Seperti halnya Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh sejumlah suku bangsa adalah berbeda-beda, namun dasar dan sifatnya adalah satu, yakni sifat keindonesiaannya. Sehingga adat bangsa Indonesia sering dikatakan merupakan “Bhinneka” yakni, meskipun berbeda-beda adat suku bangsanya dan “Tunggal Ika” yakni, tetap satu jua adalah dasar dan sifat keindonesiaannya.
Adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat bangsa Indonesia yang merupakan cikal bakal ideologi atau norma bangsa yang dikenal dengan nama “Pancasila” yang terdiri dari 5 (lima) butir yaitu :
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerkyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.Kedilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Demikian pula suku bangsa Bugis yang mendiami pulau Sulawesi bagian Selatan juga mempunyai norma yang disebut “PANCANORMA” yakni terdapat 5 (lima) butir norma yang menjadi salah satu unsur pembeda dari sejumlah suku bangsa yang ada di Negara Republik Indonesia tercinta.
Konsep Pancanorma (Pangngadereng) ini lahir sejak abad ke-16 yaitu pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6 (1543-1568). Pada masa itu terdapat seorang cendekiawan bugis yang bernama Lamellong. Karena atas kemampuan berpikir yang dimilikinya sehingga Raja memberi gelar “Kajao” yaitu orang cerdik/cendekia. Kajaolalliddong” yaitu cendekiawan atau orang cerdik pandai dari sebuah kampung yang bernama Lalliddong di wilayah kerajaan Bone. Sang Kajaolah yang melahirkan “Konsep Pangngadereng” yang hingga kini masih dipegang teguh oleh suku bangsa Bugis. Dengan pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan. Pokok-pokok pikiran beliau menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan. Dalam lintasan perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama “Lamumpatue” ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngE raja Bone ke-7 (1568-1584).
Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.
Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :
  1. Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
  2. Tidak memejamkan mata siang dan malam;
  3. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
  4. Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Implementasi pokok-pokok pikiran sebagai unsur perekat dalam menjalankan aktivitas pemerintahan di atas adalah :
  1. Siattinglima, yakni bergandengan tangan
  2. Sitonraola, yakni kesepakatan melalui musyawarah
  3. Tessipano, yakni tidak saling menjatuhkan
  4. Tessibelleang, yakni tidak saling menghianati
Selanjutnya, dikalangan seorang raja Bugis dalam menjalankan roda pemerintahan harus memiliki 11 (sebelas) kriteria, antara lain raja harus bersifat :
  1. LINO (BUMI) : Mempunyai watak BUMI, yaitu seorang pemimpin hendaknya mampu melihat jauh ke depan, berwatak murah hati, suka beramal, dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya
  2. LANGI (LANGIT) : Mempunyai watak LANGIT, yaitu langit mempunyai keluasan yang tak terbatas hingga mampu menampung apa saja yg datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan pengendalikan diri yang kuat, sehingga dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam
  3. WETTUING (BINTANG) : Mempunyai watak BINTANG, yaitu bintang senantiasa mempunyai tempat yang tetap di langit sehingga dapat menjadi pedoman arah (Kompas). Seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan rakyat kebanyakan tidak ragu menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan.
  4. MATAESSO (MATAHARI) :Mempunyai watak MATAHARI, yaitu matahari adalah sumber dari segala kehidupan, yang membuat semua mahluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu mendorong dan menumbuhkan daya hidup rakyatnya utk membangun negara dengan memberikan bekal lahir dan batin untuk dapat berkarya dan memamfaatkan cipta, rasa, dan karsanya.
  5. KETENG (BULAN) : Mempunyai watak BULAN, yaitu keberadaan bulan senantiasa menerangi kegelapan malam dan menumbuhkan harapan sejuk yang indah mempesona. Seorang pemimpin hendaknya sanggup dan dapat memberikan dorongan dan mampu membangkitkan semangat rakyatnya, ketika rakyat sedang menderita kesulitan. Ketika rakyatnya sedang susah maka pemimpin harus berada di depan dan ketika rakyatnya senang pemimpin berada di belakang.
  6. ANGING (ANGIN) : Mempunyai watak ANGIN, yaitu angin selalu berada disegala tempat tanpa membedakan daratan tinggi dan daratan rendah ataupun ngarai. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyatnya, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, hingga secara langsung mengetahui keadaan & keinginan rakyatnya.
  7. WARA API (API) : Mempunyai watak API, yaitu api mempunyai kemampuan untuk membakar habis dan menghancurleburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan hukum dan kebenaran secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.
  8. TANA (TANAH) : Mempunyai watak TANAH, yaitu tanah merupakan dasar berpijak dan rela dirinya ditumbuhi. Seorang pemimpin harus menjadikan dirinya penyubur kehidupan rakyatnya dan tidak tidur memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
  9. RAUKKAJU (TUMBUHAN) : Mempunyai watak TUMBUHAN, yaitu tumbuhan/tanaman memberikan hasil yang bermamfaat dan rela dirinya dipetik baik daun,dan buahnya maupun bunganya demi kepentingan mahluk lainnya.
  10. TASI’ (LAUT LUAS) : Mempunyai watak SAMUDRA, yaitu laut, betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yg rata dan bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua rakyatnya pada derajat dan martabat yang sama di hatinya. Dengan demikian ia dapat berlaku adil, bijaksana dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya.
  11. SAO/BOLA (RUMAH) : Mempunyai watak RUMAH, yaitu rumah senantiasa menyiapkan dirinya dijadikan sebagai tempat berteduh baik malam maupun malam. Seorang pemimpin harus memayungi dan melindungi seluruh rakyatnya.
Implementasi kesebelas kriteria di atas, menurut ajaran Lamellong Kajao Lalliddong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut “Inanna Warangparangnge” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan antara lain :
  1. Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;
  2. Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;
  3. Raja harus jujur dalam segala tindakan.
Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan, merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan raja, sehingga raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Tentang pembatasan kekuasaan, dalam Lontara’ disebutkan, bahwa Arung Mangkau berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.
Berdasarkan dari berbagai pokok-pokok pikiran Kajaolalliddong di atas maka kelima butir Pangngadereng (Pancanorma) yang dimaksud adalah :
  1. Ade
  2. Bicara
  3. Rapang
  4. Wari
  5. Sara
1. ADE’
Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
a. Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
b. Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
c. Ade’ Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
2.BICARA
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
3.RAPANG
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
4.WARI
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
5.SARA
Sara adalah suatu sistem yang mengatur dimana seorang raja dalam menjalankan roda pemerintahannya harus bersandar kepada Dewatae (Tuhan yang Maha Esa)
Dengan demikian ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kominitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara diatas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.
Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.
Itulah kelima butir tatanan dalam konteks kesukuan bagi suku bangsa Bugis yang menjadi dasar dalam menjalankan roda pemerintahan Raja-Raja Bone sejak abad XVI pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) yang selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis.
Berdasarkan Konsep Pancanorma di atas maka dikalangan suku bangsa Bugis lahirlah istilah “Paseng dan Pangaja”. Paseng (Petuah) adalah sesuatu pesan yang berlaku pada masa dulu, kini, dan akan datang. Sedang Pangaja (Nasihat) adalah suatu pesan yang lahir setelah seseorang melakukan perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma yang berlaku. Paseng atau petuah yang dimaksud adalah :
1) Lempu / Kejujuran : Pahit dan getir
2) Getteng / Prinsip
3) Sipakatau / Manusiawi
4) Mappesona ri Dewatae / Bersandar kepada Allah
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 telah menjadi ruh dalam kehidupan bangsa Indonesia juga menjadi perekat kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila sebagai falsafah NKRI merangkum seluruh kepribadian suku bangsa yang ada di Indonesia.
Pancanorma (Pangngadereng) lahir pada tahun 1543 sejak pemerintahan raja Bone VII Latenri Rawe’ BongkangngE merupakan simbol ruh yang merangkum kepribadian suku bangsa Bugis dimasa lalu. Akankah ruh-ruh luhur itu akan kembali menghias Bumi Pertiwi? Karena sekarang ini ruh-ruh itu berada di pojok-pojok yang sepi?.
(Oleh : Mursalim )

RAJA-RAJA BONE DARI MASA KEMASA

$
0
0
RAJA BONE DARI MASA KEMASA
  1. MANURUNGE RI MATAJANG, MATA SILOMPOE, 1330-1365, Pria
  2. LA UMMASA, PETTA PANRE BESSIE, 1365-1368, Pria
  3. LA SALIYU KORAMPELUA,  1368-1470, Pria
  4. WE BANRIGAU,  MALLAJANGE RI CINA,  1470-1510, Wanita
  5. LA TENRISUKKI, MAPPAJUNGE,  1510-1535, Pria
  6. LA ULIYO BOTE-E, MATINROE RI ITTERUNG, 1535-1560, Pria
  7. LA TENRIRAWE BONGKANGE, MATINROE RI GUCINNA,  1560-1564, Pria
  8. LA INCA, MATINROE RI ADDENENNA,  1564-1565, Pria
  9. LA PATTAWE, MATINROE RI BETTUNG, 1565-1602, Pria
  10. WE TENRITUPPU, MATINROE RI SIDENRENG, 1602-1611, Wanita
  11. LA TENRIRUWA, SULTAN ADAM, MATINROE RI BANTAENG, 1611-1616, Pria
  12. LA TENRIPALE, MATINROE RI TALLO, 1616-1631, Pria
  13. LA MADDAREMMENG, MATINROE RI BUKAKA, 1631-1644, Pria
  14. LA TENRIAJI, ARUNGPONE, MATINROE RI PANGKEP, 1644-1672,  Pria
  15. LA TENRITATTA, DAENG SERANG, MALAMPE-E GEMME'NA, ARUNG PALAKKA, 1672-1696, Pria
  16. LA PATAU MATANNA TIKKA, MATINROE RI NAGAULENG, 1696-1714,  Pria
  17. WE BATARITOJA, DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG, SULTANAH ZAINAB ZULKIYAHTUDDIN,  1714-1715, Wanita
  18. LA PADASSAJATI, TOAPPEWARE, PETTA RIJALLOE, SULTAN SULAEMAN, 1715-1718,  Pria
  19. LA PAREPPA, TOSAPPEWALI, SULTAN ISMAIL, MATINROE RI SOMBAOPU,  1718-1721, Pria
  20. LA PANAONGI, TOPAWAWOI, ARUNG MAMPU, KARAENG BISEI,  1721-1724,  Pria
  21. WE BATARITOJA, DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG, SULTANAH ZAINAB ZULKIYAHTUDDIN, 1724-1749, Wanita
  22. LA TEMMASSONGE, TOAPPAWALI, SULTAN ABDUL RAZAK, MATINROE RI MALLIMONGENG, 1749-1775,  Pria
  23. LA TENRITAPPU, SULTAN AHMAD SALEH,  1775-1812,  Pria
  24. LA MAPPASESSU, TOAPPATUNRU, SULTAN ISMAIL MUHTAJUDDIN, MATINROE RILEBBATA, 1812-1823, Pria
  25. WE IMANIRATU, ARUNG DATA, SULTANAH RAJITUDDIN, MATINROE RI KESSI, 1823-1835, Wanita
  26. LA MAPPASELING, SULTAN ADAM NAJAMUDDIN, MATINROE RI SALASSANA, 1835-1845, Pria
  27. LA PARENRENGI, ARUNGPUGI, SULTAN AHMAD MUHIDDIN, MATINROE RIAJANG BANTAENG, 1845-1857, Pria
  28. WE TENRIAWARU, PANCAITANA BESSE KAJUARA, SULTANAH UMMULHUDA, MATINROE RI MAJENNANG, 1857-1860, Wanita
  29. LA SINGKERU RUKKA, SULTAN AHMAD IDRIS, MATINROE RI TOPACCING, 1860-1871, Pria
  30. WE FATIMAH BANRI, DATU CITTA, MATINROE RI BOLAMPARE'NA, 1871-1895, Wanita
  31. LA PAWAWOI, KARAENG SIGERI, MATINROE RI BANDUNG, 1895-1905, Pria
  32. LA MAPPANYUKKI, SULTAN IBRAHIM, MATINROE RI GOWA, 1931-1946, Pria
  33. LA PABBENTENG, MATINROE RI MATUJU, 1946-1951, Pria

MISTERI TAPAK KAKI ARUNG PALAKKA

$
0
0
Arung Palakka sebelum menyeberang ke Buton ia melakukan ikrar atau janci , beliau menghentakkan kakinya setelah mengikatnya pada akar pohon beringin sebagai suatu tanda ikrar dan nampaklah pada hentakan kaki itu di atas sebuah batu dilereng bukit Cempalagi yang masih berada di pinggir laut.
Bekas tapak kaki Arung Palakka ini panjangnya kurang lebih 75 cm. Di bekas tapak inilah bila mana air laut surut maka bekas pijakan kaki tersebut akan terlihat dengan jelas. Tapak itu menyerupai sebuah wadah mengandung air tawar yang seharusnya asin karena berada di bawah permukaan laut.
Banyak orang yang berkunjung untuk mendapatkan air suci itu yang dianggapnya sebagai air yang memiliki tuah. Kegiatan seperti itu terjadi dari dulu dan masih berlangsung hingga kini.
Termasuk beruntung seseorang kalau bisa melihat dan mendapatkan air pada tapak tersebut. Jika ingin melihat bekas tapak kaki Arung Palakka harus menunggu air surut.
Di sekitar gunung itu ada beberapa mulut gua yang di dalamnya penuh stalagtit dan stalagmit yang tergolong indah dan bahkan menurut pengakuan masyarakat setempat bahwa di dalam gua itu terdapat lorong panjang yang tembus dengan Tanjung Pallette yang berjarak 2 km. Gua inilah yang disebut Gua Janci.
Di dalam gua itu terdapat sungai air tawar yang mengalir cukup dalam agak sulit ditempuh. Untuk mencapai sungai itu kita harus berjalan merangkak. Hal ini merupakan sebuah tantangan bagi petualang. Di sungai itu hidup komunitas ikan Arwana.
Konon, Gua dan sungai di bukit Cempalagi tersebut saling terhubung dengan Gua Mampu Kecamatan Dua Boccoe, Lanca Kecamatan Tellu Siattinge, Salo Marungnge Kecamatan Palakka.
Bekas tapak kaki Arung Palakka di kaki Bukit Cempalagi Kecamatan Awangpone, sampai saat ini masih meninggalkan misteri. Di perut bukit tersebut banyak fenomena alam dan peristiwa sejarah yang terjadi dimasa lalu.
Oleh Mursalim

BONE RAMPAI : MASJID RAYA WATAMPONE RIWAYATMU DULU

$
0
0

Masjid Raya Watampone yang terletak di Jalan Masjid Raya Watampone kabupaten Bone dibangun pada tahun 1944 pada masa pemerintahan raja Bone ke-32 Andi Mappanyukki, Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa (1931-1946). Masjid ini merupakan salah satu situs sejarah kerajaan Bone yang mengiringi perkembangan agama Islam di tanah Bugis Bone.
Meskipun bukan merupakan masjid tertua di kabupaten Bone namun masjid yang terletak sangat startegis di tengah kota Bumi Arung Palakka ini merupakan salah satu masjid kebanggaan warga Bone. Masjid ini menjadi salah satu kebanggan masyarakat Bone yang terus dipertahankan sampai hari ini.
Arsitektur masjid ini bercirikan tradisional dengan atap susun tiga yang tebuat dari seng. Masjid ini tidak mempunyai kubah. Di tengah bangunan masjid terdapat 43 (empat puluh tiga) tiang penyangga berdiameter 100 cm yang masih berdiri kukuh terbuat dari beton campuran pasir dan ribuan butir kuning telur ayam. Seperti halnya Tembok Cina terbuat dari campuran pasir dan kuning telur ayam. Demikian juga Masjid Tua Bone Al-Mujahidin di Jalan Sungai Citarum Watampone betonnya terbuat dari campuran pasir dan kuning telur ayam.
Tepat di samping mihrab imam terdapat bangunan mimbar bersejarah yang terbuat dari kayu hitam yang bercorak perpaduan budaya Jawa dan Cina. Selain itu di bagian depan mimbar ada sebuah rangkaian tulisan Arab yang berbahasa bugis yang menceritakan sejarah pembangunan masjid dan mimbar tersebut.
Konon, Jantung Tanah Bone merupakan tempat berdirinya masjid ini dan berada ditempat agak tinggi. Sekarang ini disamping sebagai tempat beribadah juga digunakan sebagai pusat pengajian dan musyawarah
Viewing all 127 articles
Browse latest View live