Quantcast
Channel: SEJARAH BONE
Viewing all 127 articles
Browse latest View live

BONE RAMPAI : MUSEUM LAPAWAWOI WATAMPONE, RIWAYATMU DULU

$
0
0
Museum La Pawawoi dulunya merupakan istana (Saoraja,) Raja Bone , La Mappanyukki (1931-1946) saat yang bersangkutan menjadi Raja Bone Ke-32. Museum ini, menyimpan peninggalan Kerajaan Bone, dan terletak di Jalan MH Thamrin, Watampone Kabupaten Bone.
Museum ini diberi nama Museum La Pawawoi, karena La Pawawoi Karaeng Sigeri sendiri merupakan Raja Bone Ke-31 pada tahun 1895-1905, yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.
Istana Raja Bone ini pun dipugar oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, yang dikerjakan tahun 1679 sampai tahun 1981. dan diresmikan menjadi Museum La Pawawoi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof Dr Daud Yusuf, pada tahun 1982.
Di museum ini, ada satu peninggalan dari Raja Bone ke-2 , La Ummasa Petta Mulangnge Panreng atau Petta Panre BessiE , yaitu Lanreseng atau landasan untuk menempa besi, yang masih tersimpan dan menjadi koleksi dari Museum La Pawawoi. Raja Bone kedua ini merupakan pandai besi karena dialah yang mula-mula menciptakan dan mengajarkan alat-alat dari besi di Bone. Makamnya terletak di Jalan Ahmad Yani Pusat Kota Watampone.
Lanreseng tersebut merupakan alat yang digunakan untuk membuat berbagai alat-alat dari besi. Tak hanya itu, koleksi lainnya yaitu Bessi Sikoi atau besi yang berupa cincin yang saling mengait satu sama lainnya, milik La Tenri Tatta Arung Palakka. Dan piagam penghargaan VOC Belanda kepada Arung Palakka masih tersimpan di Museum La Pawawoi ini. ” Piagam itu merupakan bentuk penghargaan VOC Belanda kepada La Tenri Tatta Arung Palakka atas kerja samanya saat itu (kooperatif dalam artian sebuah strategi), dan piagam itu bertuliskan tinta emas,”.
Museum Lapawawoi terdiri dari lima ruangan, dan masing-masing ruangan itu, menyimpan berbagai koleksi peninggalan kerajaan Bone. Di ruangan pertama atau bagian depan dari Museum ini, menyimpan sejumlah koleksi seperti koleksi keramik, peralatan makan para raja, alat tenun, peralatan bissu, peralatan nelayan, serta duplikat bendera Kerajaan Bone.
Ruangan kedua atau bagian tengah museum ini, menyimpan pelaminan, peralatan makan Ade Pitu atau Tujuh dewan adat kerajaan, pakaian adat, dan beberapa koleksi keramik lainnya. Di ruangan ini, berjejer sejumlah peralatan makan dan minum yang sengaja ditata secara rapi. Demikian halnya dengan pelaminan di ruangan ini.
Sementara itu, di ruangan ketiga menyimpan silsilah Raja Bone, dari Raja Bone pertama, yaitu Manurunge ri Matajang hingga Raja ke-33, . Selain itu, di ruangan ini juga menyimpan duplikat rambut Arung Palakka, duplikat mahkota dan pedang, serta foto Raja Bone dan keturunannya. “foto penangkapan Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri, dan saat diasingkan di Bandung pun ada di ruangan ini,”
Sedangkan, di ruangan keempat, tersimpan duplikat payung emas Kerajaan Bone, dan perisai kerajaan, kaleo malebu. Dan stempel Kerajaan Bone saat dipimpin Raja Bone ke 30, Fatimah Banri Petta Matinroe Ri Bolampare. Stempel itu sendiri, digunakan dalam urusan administrasi kerajaan saat itu. Di ruangan kelima, tersimpan piagam penghargaan VOC Belanda ke Arung Palakka, dan bessi sikoi milik Arung Palakka, serta sejumlah photo Raja Bone dan keturunannya.
Museum Lapawawoi, sering mendapat kunjungan baik dari kabupaten Bone maupun dari daerah lain. Tak hanya itu, pengunjung dari provinsi lain di Indonesia juga kerap mengunjungi museum ini. Bahkan, ada pengunjung yang berasal dari luar negeri, seperti Malaysia, Singapore, Belanda, hingga Prancis. “Umumnya pengunjung yang berasal dari Malaysia dan Singapore itu, masih mempunyai keturunan Bugis ,”.
Umumnya, pengunjung yang datang ke museum ini, yaitu pelajar baik di tingkat SD sampai SMA, dan mahasiswa. Mungkin sebagai generasi muda sudah mulai tertarik mengunjunginya terutama anak sekolah dan mahasiswa. Mereka berharap, agar masyarakat paham sejarah budaya, tradisi dan pahlawannya, dan ikut melestarikannya. Apalagi, Kabupaten Bone menjadi salah satu ikon pariwisata Sulawesi Selatan.
Museum Lapawawoi terletak di pusat kota Watampone. Tempat ini menjadi tempat yang paling sering dikunjungi terlebih bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kejayaan Bone masa lampau. Di museum ini terdapat berbagai koleksi benda peninggalan Kerajaan Bone yang masih terawat dengan baik. Benda-benda tersebut merupakan bukti kebesaran Kerajaan Bone pada masa lalu.
Adapun benda-benda yang dipamerkan di museum Lapawawoi antara lain :
1.Peralatan Upacara Penjemputan
2.Peralatan Makan untuk Raja
3.Peralatan Bissu dan Upacara Spiritual
4.Peralatan Perkawinan
5.Peralatan Tenun
6.Peralatan Perang
7.Duplikat Payung Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge yang terletak berdampingan dengan Rumah Jabatan Bupati Bone)
8.Duplikat Selempang Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge)
9.Stempel Kerajaan
10.Pakaian Adat
11.Peralatan Nelayan
12.Peralatan Musik Tradisional
13.Duplikat Mahkota Arung Palakka
14.Piagam VOC
15.Koleksi Mata Uang Kuno
16.Koleksi Keramik
17.Koleksi Buku Lontara
18.Koleksi Foto-foto Kerajaan
CATATAN :
Museum La Pawawoi yang beralamat di Jalan M.H. Thamrin No. 9, Watampone kabupaten Bone menempati bangunan bekas Istana La Mappunyokki Raja Bone. Didirikan pada 5 Januari 1971 oleh Bupati Bone, H. Suaib. Nama museum ini diambil dari nama seorang Raja Bone yang telah diakui sebagai pahlawan nasional, yaitu La Pawawoi Karaeng Sigeri. La Pawawoi yang lahir pada 1835 merupakan pahlawan Perang Bone melawan Belanda. Tanggal 14 Desember 1906 beliau ditawan dan diasingkan ke Bandung. Setelah beliau bertemu dengan Gubernur Jenderal Belanda, beliau mengucapkan ikrar tantangan yang berbunyi, “Biar tubuhku menghadap/ tertawan, hatiku pantang menyerah kepada kompeni”. Beliau wafat tanggal 17 Januari 1911.
Dahulu Museum La Pawawoi memiliki koleksi kurang lebih 331 buah, berupa benda-benda peralatan dapur, pakaian adat, dan senjata. Selain itu terdapat pula koleksi keramik yang sebagian besar merupakan peralatan makan Raja-raja Bone. Di museum ini juga dipamerkan stempel kerajaan Bone dan miniatur perahu phinisi. Koleksi yang tidak kalah pentingnya adalah silsilah Kerajaan Bone dari awal hingga akhir.

BUGIS RAMPAI : RILADUNG RI ALAUNA PALLETTE, KONSEKUENSI HUKUM ADAT MALAWENG DIMASA LALU

$
0
0
 RILADUNG RI ALAUNA PALLETTE, KONSEKUENSI HUKUM ADAT MALAWENG DIMASA LALU
RILADUNG RI ALAUNA PALLETE, KONSEKUENSI HUKUM ADAT MALAWENG DI MASA LALU
Oleh : Mursalim

Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa yang berlangsung turun temurun dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Sehingga ketidaksamaan inilah yang memberikan identitas antara bangsa yang satu dengan yang lainnya.
Adat diibaratkan sebuah fundasi yang kukuh, sehingga kehidupan modern pun ternyata tidak mampu melengserkan adat-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Karena adat itu dapat mengadaptasikan diri dengan keadaan dalam proses kemajuan zaman sehingga adat itu tetap kekal dan tegar menghadapi tantangan zaman.
Hukum adat merupakan sesuatu tatanan hidup masyarakat yang kemudian menjadi hukum yang tidak tertulis. walaupun demikian tetap dipatuhi berdasarkan atas keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dahulu, dikalangan Bugis Bone dikenal hukum adat dengan istilah “MALAWENG”. Hukum Adat Malaweng itu terdapat tiga tingkatan, yaitu :
1. Malaweng tingkat pertama (MALAWENG PAKKITA), yakni sesorang yang melakukan pelanggaran melalui pandangan mata. Misalnya, menatap sinis kepada orang lain, menatap tajam laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan lain sejenisnya.
2. Malaweng tingkat kedua (MALAWENG ADA-ADA), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran karena kata-kata yang diucapkan. Misalnya, berkata yang tidak senonoh kepada orang lain, membicarakan aib orang lain, berkata sombong dan angkuh, berkata kasar kepada lawan bicaranya, dan lain sejenisnya.
3. Malaweng tingkat ketiga ( MALAWENG AMPE-KEDO ), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran karena perbuatan tingkah laku. Misalnya, laki-laki melakukan hubungan intim dengan perempuan adik atau kakak kandungnya sendiri, membawa lari anak gadis (mallariang-silariang), melakukan hubungan intim dengan ibu/ayah kandungnya sendiri, menghilangkan nyawa orang lain, mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya, dan lain sejenisnya.
Dahulu, khusus dalam hal kawin-mawin dengan saudara kandungnya sendiri atau ayah/ibu kandungnya sendiri tergolong pelanggarang adat yang paling berat karena apabila hal ini terjadi maka keduanya baik laki-laki maupun perempuan mendapat hukuman setimpal dengan cara “Riladung” yakni keduanya dimasukkan ke dalam sebuah karung yang diikat dengan tali kemudian ditenggelamkan ke dasar laut dengan menggunakan alat pemberat batu.
Dimasa lalu, salah satu tempat eksekusi yang ada di Bone adalah Kawasan TANJUNG PALLETTE yang berjarak 12 km dari kota Watampone sekarang ini. Keduanya dinaikkan kesebuah perahu kecil dan dibawa ke arah timur sejauh 3 km dari pantai Tanjung Pallette kemudian ditenggelamkan ke laut.
Sesuai petuah leluhur Bugis " PADECENGI AMPE-KEDOMU, NINIRI RIASENGNGE AMPE MALAWENG ". NASABA MAEGATU RIASENGNGE MALAWENG, SAISANNA MALAWENG PAKKITA, MALAWENG ADA-ADA, ENRENGNGE MALAWENG PANGKAUKENG / AMPE-KEDO " (artinya Perbaikilah sikap dan prilakumu, hindarilah yang namanya perbuatan melanggar adat norma-norma yang berlaku, antara lain melanggar adat dengan penglihatan, kata-kata dan ucapan, dan sikap prilaku ). Demikian antara lain petuah orang tua Bugis kepada anak-cucunya.
MALAWENG adalah ragam kosa kata Bugis, kurang lebih dapat dimaknai sebagai sesuatu yang “berlebihan” sehingga menjadikan sesuatu tidak bermatabat atau mungkin saja lebih mendekati pengertian “genit”. Maka terjemahan bebas wasiat tersebut kurang lebih, adalah : “janganlah genit pada segala hal”. Seperti halnya genit berbusana, genit bertingkah laku, genit pandangan, genit berkata-kata serta banyak lagi yang lainnya.
Sabar dalam bertingkah laku serta senantiasa mampu menempatkan diri pada posisi masing-masing. Menyebut “ndi” pada siapapun yang menurut umurnya pantas jadi adiknya serta menyebut “nak” kepada siapapun yang menurutnya pantas jadi anak serta cucunya dari segi umur.
“Naposipa’ asengna” (bertingkah laku sesuai namanya), demikian penilaian banyak orang terhadapnya karena sesungguhnya “Mapparimeng” dalam kosakata Bugis, berarti : Tawakkal dan tawadlu.
"Aja’ Muappakawang Batu" dalam pengertian harfiahnya, yakni : berusaha menjadikan batu kali mengapung dipermukaan air. Sesuatu yang lebih diartikan sebagai mengupayakan sesuatu yang mustahil karena berlawanan dengan prinsif hukum alam (fisika). “Mappakawang Batu” dalam ranah pranata etika sosial suku Bugis adalah sesuatu yang sangat terlarang oleh “ Wari ”.
Aja’ muebbu laleng baru, ana’.. Aggau’ malebbi mukko, Puwang Allahu Ta’ala pa mpukkarekko alebbirengmu.. Aja lalo mupakatunai padammu rupa tau, nasaba’ masselessureng manengngiritu sininna rupa tauE ri lino, ateppekini bawang nak.. (jangan sekali-kali merintis sebuat adat baru, anakku.. berprilaku mulialah, nantilah Allah yang membukakan pintu kemuliaanmu. Jangan sekali-kali merendahkan seseorang karena sesungguhnya manusia diseluruh dunia itu bersaudara).
Bagi orang yang beradat mulia biasanya mampu menempatkan diri dengan baik dapat membaca keadaan sekelilingnya di manapun ia berada. Jika kita bisa memosisikan diri pada hal yang sewajarnya maka ampe-kedo malaweng dapat terhindarkan .
Berikut lirik lagu " MALAWENG "
ALA MASEA-SEANA TUO RI LINI
TANENGNGI BUNGA PUTE LAJO UNGANNA
ALA MASEA-SEANA TUO RI LINO
TABBA PADDENRING BOLA NAIRING ANGIN
SUSSANA NYAWAMU, SUSSANA NYAWAKU
SARANA ATIMMU, SARANA ATIKKU
TODDOPULI PULAWENG BALI SALAKA
NAIYYA TO MALAWENGNGE SAPA TANAI
NARILADUNGNA SIYA ALAUNA PALLETE

BONE RAMPAI : AL-MUJAHIDIN, MASJID TERTUA DI KABUPATEN BONE

$
0
0
Masjid Tua Al-Mujahidin yang terletak di jalan Sungai Citarum Watampone kabupaten Bone,merupakan masjid tertua di kabupaten Bone yang dibangun pada tahun 1890 pada masa pemerintahan Raja Bone Ke- 30 dan 31 We Fatimah Banri Datu Citta MatinroE ri Bolampare’na, 1871-1895, dan La Pawawoi-Karaeng Sigeri MatinroE ri Bandung, 1895-1905.
Di areal belakang masjid ini terdapat kompleks makam yang disebut Lalebbata. Di kompleks makam ini terdapat makam raja Bone ke-24 yaitu TO Appatunru’ dan Raja Bone ke-29 Singkeru’ Rukka. Masjid tua ini dimasa kerajaan Bone di samping sebagai tempat beribadah juga digunakan sebagai tempat syiar agama Islam dan musyawarah.
Sebelumnya Kerajaan Bone resmi masuk Islam pada tanggal 23 November 1611 Masehi, yang bertepatan dengan 2 Ramadhan 1020 Hijriah, pada masa`pemerintahan Latenri Pale To Akkapaeng Sultan Abdullah Matinroe ri Tallo (1612-1632), pada waktu itu Kerajaan Bone dikuasai oleh Kerajaan Gowa, namun Raja Bone masih diperkenankan menjalankan kekuasaan sendiri dan tidak dibebankan upeti dan lain-lain.
Setelah La Tenri Pale Mangkat, maka diangkatlah La Maddaremmeng sebagai Raja Bone Ke 13 (1632-1640) yang masih keponakan dari Raja Bone ke 12.

BONE RAMPAI : SASTRA BERTUTUR DARI TANAH BUGIS : BALADA RUMPA'NA BONE, KISAH HEROIK LAPAWAWOI KARAENG SIGERI MELAWAN BELANDA TAHUN 1905 "

$
0
0
BONE RAMPAI : SASTRA BERTUTUR DARI TANAH BUGIS : BALADA RUMPA'NA BONE, KISAH HEROIK LAPAWAWOI KARAENG SIGERI MELAWAN BELANDA TAHUN 1905 "

LAPAWAWOI KARAENG SIGERI Raja Bone ke-31 (1885-1905) bersama putranya ABDUL HAMID BASO PAGILINGI yang populer dengan nama PETTA PONGGAWAE menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Walaupun Belanda menyerang dengan persenjataan lengkap dengan tentara terlatih, akan tetapi Lapawawoi Karaeng Sigeri tidak menjadi gentar. Dengan jiwa kesatria yang membara, ia menghadapi serangan Belanda di berbagai tempat.
Pendaratan tentara Belanda di pantai Timur Kerajaan Bone di kawasan laut Teluk Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), LAPAWAWOI KARAENG SIGERI menyatakan perang diseluruh wilayah kerajaan Bone terhadap kompeni Belanda. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan dari anggota ADE' PITU serta seluruh pimpinan LASKAR PASSIUNO dari Kerajaan Bone.
Di bawah pimpinan Panglima operasinya Kolonel VAN DER WEDDEN, Belanda melakukan serangan sporadis ke kubu-kubu pertahanan Laskar Kerajaan Bone. Walaupun mendapat perlawanan yang cukup sengit dari Laskar kerajaan Bone, akan tetapi persenjataan Tentara Belanda yang lengkap akhirnya tentara Belanda berhasil memukul mundur Laskar kerajaan Bone yang dipimpin oleh LAPAWAWOI KARAENG SIGERI bersama putranya ABDUL HAMID BASO PAGILINGI PETTA PONGGAWAE dan Seluruh keluarganya. Pada tanggal 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut SAORAJA (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.
Selama kurang lebih lima bulan Juli-Desember 1905 LAPAWAWOI KARAENG SIGERI bersama Petta Ponggawae beberapa kali memindahkan pusat pertahanannya. Hal ini dilakukan agar segenap Laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat senantiasa dapat melakukan kontak dengannya.
Adapun pusat-pusat pertahanan Laskara Kerajaan Bone pada waktu itu anatara lain : Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng. Pusat pertahanan yang terakhir yang merupakan tempat gugurnya Petta PonggawaE adalah Bulu Awo di perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.
Dalam kondisi yang tidak menentu, menyusul kejaran Serdadu Belanda juga semakin gencar, maka kedua petinggi kerajaan Bone merubah taktik perangnya dari perlawanan FRONTAL menjadi PERANG GERILYA. Hal ini dilakukan karena semakin sulitnya mengoodinir laskar-laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat. Terutama Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando LATEMMU PAGE ARUNG LABUAJA. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda menguber pusat-pusat pertahannya.
Perlawanan Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap Belanda tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE ( Bobolnya Pertahanan Bone). Sedang pihak Belanda menyebutnya sebagai AKSI MILITER TERHADAP BONE.
Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan LAPAWAWOI KARAENG SIGERI sendiri ketika menyaksikan secara langsung PETTA PONGGAWAE (putranya sendiri) gugur diterjang peluru tentara Belanda. Hal ini diungkapkan dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Benteng Pertahanan Bone). Maka dengan gugurnya Petta Ponggawae sebagai Pahlawan TANA UGI KURU' SUMANGE, maka Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone telah bobol dan dikatakanlah "RUMPA’NI BONE"
Tak dapat disangkal, bahwa terdapat segelintir kalangan yang melihat secara apriori peristiwa Rumpa’na Bone sebagai lembaran kelabu dalam sejarah perlawanan Rakyat Bone dalam menghadapi serangan serdadu Belanda. Kalangan tersebut beralasan bahwa, peristiwa Rumpa’na Bone yang ditandai dengan gugurnya Panglima Perang Kerajaan Bone PETTA PONGGAWAE dan tertangkapnya Raja Bone Lapawawoi Karaeng Sigeri oleh tentara Belanda, menunjukkan betapa rapuhnya pertahanan Rakyat Bone melawan penjajah ?
Namun sebagian besar kalangan mengatakan, bahwa peristiwa Rumpa’na Bone yang diawali dengan perlawanan yang cukup sengit yang ditandai gugurnya ribuan laskar Bone adalah sebuah peristiwa heroik yang jarang ditemukan tandingannya. Langkah yang ditempuh oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Petta Ponggawae Abdul hamid Baso Pagilingi selaku Panglima Perang merupakan langkah patriotis yang cukup berani hingga rela meregang nyawa demi mempertahankan tanah leluhurnya BONE TANA SUMANGE.
Kalau bukan karena jiwa patriotis, Lapawawoi Karaeng Sigeri selaku tokoh sentral perlawanan Rakyat Bone pada masa itu melawan tentara Belanda, mungkin ceritanya menjadi lain. Apakah menerima tawaran kerja sama dengan Belanda yang berarti membiarkan Komponi Belanda menjajah Kerajaan Bone. Namun yang pasti hal itu tak mungkin terjadi, karena ribuan Laskar Kerajaan Bone yang terkapar bersimbah darah di sepanjang Pantai Bajoe. Para suhada Bugis tersebut didorong oleh SIRI’ NA PESSE' untuk mempertahankan tanah tumpah darahnya dari penjajahan Belanda.
Dalam kenyataannya memang harus diakui, bahwa persenjataan Belanda yang lengkap ditunjang dengan ketangguhan personel militernya jauh berada di atas bila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh Laskar Kerajaan Bone. Tetapi ketika kita mengenang kisah perlawanan Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap Belanda yang pada akhirnya Petta Ponggawae Gugur dan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri tertawan, maka seyogianya patut dikenang dan direnungkan oleh generasi berikutnya.
BERIKUT INI, KAMI KHATURKAN UNTAIAN BALADA HEROIK SEORANG RAJA BUGIS DENGAN SUMANGE' TEALLARA DALAM MEMPERTAHANKAN SETIAP JENGKAL TANAH LELUHURNYA MELAWAN BELANDA :
1.Bismillahirrahmanirrahim. Dengan petunjuk dan karunia-Nya, dengan kebesaran dan keagungan-Nya, kurentang benang merah sejarah, kurangkai peristiwa, kutulis ini kisah.
2.Kisah heroik seorang Raja Bugis melawan Belanda si Mata Pute. Dengan semangat patriotik membara, dan jiwa kesatria yang mendidih, didorong oleh Toddo’ Siri, na pesse’
3.Terlukis indah di lembaran sejarah. Terpatri abadi di hati Rakyat bone. Dari generasi ke ke generasi selanjutnya. Sebagai bukti keteguhan hati nurani. Orang Bugis berdarah Wija To Bone MAMUARE NAINRIING PATTOLA.
4.Lapawawoi Karaeng Sigeri namanya. Raja Bone yang ketiga puluh satu. Bersama putranya yang gagah perkasa Andi Abdul Hamid Baso Pagilingi. Panglima Perang Kerajaan Bone pimpinan LASKAR PASSIUNO Kerajaan Bone.
5.Didukung oleh ADE' PITU Bone. Dan Seluruh pimpinan Laskar pemberani. Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Mengangkat senjata melawan penjajah. Hingga tetes darah penghabisan.
6.Dalam sejarah Bone disebutkan. Awal pecahnya perang yang dahsyat. Di pantai Timur Celebes Selatan. Kala itu di Wowona Tana Bone pagi yang sejuk pada bulan Juli Tahun seribu sembilan ratus lima.
7.Ketika matahari mulai merekah. Di ufuk Timur tiada berawan. Memancarkan cahaya indah keemasan. Menyepuh seantero Kerajaan Bone hingga menembus bayang SAMPARAJA. Begitu indah ciptaan sang Khalik.
8.Di Baruga Saoraja Bone nan asri. Lapawawoi Karaeng Sigeri dan permaisuri. Duduk tenang di atas Tappere Boddong. Rituddukeng Lamangolokkelling Cempanigae. Diapit Pattetteng dan Jowa pemberani.
9.Di bawah nuangan Teddung Pulaweng dan bendera Kerajaan SamparajaE. Arungpone bersama permaisuri. Dihibur Tari Pajoge dan lagu Ongkona Bone oleh Bissu pengawal setia Saoraja.
10.Gendang dipukul bertalu-talu. Lagu berdendang begitu syahdu. Lemah gemulai Penari Bissu. Indah nian menyejukkan hati. Mengikuti irama klasik Tana Ugi.
11.Di hati Arungpone dan permaisuri. Timbul kekaguman yang sangat mendalam. Betapa tinggi budaya Leluhur. Warisan Kerajaan Bone di Tanah Ugi. Kebanggaan SEMPUGI serumpun Bugis di Celebes Selatan.
12.Langit Kerajaan Bone pagi itu. Nampak cerah diliputi udara sejuk. Tak terbayang akan datang mendung kelabu. Tak terpikir akan munculnya prahara. Yang membuat Tana Ugi bergolak.
13.Di atas Singgasana Kerajaan Bone. Arungpone bersama permaisuri. Nampak tegar dan tenang penuh wibawa. Di wajahnya terbaca gurat kepemimpinan. Selaku raja Sulesana yang bijak dan berhati jernih.
14.Seorang Pengawal datang melapor. Atas datangnya utusan Arung Tanete. Untuk menyampaikan suatu berita. Dari Hasil pengamatan di sepanjang pantai. Antara Ujung Pattiro-Ujung Pallette.
15.Kemeriahan pun seperti tersentak. Bunyi gendang, suling, dan kecapi. Semua berhenti tak lagi terdengar. Gerak gemulai penari-penari Bissu. Nampak terkulai seperti lesu dan kaku.
16.Keluarga Saoraja diliputi kecemasan. Di wajah permaisuri terbaca kebingungan. Kecuali Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Kelihatan tetap tegar dan sangat tenang. Menanti berita dari utusan Arung Tanete.
17.Hasil pengamatan Arung Tanete. Di sana di Perairan Teluk Bone. Kelihatan banyak kapal beriring-iring. Berlayar dari selatan menuju Utara. Semakin dekat di Pantai Bajoe.
18.Mendengar itu, Arungpone tertunduk. Lalu bangkit menganggukkan kepala. Menyimak dalam lubuk hatinya. Akan makna laporan dari Arung Tanete. Entah gejolak apa yang timbul di benaknya.
19.Tatapan matanya menerawang jauh. Memandangi cakrawala tak terbatas... Ada kemelut yang sulit dipecahkannya. Menimbulkan seribu tanda tanya. Di hati permaisuri dan keluarga Saoraja.
20.Dengan suara datar Arungpone bertutur. Mengungkap misteri laporan Arung Tanete. Bahwa kapal-kapal yang beriring-iring. Di sana di perairan Teluk Bone Adalah milik Belanda si Putih Mata Lamata Pute.
21.Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Menitip pesan kepada Arung Tanete. Agar tetap terus melakukan pengamatan. Akan maksud kedatangan kapal Belanda. Yang semakin mendekat di Pantai Bajoe.
22.Sebab menurut pikiran Arungpone. Belanda selalu berupaya untuk mencaplok dan menjajah. Menanamkan kuku-kukunya di atas bumi Kerajaan Bone yang subur Tana Ritappa Dewata.
23.Kepada Arung Tanete dan Rakyatnya. Arumpone minta agar tetap tenang. Menunggu perintah dari Saoraja. Dari kesepakatan antara Mangkau’E. Dengan segenap anggota ADE' PITU Bone.
24.Kesepakatan dan kebulatan tekad dengan Sumange' Teallara'. Dari pemikiran dan pertimbangan yang jernih. Untuk membela dan mempertahankan Kerajaan Bone dan Seluruh Rakyatnya. Dari cengkeraman tangan-tangan licik penjajah.
25.Kecemasan dan kegelisahan permaisuri. Nampak jelas di wajahnya yang bening. Dengan pandangan sayu menatap Arungpone. Mengharap jawaban penyejuk hati. Tentang kedatangan kapal-kapal Belanda.
26.Sementara di perairan Teluk Bone. Berkumpul armada kapal perang Belanda. H.M. Hendrik Hertog pembawa bendera. Di atasnya Komandan Eskader Matra Laut. Mengadakan rapat dengan Panglima Tempurnya.
27.Melalui teropong dari atas kapal. Nampak keindahan alam Kerajaan Bone. Lembah dan ngarai, Sawah dan ladang terbentang luas. Pohon lontar dan nyiur melambai-lambai. Sungai-sungai mengalir dengan jernih.
28.Bukit dan gunung berhutan lebat. Binatang ternak berlarian kian kemari. Burung-burung beterbangan di udara. Ombak memutih memecah pantai. Panorama alam indah menawan hati.
29.Keindahan itulah membuat Belanda semakin bernafsu. Untuk segera melakukan pendaratan. Bagai kelompok singa kelaparan. Mengintai buruannya di balik belukar.
30.Suasana di Saoraja semakin galau. Seluruh penghuni dicekam kecemasan. Permaisuri melangkah mendekati Arungpone yang tetap tegar dan tenang di tempatnya. Selaku raja yang berpikiran tajam hinggan menembus langit ke tujuh.
31.Dengan suara lembut permaisuri bertanya. Apa betul kapal-kapal itu milik Belanda. Datang untuk menyerang Kerajaan Bone. Lalu bagaimana langkah-langkah Arungpone. Dalam mempertahankan dan menyelamatkan rakyatnya.
32.Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Membujuk permaisuri yang nampak gelisah. Menenangkan gejolak dalam hati dan pikirannya. Tawakkal kepada Allah dan Nabi-Nya.
33.Tellabu Essoe ri Tengngana Bitarae.Takka tenggelam matahari di tengah langit. Segalanya berjalan menurut kodratnya. Demikian Arungpone membujuk permaisuri. Dan segenap keluarga penghuni Saoraja. Yang nampak bingung penuh kecemasan.
34.Arungpone tetap yakin dan percaya. Kerajaan Bone sangat kuat dan tangguh. Dengan ribuan LASKAR PAKKANNA PASSIUNO. Yang rela mati berlumuran darah merah. Dari pada hidup dijajah Belanda.
35.Belanda boleh menerobos pertahanan Bone. Setelah melangkahi ribuan laskar. Dengan semangat patriotis sejati. Siap bertarung di WALA-WALA BESSIE. Bermandi darah di Appasareng Kannae.
36.Mendung kelabu di atas kerajaan Bone. Nampak semakin tebal, pekat dan hitam. Pertanda bakal datangnya malapetaka. Angin puting beliung telah berembus. Disertai Guntur dan kilat menyambar-nyambar.
37.Permaisuri kelihatan semakin gelisah. Arungpone seperti tak berhenti berpikir. Penghuni Saoraja dicekik ketakutan. Perang bakal berkobar meminta korban. Tana Ugi sebentar lagi bersimbah darah.
38.Dalam suasana yang semakin galau. Seorang lagi pengawal datang melapor. Atas kedatangan dua orang tamu asing. Karaeng Marusu bersama temannya. Utusan Belanda dari perairan Teluk Bone
39.Laporan itu mengejutkan permaisuri. Kekesalan di hatinya terbayang di wajahnya. Meluap bagai nyala api diembus angin. Dengan kalimat meledak tak terkendali. Menolak kedatangan utusan Belanda.
40.Bangkit berdiri Sang Permaisuri. Melepas uneg-uneg yang menggurita. Dalam hatinya yang panas membara. Agar KARAENG MARUSU bersama temannya tidak memasuki halaman Saoraja.
41.Arungpone yang bijak berhati lembut. Kembali menenangkan permaisuri. Menyiram nyala api yang meluap. Agar tidak menampakkan kekesalan kepada karaeng Marusu bersama teman-temannya.
42.Di pintu Saoraja yang dijaga pengawal. Karaeng Marusu bersama temannya. Membungkuk memberi penghormatan. Lalu keduanya langsung duduk bersila di depan Arungpone dan Permaisuri.
43.Dengan kalimat bergetar putus-putus. Karaeng Marusu kepada arungpone. Bahwa dirinya utusan Komandan Belanda. Yang sekarang berada di atas kapal. Menunggu kabar di perairan Teluk Bone.
44.Tertegun Lapawawoi Karaeng Sigeri. Menyimak berita dari utusan Belanda. Berpikir dan berpikir mencari yang terbaik. Gurat-gurat kewibawaan kembali terbaca di wajahnya yang nampak semakin menua.
45.Kemudian memandang jauh ke depan. Sejauh analiasa dan bisikan hatinya. Membayangkan Kerajaan bone yang subur buminya. Membayangkan wajah-wajah Rakyatnya.
46.Selaku raja yang memiliki firasat. Nalar dan mata batin yang tajam. Kalimat yang sarat makna filosofi. Arungpone menjawab tawaran Belanda. Kepada karaeng Marusu bersama temannya.
47.Arungpone menyemak dan memahami. Kedatangan Belanda di Teluk Bone. Namun tidak bisa bertindak sendiri. Untuk menerimanya mentah-mentah. Harus didukung oleh Hadat Tujuh Kerajaan Bone.
48.Dengan kalimat putus-putus dan ragu. Karaeng Marusu mengajukan pertanyaan. Tentang sikap dan langkah Arungpone. Menerima atau menolak tawaran Belanda. Karena dia tidak bisa berlama-lama.
49.Dengan tenang Arungpone menjawab. Di Kerajaan Bone yang saya cintai ini. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Disebut ADE' MAPPURA ONRONA BONEAde Warisan Leluhur yang dijunjung tinggi.
50.Apapun yang akan dilakukan di Bone. Harus lahir dari musyawarah dan mufakat. Antara Mangkau selaku raja disatu pihak. Dan anggota ADE' PITU Bone dilain pihak. Sebagai wujud demokrasi sejati.
51.Jadi tentang maksud tawaran Belanda. Arungpone tidak bisa menentukan sekarang. Menunggu hasil musyawarah dan mufakat. Diterima sebagai awal suatu persahabatan. Atau ditolak sebagai awal pecahnya perang.
52.Setelah mendengarkan pesan Arungpone. Karaeng Marusu dan temannya mohon pamit. Dengan langkah gontai meninggalkan saoraja. Berjalan ke arah timur menuju Pantai Bajoe. Dengan hati yang dongkol, kesal dan kecewa.
53.Di Pelabuhan Bajoe keduanya naik sampan. Menuju kapal S.S.Riemsdijk di Teluk Bone. Di mana Panglima ekspedisi VAN LOENEN. Dengan perasaan cemas penuh harap. Telah lama menunggu kedatangannya.
54.Di depan Panglima Ekspedisi Van Loenen. Karaeng Marusu dan temannya menyampaikan. Pesan yang mengisyaratkan penolakan dari Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Raja yang mematuhi kehendak rakyatnya.
55.Kabar itu membuat Van Loenen naik darah. Kehendaknya dilecehkan dan tidak digubris. Wajah bengis memandang ke arah pantai. Nafsu serakahnya menggerogoti pikirannya. Menyerang Bone dengan kekuatan senjata.
56.Suatu ultimatum bernada ancaman. Ditulisnya dengan emosi meluap-luap. Dalam tempo satu kali dua puluh empat jam. Kehendak tidak diiyakan dan dipenuhi. Maka Kerajaan Bone segera dibumihanguskan.
57.Ultimatum Tertanggal Sembilan Belas Juli Tahun Seribu Sembilan Ratus Lima. Diberikan kepada La Pattola Daeng Massappo. Orang Bone yang diinterner di Ujung Pandang. Agar secepatnya diberikan kepada Arungpone.
58.Menerima Ultimatum dan ancaman demikian. Tidak membuat hati Arumpone menjadi gentar. Sebagai Raja Bugis yang mempunyai harga diri Siri Napesse'. Darah Bugis dan patriotisnya mendidih. Bertekad melawan Belanda Si Putih Mata.
59.Baginya tidak ada kata untuk menyerah. Apalagi tunduk di bawah kekuasaan penjajah. Harga diri sebagai Orang Bugis Wija To Bone. Toddopuli Siri Napesse' harus ditegakkan. Demikian bisikan yang muncul di hatinya.
60.Segenap Anggota ADE' PITU diundang. Arung Ponceng, Arung Tanete Riawang, Arung Macege, Arung Tanete Riattang, Arung Ta’, Arung Ujung, Arung Tibojong. Agar segera datang berkumpul di Saoraja.
61.Diundang pula Abdul Hamid Baso Pagilingi. Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Bersama Seluruh pimpinan Laskar Pemberani. Untuk datang memenuhi undangan Arungpone. Guna menanggapi Ultimatum dari Belanda.
62.Hanya berselang beberapa saat saja. Semasih daun sirih belum hancur terkunyah. Dan periuk di dapur belum juga mendidih. Para undangan berdatangan dari segala arah. Semua hadir memenuhi undangan Arumpone.
63.Setelah semuanya tenang di tempat duduk. Arung Ponceng bertanya kepada Arungpone. Mungkin ada sesuatu yang penting dibicarakan. Sehingga Puatta Arungpone mengundang kita. Untuk datang dan berkumpul di Saoraja.
64.Sebelum mengemukakan maksud undangannya. Arungpone menatap satu-satu tamu yang hadir. Tatapannya mulai dari anggota hadat Tujuh Bone. Sampai kepada Abdul Hamid Baso Pagilingi. Dan Pimpinan Laskar Pakkanna Passiuno.
65.Dengan suara serak-serak basah. Lapawawoi Karaeng Sigeri mulai bicara. Sebagai Orang Bugis yang punya harga diri. Yang menjunjung tinggi ADE' PANGGADERENG INANNNA WARAMPARANGNGE. Kita perlu menyatakan pendapat.
66.Semua yang hadir nampak semakin gelisah. Menunggu lanjutan pembicaraan Arungpone. Membuat suasana menjadi hening sejenak. Tak seorangpun yang mengeluarkan kata. Sementara Permaisuri nampak tertunduk gundah gulana.
67.Dengan tarikan nafas yang panjang. Arungpone melanjutkan pembicaraan. Tentang datangnya dua orang utusan Belanda. Mengajak untuk menjalin kerja sama. Mengelola Pelabuhan Pallime dan Bajoe.
68.Selanjutnya Belanda akan mempersatukan. Jumpandang, Bone, Luwu, dan Tanah Toraja. Menurut pikiran Lapawawoi Karaeng Sigeri. Itu merupakan awal dari sebuah jebakan. Untuk menggiring ke dalam bentuk penjajahan.
69.Dari saku Arungpone ditariknya secarik kertas. Ultimatum yang diterimanya dari Belanda. Kalau keinginan yang ditawarkan ditolak. Kerajaan Bone akan diserang dan dihancurkan. Dalam tempo satu kali dua puluh empat jam.
70.Mendengar penjelasan dari orang tuanya. Baso Pagilingi Petta Ponggawae naik darah. Berdiri dan menghormat kepada Arungpone. Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Jiwa patriotis, semangat kesatrianya tergugah.
71.Menurut pandangan mata batinnya. Suatu malapetaka terbayang di depannya. Kerajaan Bone akan hancur porak-poranda. Seluruh rakyatnya hidup di bawah penjajahan. Apabila keinginan Belanda itu diterima.
72.Lalu Baso Pagilingi Petta Ponggawae. Memohon ampun kepada Ayahandanya. Juga kepada Seluruh anggota Hadat Bone. Agar mempertimbangkan matang-matang. Untuk menerima ajakan dan tawaran Belanda.
73.Sebab menurut yang muncul di benaknya. Belanda tidak bisa dipercaya omongannya. Pantang untuk diikuti segala keinginannya. Apalagi menerima apa yang ditawarkannya. Di hatinya sejali sekalindang sifat penjajah.
74.Berdiri menghormat pula Arung Ponceng. Salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone. Membenarkan ucapan Petta Ponggawe. Diamini oleh anggota ADE' PITU lainnya. Menolak tawaran Belanda Si Putih Mata.
75.Dulung Ajangale, Lamuru, Awang Tangka, Arung Palili, dan Pimpinan Laskar pemberani. Menyatakan siap mengamankan kesepakatan. Arungpone dengan ADE' PITU Bone. Meskipun harus ditebus dengan harta dan nyawa.
76.Lapawawoi Karaeng Sigeri kecintaan rakyat. Memandang ke kiri, ke kanan lalu tersenyum. Ini namanya terpaut ujung dan pangkalnya. Telah bertemu pula buku dan ruasnya. Pendapatnya seirama pendapat rakyatnya.
77.Dengan gurat-gurat usia yang nampak menua. Arungpone mengajak semua yang hadir. Menggalang kekuatan menghimpun tenaga. Mengangkat senjata melawan penjajah. Membela Kerajaan Bone dan rakyatnya.
78.Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta Ponggawae. Selaku Panglima Perang mendapat perintah menghimpun kekuatan. Untuk menghadapi serangan serdadu Belanda. Mulai Ujung Pattiro hingga Ujung Pallette.
79.Perintah yang sangat ditunggu-tunggu. Disambutnya dengan mengucapkan ikrar. Berdiri dan mencabut keris RAJA BAGUSU keris pusakanya yang selalu menyertainya. Diayunkan ke kiri maupun ke kanan penuh semangat.
80.Matanya merah menyorot bagai bara api. Bersumpah dan berikrar untuk tetap setia. Membela dan mempertahankan Kerajaan Bone. Paccingarai Rela mati ditembus peluru penjajah.
81.Mendengar ikrar Baso Pagilingi. Semangat Patriotik hadirin seperti tersulut api. Gelora jiwa kesatria nampak terbaca. Di wajah para pemberani Kerajaan Bone. Arungpone tenang dan tegar di tempatnya.
82.Tidak ketinggalan pula Arung Tanete. Dengan sorotan mata menyala-nyala. Memberi hormat kepada Arungpone. Mencabut keris pusaka kesayangannya. Mengucapkan ikrar menghadapi Belanda.
83.Darah kesatria Arung Sailong tergugah. Semangat membara membatu. Diteriakkan dengan lantang ikrarnya di depan Arungpone dan Permaisuri. Dan Seluruh undangan yang hadir.
84.Setelah sejumlah Pakkanna Passiuno. Mengucapkan ikrar masing-masing. Berdirilah Permaisuri dengan tegarnya. Mendekati Baso Pagilingi lalu menepuk bahunya membakar semangatnya.
85.Berdoa kepada Allah dan Nabi-Nya. Semoga melindungi dari serangan musuh. Semoga Seluruh Laskar Kerajaan Bone. Diberi kekuatan dan kemampuan tempur menghadapi Belanda.
86.Setelah diberkahi kedua orang tuanya. Baso Pagilingi selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Begitu gagah melangkahi ke depan. Mengarah ke Timur menuju MEDAN JUANG.
87.Diikuti oleh Laskar Passiuno. Di hatinya hanya dua pilihan. Hidup atau mati demi Tana Ugi. SIRI NAPESSE'SISENG MUATU TABBE' SIRIE, MASIRINI'TU MATTERU. Untuk apalagi hidup kalau harga diri diinjak-injak, mendorong langkahnya.
88.Rerumputan dan bebatuan sepanjang jalan. Seperti memberinya semangat untuk maju. Menantang keangkuhan serdadu Belanda. Yang kini berada di perairan Teluk Bone. Siap memuntahkan peluru meriamnya.
89.Di Bawah Komando Petta Ponggawae. Kelompok Laskar dibagi dalam tiga arah. Kelompok PERTAMA menuju Ujung Pattiro. Kelompok KEDUA menuju Lona dan BajoE. Kelompok KETIGA menuju Ujung Pallette.
90.Sepanjang jalan yang dilaluinya. Menuju medan perang yang dahsyat. Para Laskar dengan semangat menyala. Terus melengkingkan Osong Pakkanna. ADA PASSOKKANG lagu perjuangan ONGKONA BONE.
91.Bagai lebah beterbangan di udara bebas. Membuatnya tak gentar, nyalinya tak ciut. Tombak dan kelewang diayun-ayunkan. Pedang dan keris pusaka dihunuskan. Meriam dan senapan ringan disiagakan.
92.Dari pantai Bajoe hingga Ujung Pallette. Dan di Ujung Pattiro bahagian selatan. Dipenuhi ribuan Laskar Kerajaan Bone. Mendengungkan OSONG PAKKANNA. Siap menghadapi pendaratan Belanda.
93.Sementara itu, di atas kapal H.M.Koningin Regentes. Panglima ekspedisi Belanda Van Loenen. Mengamati tempat yang layak untuk pendaratan. Lewat teropong pengintai dari atas kapal. Dari Ujung Pattiro ke Ujung Pallette.
94.Tanggal dua puluh satu bulan Juli Tahun Seribu Sembilan Ratus Lima. Kapal-kapal Belanda semakin mendekat. Suatu pertanda pendaratan akan dilakukan. Sekoci-sekocipun mulai diturunkan.
95.Pukul Enam Sore kurang sepuluh menit. Ketika matahari menukik ke peraduannya. Van Loenen dari kapal S.S.Van Riemsdijk. Mengeluarkan perintah pendaratan. Berarti perang terbuka mulai berkobar.
96.Dentuman meriam dan senapan ringan. Terdengar gemuruh memekakkan telinga. Dimuntahkan dari atas kapal ke arah pantai. Dibalas oleh Laskar Pemberani Kerajaan Bone. Dari pantai Bajoe, Lona, dan Tippulue.
97.Pertempuran sengit tak dapat dielakkan. Laskar Kerajaan Bone bertahan mati-matian. Mengadu kekuatan dan meregang nyawa. Sementara serangan Belanda semakin gencar. Mengarah ke Tippulue dan Kampung Lona.
98.Ponggawa Bone membakar semangat Laskarnya. Semboyan SIRI NAPESSE DALAM BINGKAI SUMANGE' TEALLARA' diteriakkan lantang. Disambut sorak-sorai para Laskar Passiuno. Semua maju menyongsong kedatangan Belanda.
99.Arena pertempuran mencekam dan menakutkan. Kilat-kilat peluru berhamburan di udara leluhur Bugis. Bola-bola api beterbangan silang-menyilang. Pemandangan yang langka bagi Rakyat Bone. Pantai Bajoe menjadi NERAKA mengerikan.
100.Jatuh tersungkur sejumlah Laskar Passiuno. Berguguran bagai kembang semerbak wangi. Cucuran darah merah terlihat di mana-mana. Menganak sungai di Bumi leluhur Bone. Pahlawan Tana Ugi mengukir sejarah dengan darah dan air mata.
101.Banyak Laskar tak sempat dibalut lukanya. Banyak juga tak sempat dikenal wajahnya. Tergeletak berlumuran darah di mana-mana. Tak ubahnya onggokan batang pisang. Di alur-alur sungai dan di tengah persawahan.
102.Udara pesisir Timur Tana Bone malam itu. Sungguh sangat mencekam memilukan. Muntahan peluru meriam adalah pandangan mengerikan. Bagai bintang ratnamutumanikam berguguran dari langit yang biru.
103.Gugurlah pahlawan-pahlawan Tana Ugi ialah DAENG MATTEPPO ARUNG BENGO dari Bone Barat, DAENG MASSERE' DULUNG AJANGNGALE dari Bone Utara. Begitu pula ARUNG SIGERI Keluarga Arungpone. Dan sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya.
104.Serangan serdadu Belanda semakin membabi buta. Laskar Kerajaan Bone mundur ke arah Barat. Petta Ponggawae tetap bertahan di Cellu. DAENG MAROLA ARUNG PONRE terkena peluru namun nafas masih ada. Diantar oleh sejumlah laskar menuju Saoraja.
105.Di tengah berkecamuknya pertempuran. Baso Pagilingi Petta Ponggawae mengirim pesan ke Saoraja. Agar Puatta Arungpone berpindah tempat. Dari saoraja ke Palakka yang lebih aman. Bersama Seluruh keluarga dan seisi Saoraja.
106.Menerima pesan dari Petta Ponggawae. Arungpone minta pandangan permaisuri. Juga kepada Arung Ponre Daeng Marola. Yang tiba di Saoraja dalam keadaan luka. Bertahan di Saoraja atau berpindah ke Palakka.
107.Kepada Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Arung Ponre dengan hormat melaporkan. Bahwa Laskar Bone tak dapat lagi membendung serangan Belanda. Persenjataan sangat tidak seimbang. Perlu pertimbangan untuk mundur selangkah untuk maju seribu kali.
108.Setelah bertukar pendapat dengan Permaisuri. Dan segenap keluarga Saoraja lainnya. Memperhitungkan baik dan buruknya. Prinsip berpindah tempat bukan berarti kalah. Namun sebagai langkah penyelamatan terhadap Arungpone.
109.Usungan disiapkan untuk Puatta Arungpone. Benda-benda Kerajaan dikemas oleh para Bissu pengawal Saoraja. Tombak dan bendera SamparajaE disiapkan. Tinggal menunggu perintah dari Arungpone.
110.Lapawawoi Karaeng Sigeri di atas usungan. Sejenak memandangi Puncak Saoraja. Bagai mengucapkan selamat tinggal istanaku. Bila Allah dan Nabi-Nya memberiku kekuatan. Akan aku kembali bernaung di bawah atapmu

PERBURUAN " AYAM JANTAN DARI TIMUR "

$
0
0
PERBURUAN " AYAM JANTAN DARI TIMUR "

Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE.
La Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah yang mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan. Karena pada waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
Ketika La Tenri Tatta To Unru baru berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa, Bone diserang dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe adalah sebuah kampung kecil yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan dan disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa.
Sesampainya di Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa. La Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru diambil oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan sebidang tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk ditempatinya.
Karena La Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu diikutkan oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta biasanya ditugasi untuk membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu (pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan, termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari tentang adat-istiadat Mangkasa (Gowa).
Setelah Karaeng Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrung inilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang Bone yang menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone untuk dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng.
Pembaringan Arung Palakka di Cempalagi
Pembaringan Arung Palakka di Cempalagi
Jumlah tersebut tidak bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun seseorang yang telah ditunjuk itu ada yang bisa menggantikannya atau mampu untuk membayarnya, namun oleh Karaeng Karunrung tidak membenarkannya.
Ketika orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi oleh seorang mandor dari orang Gowa sendiri. Mereka dipekerjakan mulai pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan istirahat pada waktu makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng Karunrung, tetapi harus dibawa sendiri dari Bone.
Adapun La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang anak bangsawan Gowa yang bernama I Mangkawani Daeng Talele.
Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan orang Bone disiksa oleh mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.
Suatu ketika, KaraengE ri Gowa akan memperingati Ulang Tahunnya, maka diadakanlah perburuan rusa di Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti perburuan tersebut. La Tenri Tatta Daeng Serang yang biasa membawakan tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh karena itu orang tuanya La Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa untuk membawakan tombaknya.
Sesampainya KaraengE ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang banyak baik sebagai pemburu atau sebagai penunggang kuda untuk menelusuri hutan-hutan mencari rusa. Kebetulan ada dua orang pekerja parit yang melarikan diri dan bersembunyi dihutan, karena disangkanya dirinya yang dikepung. Kedua orang tersebut ditangkap oleh pemburu dan dihadapkan kepada Karaeng Karunrung. Keduanya disiksa, dipukuli sampai meninggal dunia.
La Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga ia mengamuk dengan menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya. Setelah membunuh banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti layaknya pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.
Sejak kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan kembali semangat orang Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang Tobala dengan Datu Soppeng inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pincara LopiE ri Attapang.
Kepada pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan ini akan memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak pengorbanan.
Tidak berapa lama, datanglah orang Gowa dengan jumlah yang sangat besar lengkap dengan persenjataan perangnya mencari jejaknya.
Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru bersama pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta To Unu bersama pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang merasa kehilangan jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa betempur lagi melawan Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya Jennang Tobala Petta PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa. Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Tewasnya Tobala Arung Tanete Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin merasa perlu untuk mengangkat Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung Amali sebagai pengganti Tobala, sementara Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan di Gowa dan ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng.
Karena merasa selalu diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya semakin terjepit dan sulit untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu bersama Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk menyeberang ke Butung Tanah Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu nanti di Butung Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama melawan Gowa. Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai Cempalagi Ujung Pallette menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Beberapa saat saja setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun datang mencari jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya telah berada ditengah laut menuju ke Butung Tanah Uliyo. Dengan demikian orang Gowa segera kembali untuk menyampaikan kepada KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar kemungkinannya ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan kepada Raja Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Sesampainya di Tanah Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh Raja Butung dan diberinya tempat untuk istirahat dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata :
“Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat menuju ke Ambon dan Ternate”.
Pada saat La Tenri Tatta To Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah bernazar di gunung Cempalagi dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri Tatta To Unru bertekad tidak akan memotong rambutnya sebelum dirinya bersama seluruh pengikutnya kembali dengan selamat di Tanah Ugi. Sejak itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan digelarlah MalampeE Gemme’na.
KaraengE ri Gowa sudah mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama pengikutnya telah berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu disiapkanlah pasukan dengan jumlah besar yang diperlengkapi dengan senjata perang untuk menyerang Butung Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk menyerang Butung memang telah lama direncanakan, karena Butung selalu menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau akan berangkat ke Ambon dan Ternate.
Tidak lama kemudian utusan KaraengE ri Gowa datang ke Butung untuk mencari La Tenri Tatta bersama pengikutnya. Tetapi sebelum utusan itu naik kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya untuk bersembunyi disebuah sumur besar dan tidak berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau utusan KaraengE ri Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan seluruh pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”.
Karena pernyataan Raja Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya tidak berada diatas Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa memang tidak melihat adanya tanda bahwa orang yang dicarinya ada di tempat itu, maka utusan itupun pamit dan kembali ke Gowa.
KaraengE ri Gowa rupanya tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru dengan memperbanyak pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan untuk menyerang Butung sampai ke Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja bersama Karaeng Bonto Marannu untuk memimpin pasukan ke Tanah Uliyo. Menurut rencananya setelah Butung kalah, serangan akan dilanjutkan ke Ternate untuk menangkap Raja Ternate.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Atas perintah KaraengE ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu berlayar ke Butung membawa pasukan untuk menyerang Butung dan selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita tentang keberangkatan pasukan Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung telah sampai pula pada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone sebagai Palili (daerah bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas dari penjajahan Gowa.
Adapun maksud KaraengE ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk menduduki kembali Mangkau’ Bone, agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa sebagai lawan yang sedang bermusuhan dengan Kompeni Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng yang tadinya ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai tawanan, dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula sebagai Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng bukan lagi sebagai jajahan Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.
Kapal-kapal Kompeni Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis Speelman tiba di Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama dengan seluruh pengikutnya. Sesampainya di Butung, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka memperoleh informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa adalah Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri Tatta berkata kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan.
La Tenri Tatta memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan Luwu sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng Bonto Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham dengannya. Keduanya hanya disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang orang Bone.
Selanjuitnya La Tenri Tatta mengajak kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan kedarat guna menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada jalan yang bisa ditempuh dan tidak saling bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh Speelman dan diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu. Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, utusan itu menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis Speelman mengharapkan Datu Luwu bersama Karang Bonto Marannu turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk berbicara secara baik-baik.
Mendengar apa yang disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari pada baiknya jika kita saling bermusuhan sesama saudara. Kalau kita berdamai, hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi kalau kita bertahan untuk berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut diambil.
Setelah saling bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu yang mendapat persetujuan dari seluruh pasukannya, maka turunlah ke kapal Kompeni Belanda menemui La Tenri Tatta Arung Palakka dan Cornelis Speelman sebagai pimpinan pasukan Kompeni Belanda. Dari atas kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta Arung Bila menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu beserta beberapa pengikutnya.
Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu menyatakan bergabung dengan Arung Palakka, makanya keduanya minta perlindungan Kompeni Belanda. Untuk mengamankan keduanya dari KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti setelah perang selesai, barulah kembali ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke kapal untuk dibawa pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.
Sementara itu, berita tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La Tenri Bali ke Soppeng oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng didudukkan sebagai Palili (daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka mengirim utusan ke Bone dan Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap mengangkat senjata untuk melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.
La Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis Speelman dengan persenjatan yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri daerah-daerah pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak daerah pesisir yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan berpihak kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung Bila, Arung pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan semangat orang Bone dan orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.
Dengan demikian keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung. Kompeni Belanda dibawah komando Cornelis Speelman menghantam dari laut, sementara Arung Palakka dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat. Semua arung yang tadinya membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan, kecuali Wajo tetap membantu Gowa.
Karena merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21 November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan Gowa.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa.
Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ” Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah Palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
La Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan Puatta, tetapi saya tetap berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru dicarikan penggantinya, artinya nantilah Arumpone benar-benar sudah tidak ada baru diganti”.
Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang bernama La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi Kompeni Belanda hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus melalui La Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada Gubernur Jenderal di Betawi agar Arung Palakka diangkat menjadi Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.
Dalam tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung Palakka resmi menjadi Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670 M, karena Arung Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum mau mengalah pada saat diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin bahwa perang antara KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi perang Wajo dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk kembali ke Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul kemudian oleh Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik dari Bone, Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya Wajo kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.
Dalam peperangan yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan demikian datanglah utusan PillaE PatolaE minta untuk diadakan gencatan senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan Soppeng.
Permintaan itu dijawab oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu, sepakatlah orang Wajo untuk mengangkat La Palili To Malu menggantikan La Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo yang baru.
Arung Matowa Wajo inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng.
Pada tanggal 23 Sepetember 1670 Masehi La Palili To Malu naik ke Ujung Pandang untuk menanda tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam. Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar Arung Matowa Wajo La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE Bate Lompo ri Wajo.
Setelah selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik perempuannya yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi Maddanreng di Palakka. We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE Toangkone Arung Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah I Dasaleng Arung Ugi.
Lima bulan setelah perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan keramaian untuk melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu adalah sebagai berikut :
“ Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara (belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.
Pada saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya selama dalam perantauan dan nanti akan dipotong setelah kembali menegakkan kebesaran Bone. Maka setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun memotong rambutnya, kemudian mangosong (bernyanyi).
” Muaseggi Belo-belo, Weluwa Sampo GenoE, Mattipi Nattowa Wewe. Muaseggi Cule-cule Weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana ”
Ketika acara potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai, La Tenri Tatta To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor kerbau di lereng gunung Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam dengan belang dibagian ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh emas pada tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti kepala bangsawan Gowa dan bangsawan Mangkasar.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Pada tanggal 3 September 1672 Masehi We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka melahirkan anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La PakokoE Toangkone Arung Timurung.
Atas kelahiran La Patau Matanna Tikka, membuat La Tenri Tatta Arung Palakka sangat gembira. Karena menurut pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang tidak memiliki anak, menganggap bahwa anak dari adik perempuannya itulah yang menjadi anak pattola (putra mahkota) yang kelak bisa melanjutkan perjuangannya.
Setelah Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah anggota Adat Tujuh Bone yang didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar Kompeni Belanda untuk mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi Arumpone menggantikan pamannya.
Agar dapat memperoleh keturumnan La Tenri Tatta Arung Palakka kawin dengan We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh keturunan.
Adapun saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin dengan To Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya yang tua yang bernama We Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario Riwawo. Dia pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang kawin dengan La Mappajanji atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Risanga.
Melihat bahwa tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga) di Baruga TelluE Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk disaksikan oleh arung-arung yang pernah ditaklukkannya, termasuk pembesar-pembesar Kompeni Belanda.
Dalam kesempatan itu, Arumpone La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada semua yang hadir bahwa dirinya telah melepaskan nazar dan telah meletakkan samaja (sesaji) dan juga telah memotong rambutnya. Seluruh yang hadir pada pesta tersebut mendengarkan dengan baik tentang apa yang disampaikan Arung Palakka.
Berkata Arung Palakka ” Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah Passeyajingeng Tanah Bone, termasuk Passeyajingeng keturunan MappajungngE. Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan ”
Ia melanjutkan, ” Adapun kemanakanku yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng Palakka saya berikan akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang satu anak Datu Mario Riwawo, saya wariskan harta bendaku, kecuali yang masih ada pada isteriku I Mangkawani Daeng Talele “.
La Patau Matanna Tikka berkata, ” Saya telah mendengarkan pesan pamanku Petta To RisompaE Arung Palakka, bahwa saya diharapkan untuk menggantikannya kelak sebagai Mangkau’ di Bone. Namun saya sampaikan kepada orang banyak bahwa sebelum saya menggantikan Puatta selaku Arumpone, apakah merupakan kesepakatan orang banyak dan bersedia berjanji denganku? ” Seluruh anggota adat dan orang banyak berkata ; ” Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak “.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; ” Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa : pertama, Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku. Kedua, Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungngE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Seluruh orang banyak berkata ; ” Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng mutappalireng – muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu, di mana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan dan kesenangan).
La Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka sebelum memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka. Sesudah perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran Bone, melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo, semuanya dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri Tompo’ Tikka yang menguasai Tanah Toraja sampai di pegunungan Latimojong yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai daerah Passeyajingeng (daerah sahabat).
Oleh karena itu Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas dukungan Kompeni Belanda yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri Tatta To Unru lalu membuat payung emas dan payung perak di samping Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda diberinya selempang emas dan kalung emas sebagai tanda kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa baiknya menjalin kerja sama.
Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu Kerajaan Besar Bone, Gowa, dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia mengawali dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’ Tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We Ummung Datu Larompong.
We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M. Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng, Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, sebagai berikut : ” Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu “.
Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasara (Gowa) dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone menyaksikannya.
Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah sebagai berikut :
” Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa “. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah -Tenri pakkarung cera’E – Tenri Attolang RajengE (cera’ tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung). Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.
Ketika kemanakan Petta To RisompaE Arung Palakka yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa), diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone. Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak sesudah memotong rambutnya. Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.
Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng Bone, seperti TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu, TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda. Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana.
Petta To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu, ” Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu Luwu “.
Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh TellumpoccoE.
Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung.
We Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu We Tenri Leleang, inilah yang menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Makassar. Tahun 1696 Masehi ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala Gowa. Maka berakhir pula kisah perjuangan Sang Ayam jantan dari Timur.

TUMPUKAN GELAR YANG DISANDANG LA TENRI TATTA ARUNG PALAKKA

$
0
0
LA TENRI TATTA lahir di Lamatta, Mario ri Wawo, Soppeng, 15 September 1634 dan meninggal di Bontoala, 6 April 1696 pada umur 61 tahun. Gelarnya yang paling dikenal adalah ARUNG PALAKKA. Gelar ini kesohor ketika ia menjadi raja Palakka dan membebaskan rakyat Bone dan Soppeng dari cengkeraman Gowa.
LA TENRI TATTA adalah anak dari WE TENRI SUI DATU MARIO RIWAWO dengan suaminya yang bernama LA POTTOBUNE ARUNG TANA TENGNGA DATU LOMPULLE. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke Lebae ri Mario Riwawo dengan suaminya raja Bone ke-11 La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.
LA TENRI TATTA adalah sosok pribadi yang memiliki sifat peri kemanusiaan dan sosial yang tinggi. Jangankan harta benda, nyawapun diberikan siapapun membutuhkan bantuan. Karena itu, Latenri Tatta memiliki nama dan gelar cukup banyak, berbagai penghargaan yang diberikan dari kerajaan lain baik berupa benda maupun nama gelar sehingga bila ingin disebut semuanya bisa menjadi barisan kalimat nama yang panjang.
Kata Arung Palakka hanyalah sebuah gelar, untuk mengetahui siapakah nama sesungguhnya sang pembebas itu ?
Berikut daftar nama-namanya :
Arung Palakka adalah tokoh sentral yang mengubah jalannya percaturan kekuasaan di jazirah Selatan pulau Selebes pada Abad XVII. Dalam banyak buku tentang ketokohan dan perjuangannya, seringkali membuat pembaca, khususnya peminat Sejarah Sulawesi Selatan menjadi bingung karena banyaknya nama yang dilekatkan pada diri Arung Palakka. Berikut ini penjelasan satu persatu mengenai nama-namanya.
1.LA TENRI TATTA TOAPPATUNRU, adalah nama kecil dan nama remaja Arung Palakka. Kata depan “LA” pada depan namanya tersebut menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah (Laki - laki). Kata “TENRI” itu artinya Tidak, sedang TATTA bermakna kemauan keras tidak bisa dilarang. TOAPPATUNRU artinya adalah orang yang menundukkan. (TO = orang, APPATUNRU = yang menundukkan). Jadi, LA TENRI TATTA TOAPPATUNRU itu artinya Laki-laki yang tidak dapat dibatasi kemauannya tidak dapat ditundukkan.
2.DAENG SERANG adalah nama Arung Palakka saat berada di Makassar di mana waktu itu Bone dijajah oleh Gowa, Arung Palakka dan keluarganya dipekerjakan di rumah bangsawan tinggi Gowa sedang Orang Bugis Bone dan Soppeng lainnya menderita kerja paksa membangun benteng Makassar. Arung Palakka pun juga merasakan kerja paksa bersama rakyatnya tersebut).
3.DATU MARIORIWAWO, artinya Raja di Marioriwawo. Marioriwawo adalah kerajaan yang ada di Soppeng. Kerajaan ini adalah warisan dari ibunya, We Tenrisui Datu Mario Riwawo.
4.ARUNG PALAKKA, artinya Raja di Palakka. Palakka adalah salah satu kerajaan yang ada dalam wilayah Bone. Kerajaan Palakka adalah warisan dari kakeknya, La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng (Raja Bone Ke-11). Menurut tradisi Kerajaan Bone bahwa, Yang berhak menjadi Raja di Palakka, berhak pula menjadi Raja di Bone (Arung Mangkaue’ ri Bone), namun tidak semua Raja Bone pernah menjadi Raja di Palakka.
5.PETTA MALAMPE-E GEMME'NA, artinya Raja yang berambut panjang. Nama ini terkait dengan sumpahnya bahwa Arung Palakka tidak akan memotong rambutnya jika belum berhasil membebaskan rakyatnya dari penjajahan Gowa. Petta itu sapaan atau sebutan untuk bangsawan Bugis, Malampe-e = panjang, Gemme'na = panjang rambutnya). Rambut Arung Palakka tersebut terus menyertai masa perjuangannya (1660 - 1667) dan nantilah dipotong setelah perjuangannya dianggapnya telah berhasil.
6.ARUNG UGI, artinya Raja Bugis, Kompeni Belanda menyebutnya Koningh der Bougis. Gelar ini melekat pada Arung Palakka setelah membebaskan negerinya dari cenkeraman kekuasaan Gowa dan menjadi Penguasa atasan Raja tertinggi semua negeri / kerajan Bugis. Ugi artinya Bugis.
7.PETTA TORISOMPAE, artinya Raja yang disembah. Gelar ini melekat pada Arung Palakka sebagai sebuah sebutan dari rakyatnya karena begitu diagungkannya sosoknya sebagai Pahlawan dan Raja yang berjasa menaklukkan kerajaan Gowa.
8.SULTAN SAADUDDIN, adalah nama atau gelar Islam untuk Arung Palakka
9.MATINROE RI BONTOALA, artinya yang meninggal di Bontoala, istananya di Makassar.
10. LA TENRI TATTA PAHLAWAN KEMANUSIAAN, adalah gelar yang diberikan kepada LA TENRI TATTA pada tahun 1990 pada masa pemerintahan Bupati Bone ke-13 Andi Syamsoel Alam (1988-1993). Namun sebelumnya telah dirintis oleh Bupati Bone ke-12 Andi Syamsu Alam (1983-1988). Andi Syamsoel Alam memiliki kepribadian yang menonjol senantiasa menjunjung tinggi sejarah dan budaya. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Bupati Bone ke-13 Andi Syamsoel Alam (1988-1993). Beliau juga dikenal memiliki kedisiplinan yang cukup tinggi, namun tidak melupakan apa yang telah dirintis pendahulunya. Memang NAMA kedua BUPATI BONE ini hampir sama namun berbeda, ANDI SYAMSU ALAM dan ANDI SYAMSOEL ALAM .
Sebenarnya masih ada lagi beberapa nama yang melekat pada diri Arung Palakka, Raja Bone XV ini, seperti Datu Pattiro, Datu Lamuru, dan lain sebagainya tapi tidaklah terlalu populer dan yang umum disebut adalah nama-nama di atas.

BUGIS RAMPAI “ PASENG TORIOLO” SETUMPUK NILAI

$
0
0
BUGIS RAMPAI “ PASENG TORIOLO” SETUMPUK NILAI

ENGNGERANGNGI DUWAE, ALLUPAI DUWAE, YANARITU:
1.Engngerangngi pappedecenna tau laingnge lao rialemu
2.Engngerangngi pappeja’mu lao ripadammu rupa tau.
3.Alupaiwi pappeja’na padammu tau lao rialemu
4.Alupaiwi pappedecemmu lao ripadammu rupa tau.
Terjemahan :
INGAT DUA HAL, LUPAKAN DUA HAL, YAITU :
1.Ingatlah kebaikan orang lain terhadap dirimu
2.Ingat juga keburukan dirimu terhadap orang lain.
3.Lupakan kebaikan kamu terhadap orang lain
4.Lupakan keburukan orang lain terhadap dirimu.
EPPAI PASALEWANGENGNGI SEDDIE TAU, IYANARITU :
1.Teppalaloengngi ada-ada masala naewae situdangeng.
2.Teppaliwengengngi gau’ sitinajae.
3. Moloiwi roppo-roppo narewe’ paimeng.
4. Molaiwi laleng namatike’
Terjemahan :
ADA EMPAT HAL YANG MEMBUAT ORANG SELAMAT, YAITU :
1.Tidak menyinggung dengan kata-kata sesamanya yang duduk.
2.Tidak melampaui batas kewajaran
3.Menemui jalan buntu, dia kembali
4. Melewati sebuah jalan, dia hati-hati.
EPPAI AWANGENNA PARAMATA MATTAPPAE, IYANARITU :
Massedddinna : Seuwwani teppe’e
Maduanna : issengnge
Matellunna : gau pattuju’e
Maeppanna : siri-e
Terjemahan :
ADA EMPAT PERMATA YANG MEMANCARKAN CAHAYA, YAITU :
Pertama : iman dan takwa
Kedua : pengetahuan
Ketiga : perbuatan baik
Keempat: harga diri
CEKO RIALA SANRESENG, PAJANENG TEMMALAMPE, RIALA PAKKAWARU
LEMPU RIALA SANRESENG, PAJANENG MASUMANGE, MADECENG LAONA
Terjemahan :
Jika sifat curang dijadikan sandaran, tentu takkan mungkin lestari Untuk dijadikan pengharapan
Jika kejujuran dijadikan sandaran, tentu akan menjadi sesuatu yang indah, segala sesuatunya akan baik
UWAPPASENGENGNGI MAKKATENNING RILIMAE AKKATENNINGENG, IYANARITU :
Mammulanna, ada tongengngé,
Maduana, lempu-é,
Matellunna, gettengngé,
Maeppana, sipakatau-é,
Malimanna, mappesonaé ri pawinru séuwaé,
Terjemahan :
AKU MEMESANKAN BERPEGANG PADA LIMA PEGANGAN, YAITU :
Pertama, perkataan yang benar,
Kedua, kejujuran,
Ketiga, keteguhan pada keyakinan,
Keempat, saling menghargai sesama manusia,
Kelima, berserah diri kepada pencipta yang tunggal.
PADDIOLOI NIA’ MADECENG RITEMMADDUPPANA SININNA GAU’E.
Terjemahan :
Dahuluilah dengan niat yang baik sebelum terlaksananya semua perbuatan.
AJA’ MUMATELLENG POADANGNGI HARASIA MAKKUNRAIMMU
AJA’ MUMATELLENG SANRE RI TOSUGI MAMMULA MENRE’-E
AKKALITUTUIWI MAJJOA RI ARUNG MALOLOE
AJA MUTONANGI LOPI WATI SIWALIE
Terjemahan :
Hati-hati jika membuka rahasia pada isterimu
Hati-hatilah jika bersahabat dengan orang kaya baru.
Hati-hatilah mengikutI pemimpin yang masih muda.
Jangan menumpang perahu yang hanya memiliki pengapung sebelah.
LIMA RUPPANNA MAPPASALA NAWA-NAWA, IYANARITU :
1. Masero cinnae
2. Nabette’ rennu
3. Nalipe’e tau
4. Nawasue bacci
5. Maraja teyae.
Terjemahan :
LIMA MACAM YANG MEMBUAT TIDAK SESUAI PENGHARAPAN, YAITU :
1. Terlalu mau
2. Terlalu gembira
3. Terlalu takut
4. Terlalu marah
5. Terlalu tidak mau.
TANRANNA TAU SULESANA-E, IYANARITU :
1.Mola-i ada naparapi,
2.Duppa-i ada napasau,
3.Matu ada natuttu kenna,
4.Taro-i gau’ nariakkuanna-e’.
Terjemahan :
CIRI ORANG BIJAKSANA, YAITU :
1.Mampu mengikuti pembicaraan,
2.Dalam menyambut pembicaraan ia membalasnya dan mengalahkannya,
3.Menyusun pembicaraan dengan teratur dan terarah,
4.Melakukan perbuatan yang sepatutnya.
1. Aja’ mucellai pojinna tauwwe
2. Aja’ murekengngi appunnanna tauwwe…
3. Poadai anu sitinaja weddingnge napurio tauwwe…
4. Pogau’i gau’ sitinaja weddingnge napudeceng tauwwe…
5. Ingngerrangngi pappedecengna tauwwe lao ri idi’…
6. Ingngerrangngi asalammu lao ri tauwwe
7. Allupaiwi pappedecengmu lao ri tauwwe
8. Allupaiwi asalangna tauwwe lao ri idi’
Terjemahan :
1.Jangan mencela kesukaan orang
2. Jangan menghitung milik orang lain
3. Katakan sewajarnya yang membuat orang senang
4. Lakukan sewajarnya yang bisa memperbaiki orang
5. Ingatlah kebaikan orang terhadap diri kita
6. Ingatlah kesalahanmu kepada orang lain
7. Lupakan kebaikanmu kepada orang lain
8. Lupakan kesalahan orang terhadap diri kita
DUAMI PASSALENG NASSABARI NASISALA RUPA TAUWWE RI LALENNA LINO, IYANARITU :
1.Anu temmanessae sibawa
2.Anu tenripahangnge”
Terjemahan :
HANYA DUA HAL PENYEBAB PERSELISIHAN ANTAR SESAMA MANUSIA DI DUNIA , YAITU :
1. Hal yang tidak jelas dan
2.Hal yang tidak dipahami
LELE BULU TELLELE ABIASANG, NAEKIYYA LELE MUA ABIASANGENGNGE NAREKKO ABIASANG TOPA PALELEI
Terjemahan :
Gunung dapat berpindah tapi kebiasaan tidak dapat berpindah, namun kebiasaan dapat berpindah jika kebiasaan pula yang memindahkannya
(SUMANGE' TEALLARA' )

BUGIS RAMPAI ^ BACA BACA TORIOLO ^

$
0
0
BUGIS RAMPAI ^ BACA BACA TORIOLO ^

UNGKAPAN YANG SERING DIUCAPKAN LELUHUR BUGIS MANAKALA TERJADI HUJAN LEBAT DISERTAI ANGIN RIBUT ...
E ... KOLLA KOLLANG, RI AWAKKO LABE, RI ATTAKKO LALO, RIAJAKO LESSE, RIALAUKO LUTTU,
NAKULESSE RI TENGNGA, NA DE TOSIDUPPA MATA, RIENGKAMU MACCINGARA.
HAI, MARABAHAYA, DI UTARA ENGKAU LEWAT, DI SELATAN ENGKAU MELINTAS, DI BARAT ENGKAU MENGHINDAR, DI TIMUR ENGKAU TERBANG,
BIAR AKU MENGHINDAR DI TENGAH, SUPAYA KITA TIDAK BERTATAP MATA, KARENA ENGKAU SEDANG MARAH BESAR.

BUGIS RAMPAI : " CARA ORANG BUGIS BERTERIMA KASIH "

$
0
0
 " CARA ORANG BUGIS BERTERIMA KASIH "

Dari pengalaman saya sebagai orang Bugis selama bertahun tahun tingga di pedalaman Bugis Bone. Sering saya mendengar ungkapan simbolik seperti ini, UPARIWAKKANG PABBERETA, UPORENNU PABBERETA, KURU' SUMANGE, KURU' SUNGE, TARIMA KASI^.
Hubungan bertetangga dan komunikasi sosial dikalangan Bugis sudah berlangsung ratusan tahun silam.
Begitu eratnya hubungan sosial ini yang sering didahului dengan peristiwa pemberian materi Pesan pesan. nasihat, berupa bantuan tenaga dan pemikiran, ketika pertemuan dan perpisahan pada acara tertentu dan lain sebagainya.
Dalam hubungan bertetangga di kalangan bugis tidak lepas dari ungkapan leluhurnya REKKO CEMMEKI EPPI' EPPI' MATOI MENNANG BALI BOLAMU, SABA MAUNITU PAU PAU RIPORENNU MONI (Jika engkau sedang mandi percikkan juga dengan tetanggamu, walau hanya ucapan kata juga menggembirakan dan menyenangkan). Maksud ungkapan tersebut adalah apabila kita sedang ada rejeki berlebih ingat juga tetanggamu, sebab meskipun hanya ucapan akan merasa senang juga.
Apabila merujuk dari ungkapan leluhur Bugis tersebut di atas, maka ucapan terima kasih tidak sekadar bersifat kebendaan/material melainkan juga berupa tenaga dan pikiran.
Contoh prilaku rasa terima kasih berupa material yang sering kita jumpai pada waktu lebaran atau acara syukuran lainnya seperti LECCE BOLA (pindah rumah) mereka saling memberi (SIPONCING) entah berupa ketupat, buras, sokko atau ketan dan lainnya tergantung jenis makanan yang ada pada acara tersebut.
Sifat kegotongroyongan dikalangan Bugis juga dapat melahirkan ungkapan terima kasih misalnya ketika pada waktu turun sawah. Mereka saling bantu satu sama lain yang sering disebut MAPPARELE, MAPPATTANENG dan sejenisnya. Setelah selesai maka pihak yang dibantu sering menyatakan rasa terima kasih dengan ungkapan UPORENNU PATTULUTTA IDI MANENG. TARIMA KASI.
Ungkapan TARIMA KASI juga sering kita dengar pada waktu seseorang meluangkan waktunya menghadiri undangan tertentu misalnya pesta perkawinan dan acara lainnya.
Demikian halnya TARIMA KASI sering kita dengar pada waktu seseorang telah mendapatkan pesan, petunjuk, atau wejangan wejangan yang bermamfaat dan berguna IYYE TARIMA KASI PUANG. Kata PUANG dalam konteks ini adalah simbol penghargaan dan rasa terima kasih yang diberikan kepada orang sipemberi nasihat dari yang diberi nasihat.
Ungkapan KURU^ SUMANGE merupakan simbol pernyataan terima kasih orang tua kepada anak yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. KURU SUMANGE^MU ANA^
Demikian juga KURU SUNGE^MU ANA^ adalah ungkapan yang dilontarkan orang tua kepada anaknya yang sedang atau sembuh dari penyakit atau selamat dari marabahaya. Ungkapan ini sesungguhnya pernyataan rasa syukur kepada PENCIPTA.
Seperti diketahui, bahwa kehadiran sebuah kata dalam kosa kata suatu etnis, merupakan akumulasi gagasan yang kompleks. Sebelum gagasan kompleks tersebut menemukan 'PATRON/CANGKANGNYA, dalam bentuk kata, benih kata itu diekspresikan dalam berbagai tindakan mulai dari individual sampai kepada berbagai bentuk ritual lainnya.
Perjalanan menjadi 'kata' itu, kadang selesai, kadang tidak. Kalau selesai, maka jadilah sebuah kata, yang dipahami dan diterima oleh kelompok pemakai bahasa tersebut sebagai PATRON/CANGKANG
Patron/cangkang bagi rangkaian perjalanan itu tidak selesai. Dapat diasumsikan perjalanan yang tidak selesai itu dapat terjadi karena alasan alasan tertentu misalnya antara lain :
1. Karena eskpresi bahasa yang ada sudah memadai. Artinya, belum terasa mendesak, untuk mewakilkan rangkaian perilaku, gestur, ke dalam sebuah kata. Gestur adalah suatu bentuk komunikasi non-verbal dengan aksi tubuh yang terlihat mengomunikasikan pesan-pesan tertentu, baik sebagai pengganti wicara atau bersamaan dan paralel dengan kata-kata. Gestur mengikutkan pergerakan dari tangan, wajah, atau bagian lain dari tubuh.
2. Karena terjadi pertemuan dan pengaruh serta pengadopsian dengan bahasa lain, yang telah lebih dulu menyelesaikan perjalanan 'menjadi kata' itu. Ketika oleh para pendukung bahasa tertentu, 'disepakati' bahwa serapan itu secara paralel mewakili gagasan original yang tumbuh di tengah masyarakat dalam wujud non-verbal, maka jadilah ia bagian dari kosa kata pendukung bahasa tertentu misalnya TERIMA KASIH menjadi TARIMA KASI^ (serapan dari bahasa Indonesia).
Bugis bukannya etnis yang tidak punya kata terima kasih. Bukan pula etnis yang tidak tahu berterima kasih. Buktinya ungkapan ungkapan seperti yang sudah dijelaskan di atas masih sering kita dengar dalam keseharian khususnya masyarakat pedalaman Tanah Bone. Jadi hanya tidak muncul dipermukaan akibat pengaruh bahasa dari luar .
Kata" TERIMA KASIH rupanya sudah menjadi BAHASA SERAPAN dikalangan Bugis menjadi TARIMA KASI^ (dalam bahasa Bugis murni UPORENNU PABBERETA yaitu ungkapan rasa senang atas pemberian itu). Namun sebaliknya, Bukankah GANTOLLE sudah menjadi bahasa dunia padahal itu bagian kosakata Bugis?.
Karena sebuah kata telah "ditemukan", lambat-laun semakin menepilah tindakan yang sebelumnya digunakan sebagai cara, untuk mengekspresikan rasa penghargaan. Kata itu dapat tersingkir karena pengaruh bahasa luar yang dianggap lebih mudah diucapkan.
Oleh Mursalim

BONE RAMPAI : NILAI-NILAI DI BALIK “ KONSEP MATTULU TELLUE "

$
0
0
NILAI-NILAI DI BALIK “ KONSEP MATTULU TELLUE "

Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki ciri khas yang menjadi JATIDIRI mereka. Dalam mempertahankan jati dirinya tersebut, mereka senantiasa berupaya mencari cara sedemikian rupa demi untuk mempertahankan eksistensi kelompok atau sukunya. Mereka berusaha menciptakan suatu tatanan prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam segala tindakan baik bersifat pribadi maupun kelompoknya.
Dengan tujuan, agar apa yang diharapkan dalam tindakannya dapat mendapatkan hasil yang diharapkan dan mendapat apresiasi baik dalam kelompok sukunya sendiri maupun di luar kelompok suku bangsanya. Mereka meyakini, bahwa dengan memiliki prinsip sebgai pegangan maka segala yang kita lakukan tidak akan kesasar dan mengambang, disamping prinsip itulah yang jadikan sebagai alat motivasi dalam melakoni hidup disegala bidang
Demikian pula orang Bugis sejak dahulu kala telah memiliki prinsip-prinsip hidup yang dijadikan sebagai perisai dalam menjaga keberlangsungan norma-norma adab yang dimilikinya. Perisai yang dimaksud adalah prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai Motto dalam melindungi norma-norma adat-istiadatnya sebagai pegangan hidup dalam menjalankan segala aktivitasnya.
Pada masa pemerintahan Arung Palakka disebutkan: “ RIWETTU PUATTA PETTA MALEMPE-E GEMME’NA PAOPPANG PALENGENGNGI TANA BONE PADA TOHA KETENG TEPU SEPULO LIMA OMPONA ( Sewaktu raja Bone Petta Malampe-E Gemme’na berkuasa, maka tanah Bone pada waktu itu seumpama bulan, cerah bagaikan bulan purnama yang terbit sempurna kelima belas”.
Lalu masihkah hari ini, para genarasi (Ana' Rimunrie/Ana’ Pattola) menampakkan taring kebesaran itu? Adakah kegairahan untuk belajar pada masa silam ? Bukankah potret sejarah masa depan adalah bertaut dengan rangkaian sejarah masa lalu dan apa yang kita gurat pada jejak masa kekinian?
Berbicara tentang Bugis juga selalu identik dengan Bone. Peradaban Bugis pada masa silam adalah peradaban besar dan gemilang yang memiliki daya tarik tersendiri bahkan seorang penulis asal Prancis: Christian Pelras rela menghabiskan 2/3 umurnya hanya untuk meneliti kebudayaan Bugis dan mengasilkan buku 'The Bugis', yang diperoleh dari hasil penelitian dan penelusuran dokumen yang berlangsung selama 40 tahun (1950-1990).
Memang fenomenal, seorang manusia Prancis, rela terjun selama puluhan tahun hanya untuk meneliti kebudayaan orang lain. Sesuatu yang jarang dijumpai di Indonesia, lebih-lebih di kalangan peneliti lokal sendiri.
Dari asumsi tersebut, terselip harapan untuk kembali melestarikan spirit KEBUGISAN kita. Karena di sana ada kearifan hidup, ada spirit keberanian dan ketangguhan melawan hidup. Nenek moyang di masa lalu telah menawarkan spirit ketangguhan dan keberanian hidup. Mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan dalam mengarungi hidup. Bukankah kearifan itu masih tersisa dalam jejak yang ditinggalnya dalam sastra petuah PAPPASENG ?
Nah, masih adakah jiwa dan semangat ke TO-BONE-AN hari ini, ketika generasi PATTOLA tidak lagi mengenal spirit kearifan hidup leluhur yang tercatat dalam sastra Pappaseng? Masih adakah Bugis Bone hari ini ketika generasi muda mulai tak fasih lagi bertutur bahasa Bugis dalam kesehariannya? Tidakkah hari ini generasi mulai malu menggunakan bahasanya sendiri karena merasa tidak sesuai dengan trend? Benarkah generasi sekarang ini … Aduh, tak mampu lagi menulisnya di sini melihat fenomena yang ada.
Coba bayangkan, Christian Pelras saja yang bukan orang Bugis tapi mampu bertutur bahasa Bugis dengan fasih pada waktu memberikan ceramah umum tentang Manusia Bugis (26/09/2006). Mungkian suatu saat ketika para generasi ingin belajar bertutur Bugis dan belajar tentang Bugis kita harus belajar di negeri Eropa sana ?. He….he….. Ironis sekali.
Bugis mungkin suatu hari nanti hanyalah sebuah predikat yang malas kita sandang. Bukankah generasi kini lebih tahu tentang Putri Diana, lebih menguasai riwayat hidup Ronaldo dibandingkan riwayat Arung Palakka, Kajao Lalliddong atau leluhur lainnya? Arus modernisasi dan neo-liberalisme begitu kuat mencengkram generasi Bugis masa kini.
Ketika melihat fenomena budaya yang berkembang di masyarakat Bone khususnya dikalangan generasi muda. Ada beberapa pertanyaan sederhana yang sebenarnya mengandung makna keprihatinan atas fenomena tersebut. Berapa banyak anak muda Bone yang bisa bercerita lengkap tentang sejarah Bone? Sejauh mana anak muda Bone tahu tentang tokoh-tokoh di balik kebesaran kerajaan Bone?
Berapa banyak anak muda Bone yang bisa menulis dan membaca AKASARA LONTARA dengan baik? Berapa banyak anak muda Bone yang bisa berbahasa Bugis dengan bahasa yang halus? Berapa banyak anak muda yang hafal dan mengamalkan pesan-pesan leluhur (Pappaseng To Riolo)?
Apakah perilaku generasi Bone saat ini telah mencerminkan sikap-sikap (Mappakkeade’) seperti yang dulu dimiliki para pendahulunya? Dan masihkan ikatan emosional RIASSIBONEI terjalin dengan harmonis antara sesama warga Bone di dalam dan luar daerah?
Kami tidak ingin memberikan jawaban dan penilaian dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Yang jelas dengan menumbuhkembangkankan jiwa dan semangat ke To Bone-an, sangatlah urgen dan strategis untuk dilakukan. Karena diakui atau tidak, saat ini masyarakat dunia termasuk masyarakat Bone hidup dalam kecenderungan yang bersifat global.
Pergeseran nilai budaya yang semakin tajam, kecilnya dunia berkat sistem komunikasi dan transformasi yang semakin canggih telah memberikan makna kehidupan manusia ke arah yang lebih maju dan modern.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, bukan hal yang mustahil semangat dan budaya kedaerahan (ke-to Bone-an) akan semakin terkikis atau mungkin hilang dari sanubari masyarakat Bone, terkhusus di kalangan generasi muda (ana ri munri) yang memang jarang tersentuh dengan gagasan–gagasan , kegiatan-kegiatan (aktivitas) dan penelusuran peninggalan sejarahnya.
Sejatinya, Bugis Bone (Wija To Bone) tidak sekadar mengaku dan diakui sebagai orang Bone lantaran lahir di Tana Bone. Akan tetapi, lebih jauh mereka seharusnya memahami sejarah lelulur, serta memahami kebudayaan Bone dan mengimplementasikannya nilai-nilai spirit kearifan hidup, spirit keberanian, dan ketangguhan menjalani hidup. Berpegang pada Pesan Leluhur, yakni : MAKKATENNI RI LIMAE PASSALENG, IYANARITU :
1. Riada TongengngE;
2. RilempuE;
3. Rigettengng-E.
4. SipakatauE,
5.Mappesonae ri Dewata SewwaE.
Mari kita memasuki substansi pembicaraan. MATTULU TELLUE berasal dari kata “SITULU TELLU” dalam bahasa Bugis berarti SALING BERTAUT TIGA yang disimbolkan sebagai tali. Kemudian melahirkan kata MATTULU TELLUE (Mabbulo Sipeppa’) yang artinya sesuatu atau tali yang bertaut tiga yang dijadikan sebagai simbol kesatuan, keutuhan dan kekuatan.
Dalam bahasa Makassar disebut MABBULO SIBATANG, yakni tiga batang dijadikan menjadi satu. Dengan menggabungkan tiga buah batang menjadi satu kesatuan dapat membentuk sebuah kekuatan.
Baik Mattulu Tellue ataupun Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang merupakan sesuatu yang abstrak namun di dalamnya sarat dengan makna simbolis dalam kesatuan yang dijadikan sebagai motivasi dalam semangat hidup.
Dikalangan Bugis Bone, Konsep MATTULU TELLUE sudah digunakan dimasa pemerintahan raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge (1568-1584) . Konsep ini dipopulerkan oleh sang diplomat ulung dari Tanah Bone Kajao Lalliddong. Beliau banyak menciptakan dan melahirkan konsep-konsep kepemimpinan sebagai norma-norma adab yang dijadikan sebagai anutan oleh raja dalam menjalankan roda pemerintahannya. Seperti berikut ini ;
1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;
3. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
4. Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Dalam menjaga eksistensi norma-norma adab di atas mereka membangun sebuah prinsip yang dijadikan sebagai perisai yakni MATTULU TELLUE antara lain :
1. SIATTINGLIMA, yang artinya bergandengan tangan. Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2. SITONRAOLA, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat. Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3. TESSIBELEANG, yang artinya tidak saling menghianati. Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka siapapun harus menaatinya.
Pada hakikatnya jauh sebelum pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge nilai-nilai semangat MATTULU TELLUE telah ada pada masa pemerintahan Raja Bone ke-1 Manurungnge ri Matajang dalam menyatukan rakyat Bone pada masa itu namun kata Siattinglima, Sitonraola, Tessibelleang dipopulerkan oleh Kajao Lalliddong
Dimasa pemerintahan raja Bone Ke-15 Arung Palakka (1667–1696) beliau juga melahirkan konsep kebersamaan dengan semangat kebugisan, yaitu : MALILU SIPAKAINGE’, MALI SIPARAPPE’, REBBA SIPATOKKONG (Terlupa saling mengingatkan, Rubuh saling menegakkan, Terlupa saling ingatkan). Namun yang paling popular adalah TELLABU ESSOE RI TENGNGA BITARAE (Takkan Tenggelam Matahari di Tengah Langit).
Pada artikel sebelumnya, dijelaskan tentang “Amporo atau Makkamporo” atau “Aja’ Muakkamporo” yaitu telur yang gagal menetas. Maksudnya apabila kita menghadapi atau melakukan suatu pekerjaan janganlah berhenti di tengah jalan. Hal ini setara dengan “ Kambacu” Aja’ Muakkambacu” . Dalam bahasa Bugis Kambacu adalah biji jagung yang digoreng namun gagal menjadi berti atau mekar. Konsep inilah juga yang dijadikan Arung Palakka sebagai penyemangat dalam membebaskan rakyat Bone yang dijadikan sebagai pekerja rodi oleh Gowa pada masa itu.
Kosakata Bugis memang banyak memiliki nilai dan makna yang sama meskipun dengan ungkapan yang berbeda seperti ungkapan-ungkapan di atas. Dari sekian banyak itu semua terangkum dalam satu kesatuan dalam motto SUMANGE’ TEALLARA’ (teguh dalam keyakinan kukuh dalam kebersamaan). Kita berharapa nilai-nilai SUMANGE’ TEALLARA’ dapat menjadi tameng dalam mempertahankan kehebatan semangat Mattulu Tellue secara berkesinambungan di Tana Bone.
Kebesaran Bone di masa lalu adalah spirit kehidupan, gerak kualitas peradaban, namun ia baru berarti ketika filosofi agungnya sebagai pondasi dasar dan tetap utuh dianut serta dipegang teguh oleh Pattolana (generasinya)
Ketika kita kembali meneropong masa Ialu, menguak tabir jejak-jejak sejarah gemilang moyang kita, sejatinya dijadikan sebagai bahan renungan kita semua. Hal ini bukan berarti untuk mengevaluasi apa lagi untuk memberikan penilaian, akan tetapi semata-mata berniat sebagai GELITIK LUHUR dan BAHAN RENUNGAN bagi kita semua akan pentingnya munumbuhkan kembali jiwa dan semangat ke To-Bone-an, yaitu : ”Mattulu Tellue/Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang, yakni : Malilu Sipakainge, Mali Siparappe,Rebba,Sipatokkong”
SEBAGAIMANA PESAN MOYANG KITA:
“Seratu’ Ada Seddi Gau’, Gau’E Mappattentu., Ininnawa Mappabati Sadda, Sadda Mappabati Ada., Ada Mappabati Gau.,Gau Mappabati Tau., Tau Sipakatau Sipakalebbi.
Mappoada Mappaddupa Gau, Sitonrai Lilae na Batela-E, Nasaba Engka Siri’ta Nennia Pesseta “siri mi rionroang ri lino naiyya Siri-E Nyawa nakira-kira nenniya Sunge’ Naranreng”, Nassibawai Wawang ati macinnong, lempu, getteng, ada tongeng, temmapasilaengeng, warani, amaccangeng, reso, tenricau tenribali, Makkatenni Masse ri Panngaderengnge na Mappesona ri Dewata SewwaE “Mette’ Tenribali, Massadda Tenri Sumpala”
Akhirnya jika disimpulkan, bahwa Konsep Mattulu Tellue dimasa Pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Siattinglima, yang artinya bergandengan tangan.
Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2. Sitonraola, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat
Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3. Tessibelleang, yang artinya tidak saling menghianati
Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka siapapun harus menaatinya.
Selanjutnya, Konsep Mattulu Tellue dimasa Pemerintahan Raja Bone ke-15 Latenri Tata Arung Palakka dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Malilu Sipakainge
2. Mali Siparappe
3. Rebba Sipatokkong
(artinya : " Terlupa Saling Mengingatkan, Hanyut Saling Berdampar, Rubuh Saling Menegakkan). Kata kunci konsep di atas adalah “Tellabu Essoe Ri Tengnga Bitarae”
Semua ungkapan heroik di atas termasuk Konsep-konsep Mattulu Tellue terangkum dalam nilai-nilai SUMANGE’ TEALLARA’ yang berfungsi sebagai PENYEMANGAT ibarat MEMBAKAR API serta sebagai PERISAI/TAMENG dalam menjaga dan mempertahankan seluruh KEHEBATAN EKSISTENSI MASA LALU, KINI, DAN MASA AKAN DATANG. KEHEBATAN PATTOLA MASA KINI ADALAH TETESAN DARAH DAN AIR MATA PARA PENDAHULU
Oleh : Mursalim

BONE RAMPAI : PUISI BUGIS " INDO'KU"

$
0
0
 INDO'KU

INDO^KU ... INDO^KU ... INDO^KU
RIO RENNU MAKKIRENNU TENRINAWA
MAUNI PEDDI TENRILAWA TAKKASENG
KIYA PESONA TEMMAPPETTU AMPE KEDO
NARITOJA MENNANG PAKKURU SUMANGE
NAPATUO ANA^ PATTOLA
MATTAJENG RIPESONA

MAUNI SIAGA PARIAMA RIMINANGA
TEPPAULLE PABALI KARESO
LETTU LIMBANG RI MAJENG
NAKU PABOTTO ULUKI INDO
MAUNI SIKUA LAMPE ETTANA
IBUKU ...IBUKU ... IBUKU ....
CANDA RIA DALAM SENYUM TAK TERKIRA
MESKI DERITA TERLUKIS TAK BERBATAS
NAMUN TAK ADA LANGKAH TERHENTI
MENGALIRKAN AIR SUCI KEHIDUPAN
MENGASUH ANAK GENERASI
MENANTI DALAM HARAPAN
BERAPUN PARIAMA TERUS MENERUS
TAKKAN DAPAT MEMBALAS JASA
SAMPAI HIJRAH KE ALAM AKHIRAT
SENANTIASA KUJUNJUNG TINGGI IBU
HINGGA MASA TAK BERBATAS

(Mursalim)

ULU ADAE RI CALEPPA, KONSEKUENSI PERJANJIAN TERLANGGAR

$
0
0
ULU ADAE RI CALEPPA, KONSEKUENSI PERJANJIAN TERLANGGAR

ULU ADAE RI CALEPPA TAHUN 1565, adalah buntut perjanjian ULU ADAE RI TAMALATE (1540) yang terlanggar serta AKIBAT atas penyerangan Gowa terhadap Bone. Penyerangan Gowa terhadap Bone bermula ketika I TAJI BARANI DAENG MAROMPA adalah saudara kandung Raja Gowa ke-10 I MANRIWAGAU DAENG BONTO.
Dalam perjalanan sejarah yang panjang tercatat dalam Lontara’ BULO-BULO bahwa Kerajaan Tellu Limpoe telah mengalami percaturan kekuasaan antar kerajaan-kerajaan Tellu Poccoe. Khususnya perebutan hegemoni antara Gowa dan Bone pada abad ke-16 dan ke-17 termasuk memperebutkan wilayah dan dominasi atas Kerajaan Tellu Limpoe. Hal ini disebabkan karena Kerajaan Tellu Limpoe mempunyai nilai strategis dalam ekonomi dan politik di Teluk Bone.
Kerajaan Tellu Limpoe yang meliputi daerah Kabupaten SINJAI sekarang ini,diperkirakan telah terbentuk sejak pertengahan abad ke-16, atas keputusan bersama antara Raja Tondong ke-7 Iyottong Daeng Marumpa, raja Bulo-Bulo Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na, dan Raja Lamatti La Padenring Tadangpalie atas anjuran Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe Bongkange Matinroe ri Gucinna.
Keputusan bersama tersebut ditandai dengan batu peringatan yang lebih dikenal dengan istilah “LAMUNG PATUE RI TOPEKKONG ” sekitar tahun 1564, yang intinya adalah : (Rakyat masing-masing kerajaan (Tondong, Bulo-Bulo, Lamatti) bebas memilih tempat pemukiman begitupula mencari penghidupan yakni bertani atau bercocok tanam. Sesungguhnya rakyat hanya satu, rakyat Tellu Limpoe. Hanya yang membedakan adalah arah mana ia bawa hasil padinya. Saling ingat memperingati, bantu membantu dalam kebaikan dan tidak saling mencari kekurangan diantara mereka agar tidak timbul perpecahan.
Dengan keputusan bersama tersebut maka terbentuklah apa yang dinamakan kerajaan Tellu Limpoe yang dalam perkembangannya erat kaitannya dengan Kerajaan Bone, baik karena hubungan geologis bagi raja-raja yang memerintah di kedua kerajaan tersebut maupun karena hubungan di antara kerajaan yang bertetangga.
Kerajaan Tellu Limpoe yang dikenal pula sebagai kerajaan yang “MABBULO SIPEPPA ” yang berarti bersatu kukuh, merupakan sahabat dari kerajaan Bone dan merupakan BATU PENGHALANG bagi Gowa sebelum langsung menyerang Bone. Karena itu, kerajaan Tellu Limpoe merupakan kerajaan “PALILI PASSIAJING” dengan kerajaan Bone.
Pada masa pemerintahan raja Gowa ke-10 Lapakkoko Topabbele serta panglima perangnya La Mungkace Taudamang menyerang Kerajaan Tellu Limpoe, kendati kerajaan Tellu Limpoe di bawah rajanya masing-masing Raja Tondong (Iyottong Daeng Marumpa), raja Bulo-Bulo (Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na), dan Raja Lamatti (La Padenring Tadangpalie) dengan segalah keberanian dan usahanya untuk membendung serangan Gowa dan Wajo ini tidak berhasil menyebabkan kerajaan tersebut menyerah pada tahun 1564.
Namun kekalahan ini tidaklah berarti bahwa kerajaan Gowa telah berhasil, karena ternyata peperangan berlangsung terus menerus dengan kerajaan Bone. Pada saat itu kerajaan Bone di bawah pimpinan raja Bone VII La Tenri Rawe Bongkange Matinroe ri Gucinna.
Dekatnya hubungan kerajaan Bone dengan kerajaan Tellu Limpoe, yang melahirkan kesepakatan “Lamung Patue ri Topekkong” membuat Gowa gusar sehingga Gowapun menyerang Bone. Pertempuran pun tak terhindarkan antara kedua belah pihak.
Adalah I TAJI BARANI DAENG MAROMPA lahir pada tahun 1517 M. Tahun 1565 diangkat menjadi Raja Gowa menggantikan saudaranya untuk menjadi Raja Gowa ke-11 Karaeng Tunipallangga Ulaweng.
I TAJI BARANI DAENG MAROMPA mengikuti jejak kakak dan ayahnya, memperluas wilayah Kerajaan Gowa sampai ke Pangkajene dan Sidenreng. Ia baru 20 hari bertahta sebagai Raja Gowa, ia berangkat ke Bone dengan kekuatan senjatanya, Pertempuran antara pasukan Kerajaan Gowa dan Bone terjadi di daerah PAPPOLO (Sekarang Kelurahan Pappolo kecamatan Tanete Riattang kabupaten Bone).
Pasukan Kerajaan Bone berhasil dipukul mundur sampai ke Benteng pertahanannya. Pasukan Kerajaan Gowa terus menyerang jantung pertahanan Kerajaan Bone. BUKAKA pun dibakar (sekarang kelurahan Bukaka kecamatan Tanete Riattang kabupaten Bone).
Namun pada minggu ketiga setelah pasukan Gowa mengundurkan serangan, tiba-tiba datang serangan dari pasukan elit Bone yang jauh lebih besar. Mereka menghantam Pasukan Gowa yang dipimpin I TAJI BARANI DAENG MAROMPA. Salah seorang PASUKAN INITI BONE berhasil mendekati I TAJI BARANI DAENG MAROMPA dan kemudian meletakkan KALEWANG di kepalanya membuat I TAJI BARANI DAENG MAROMPA jatuh bersimbah darah dan mati seketika itu juga.
Dalam kondisi demikian pasukan Gowa tak berdaya dan terpaksa mundur menyelamatkan diri. Selanjutnya I TAJI BARANI DAENG MAROMPA yang hanya bertahta selama 40 hari itulah kemudian mendapat gelar anumerta KARAENG TUNIBATTA (Raja yang ditetak).
Atas izin dan jiwa kenegarawan Raja Bone ke-7 LA TENRIRAWE BONGKANGNGE MATINROE RI GUCINNA dan usaha dari penasihat Raja Bone LAMELLONG KAJAO LALLIDDONG maka jenazah I TAJI BARANI DAENG MAROMPA dipulangkan ke Gowa dan dimakamkan di Bukit Tamalate tepatnya di Makam Sultan Hasanuddin sekarang.
Berselang beberapa hari kemudian, diadakan perjanjian perdamaian antara Gowa dan Bone di Caleppa. Bone diwakili oleh Raja Bone La Tenrawe Bongkangnge dan Gowa diwakili oleh Mangkubuminya I Mappatakattana Daeng Padulung. Perjanjian kemudian lebih dikenal dengan nama ULU ADAE RI CALEPPA atau ULUKANAYA RI CALEPPA TAHUN 1565 yang isinya antara lain :
1. Bone meminta kemenangan-kemenangan, yaitu kepadanya harus diberikan daerah-daerah sampai Sungai Walanae di sebelah Barat dan sampai di daerah Ulaweng di sebelah utara.
2. Sungai Tangka terletak diperbatasan Bone dan Sinjai, akan tetapi perbatasan daerah Bone dan Gowa yaitu sebelah Utara masuk Bone dan sebelah Selatan masuk Gowa.
3. Supaya negeri Cenrana masuk daerah kekuasan Bone karena memang dahulu Cenrana telah ditaklukkan oleh raja Bone ke-5 La Tenrisukki maka sebagai hasil kemenangan dalam peperangan melawan raja Luwu bernama Raja Dewa yang sudah sekian lama menguasai Cenrana.
Itulah berbagai bentuk diplomasi yang terjadi diantara kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan dimasa lalu sebagaimana apa yang terjadi antar negara pada zaman modern ini baik bilateral maupun multilateral. Sejarah tidak perlu dipertentangkan, namun sebagai ANA’ PATTOLA (generasi penerus) petiklah hikmahnya untuk membangun kebersamaan dan perdamaian yang hakiki, ALANGKAH INDAHNYA.
Oleh : Mursalim

BONE RAMPAI : LAMELLONG. DIPLOMAT ULUNG DARI TANAH BUGIS

$
0
0
 LAMELLONG. DIPLOMAT ULUNG DARI TANAH BUGIS

LAMELLONG dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone di masa lampau.
Menurut cerita orang tua, Lamellong itu berparas tampan dan gagah dalam bahasa Bugis disebut MAMELLO. Dengan warna kulit sawo matang, alis tebal disertai bulu matanya yang lentik MINCA^ BULU MATA. Pada saat ia berbicara tak jemu memandangnya.
Diceritakan, Itulah sebab beliau bernama MELLONG dari kata MELLO atau GAGAH RUPAWAN. La Mello (pria tampan) kemudian popular menjadi La Mellong.
Tepatnya pada masa pemerintahan raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7 La Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584).
LAMELLONG muncul ibarat bintang gemilang di kerajaan. Dengan pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan. Pokok-pokok pikiran beliau menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan.
Tentang LAMELLONG di tanah Bugis, dilacak melalui sumber-sumber lisan berupa cerita rakyat dan catatan sejarah, baik dari lontara maupun tulisan-tulisan lainnya.
Serpihan tulisan yang ada lebih banyak mencatat tentang buah pikirannya yang menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” dalam bahasa Bugis Bone disebut “PANGNGADERENG”.

Dalam lintasan perjalanan kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa LAMELLONG dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama TELLUMPOCCOE “Lamumpatua” ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngE.
Seperti tuisan sebelumnya, Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.
Adapun Pokok-pokok pikiran LAMELLONG yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :
1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;
3.Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
4.Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
GELAR KAJAO
Karena pola pikiran dan kemampuannya yang luar biasa itu, maka Lamellong diberi gelar penghargaan dari kerajaan yang disebut “KAJAO LALLIDDONG”. Kajao berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong (sekarang desa Kajalalliddong kecamatan Barebbo kabupaten Bone). Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Raja Bone ke-4 We Benrigau (1496-1516).

Sejak kecil dalam diri LAMELLONG telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang ahli pikir yang cemerlang..
Bakat-bakat istimewa itu kemudian nampak menjelang usia dewasanya yang dilatarbelakangi iklim yang bergolak, di mana pada zaman itu Gowa telah berkembang sebagai kerajaan yang kuat di jazirah Sulawesi Selatan.
Kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka di Sulawesi Selatan satu demi satu ditaklukkannya baik secara damai maupun kekerasan.
Hanya Kerajaan Bonelah yang masih dapat mempertahankan diri dari ekspansi Gowa. Akan tetapi lambat laun Kerajaan Bone dalam keadaan terkepung menyebabkan kerajaan dan rakyat Bone dalam situasi darurat, namun akhirnya dua kerajaan yang berseteru berdamai.
Menurut catatan Lontara, bahwa pada masa pemerintahan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe BongkangngE. Lamellong atau Kajao Lalliddong diangkat menjadi penasihat dan Duta Keliling Kerajaan Bone. Ia dikenal sebagi seorang ahli pikir besar, negarawan, dan seorang diplomat ulung bagi negara dan bangsanya.
Dalam perjanjian Caleppa (Ulu Kanaya ri Caleppa) antara Kerajaan Bone dan Gowa tahun 1565. Lamellong atau Kajao Lalliddong memainkan peranan penting. Juga perjanjian persekutuan antara kerajaan Bone,Soppeng, dan Wajo yang disebut Perjajnjian Tellumpoccoe LamumpatuE ri Timurung tahun 1582.
Ajaran-ajaran Kajao termuat dalam berbagai Lontara diantaranya LATOA seperti beberapa alinea yang dikutip berikut ini :
Dalam dialog Kajao dengan raja Bone (berkata Raja Bone :
Apa tandanya apabila negara itu mulai menanjak kejayaannya?
Jawab Kajao : Duwa tanranna namaraja tanae, yanaritu seuwani namalempu namacca Arung MangkauE, madduwanna tessisala-salae.
(dua tandanya negara menjadi jaya, pertama raja yang memerintah memiliki kejujuran serta kecerdasan, kedua di dalam negeri tidak terjadi perselisihan)

Selain itu, ajaran Lamellong Kajao Lalliddong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut “ INANNA WARAMPARANGNGE ” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan antara lain :
1. Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;
2. Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;
3. Raja harus jujur dalam segala tindakan.
Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan, merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan Raja, sehingga Raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan.
Tentang Pembatasan kekuasaan, dalam lontara disebutkan, bahwa Arung Mangkau berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian Raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.
Lebih jauh Lamellong Sang Kajao menekankan bahwa raja dalam melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman kepada “Pangngadereng” (Sistem Norma).
Adapun sistem norma menurut konsep Lamellong Kajao Lalliddong sebagai berikut :
1. ADE’
Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
a. Ade Pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
b. Ade Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
c. Ade Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
2. BICARA
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah. Pabbicara diera sekarang ini adalah Hakim.
3. RAPANG
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga
.
4. WARI
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
Setelah agama Islam resmi menjadi agama Kerajaan Bone pada abad ke-17, maka keempat komponen Pangngadereng (Ade, Bicara, Rapang, dan Wari) ditambah lagi satu komponen, yakni SARA (Syariah).
Dengan demikian ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kominitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen SARA di atas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan, bahkan sampai sekarang di zaman edan ini.
Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara.
Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.
Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar bertingkah laku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian.
Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwaE” (Tuhan Yang Maha Esa).
Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan.
Nama dan jasanya sampai kini terpatri dalam hati sanubari masyarakat Bone khususnya, bahkan masyarakat Bugis pada umumnya.
LAMELLONG KAJAO LALLIDDONG adalah peletak dasar konsep-konsep hukum Pangngadereng dan Ketatanegaraan yang sampai kini msaih melekat pada sikap dan tingkah laku orang Bugis.
SAAT SAAT TERAKHIR DALAM HIDUPNYA
Mengingat usia Lamellong Kajao Lalliddong pada akhir pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge (1584) sudah mencapai 71 tahun,
Oleh karena itu. pada masa pemerintahan raja Bone ke-8 LA INCA peranan Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak lagi terlalu nampak, kecuali buah-buah pikirannya tetap menjadi acuan bagi raja dalam melaksanakan aktivitasnya. Pada masa inilah Lamellong yang digelar Kajao Lalliddong meninggal dunia.
Sumber-sumber lisan misalnya cerita rakyat di Kabupaten Bone menyebutkan bahwa di saat usia uzur, beliau memilih meninggalkan istana raja dan kembali ke kampung kelahirannya di Lalliddong yang pada saat itu berada dalam wilayah wanua Cina.
Tetapi bukan berarti buah-buah pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap saat raja dan aparatnya masih tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan.

Tentang pemberian gelar “KAJAO” yang menurut bahasa Bugis, hanya diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai “Rohaniawan” (Bissu) di mana pada saat itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu namapak sebagai layaknya seorang perempuan.

Di desa Kajao Lalliddong Kecamatan Barebbo kabupaten Bone ada dua versi tentang peristiwa meninggalnya ahli pikir kerajaan Bone itu.
Versi PERTAMA menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya ditandai dengan peristiwa “Mallajang” (menghilang) bersama anjing kesayangannya.
Pada saat itu Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di Kampung Katumpi sebelah selatan kampung Lamellong, namun setelah dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak dapat ditemukan. Dengan demikian orang-orang di kampung Lalliddong menyatakan “Mallajang” (menghilang).
Versi KEDUA menyatakan di saat usia Kajao Lalliddong bertambah uzur, pada akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Hanya tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi animisme, atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana kebiasaan orang Bugis saat itu.
Tentang makamnya yang terletak di Desa Lalliddong sekarang ini, menurut penduduk setempat pada mulanya hanyalah merupakan kuburan biasa yang ditandai sebuah batu sebagai nisan.
Nanti pada suatu saat beberapa turunannya mengambil inisiatif dengan memugarnya, sehingga sekarang nampak lebih unik dari kuburan lainnya.
Di sekitar makam Kajao Lalliddong terdapat beberapa kuburan tua. Menurut cerita penduduk di desa itu yang merasa turunannya, bahwa kuburan-kuburan itu adalah sanak keluarga Lamellong Kajao Lalliddong di masa hidupnya.
Sedikitnya ada empat kuburan tua yang terdapat disekitar kuburan Kajao Lalliddong sampai sekarang tetap terjaga dan terpelihara.
Menurut sumber yang dapat dipercaya, bahwa saat-saat terakhir kehidupan Lamellong Kajao Lalliddong memperlihatkan hal-hal yang istimewa tentang ilmu kebatinan.
Bahkan masyarakat banyak menganggap Kajao Lalliddong memilikii berkah, sehingga setiap saat dikunjungi oleh banyak orang.
POHON NYELLE TONGKAT LAMELLONG
Di dusun Lamellong sekarang ini terdapat sebuah pohon besar yang berdiameter kira-kira 10 meter lebih hingga sekaran masih nampak berdiri dan tumbuh menjulang tinggi. Masyarakat meyakini pohon itu adalah tongkat Lamellong.
Konon pada suatu hari, Lamellong pernah mengambil pohon” NYELLE“ yang masih kecil untuk dijadikan tongkat. Namun karena tongkat itu tidak lagi digunakan maka dipancangkannya di atas tanah.
Ternyata tongkat kayu itu kemudian tumbuh dengan suburnya, sampai sekarang pohon itu masih ada. Bahkan poho besar itu dijadikan penanda oleh penduduk setempat kapan mulainya musim tanam jagung.
Menurut para petani di kampung Lalliddong apabila pohon NYELLE itu sudah betul-betul rimbun maka tibalah saatnya menanam jagung
Selain itu pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan dan Tenggara yang akan berlabuh di Barebbo, maka pohon itulah dijadikan sebagai pedoman. Menurut mereka, selagi masih jauh dari daratan sudah kelihatan, puncak pohon NYALLE ini sayup-sayup melambai.
Benar atau tidak, yang jelas bahwa POHON NYELLE tersebut yang diyakini masyarakat setempat sebagai tongkat Lamellong, masih dapat disaksikan keberadaannya hinnga saat ini. Oleh sebagian masyarakat setempat menganggap pohon besar itu “ANGKER MAKARAME^.
Oleh : Mursalim

BONERAMPAI : POLO MALELAE RI UNYNYI, PERJANJIAN BONE-LUWU

$
0
0
  POLO MALELAE RI UNYNYI, PERJANJIAN BONE-LUWU

Sering kita mendengar terjadi konflik antar dua kelompok yang mengatasnamakan dirinya orang Bone dan orang Luwu. Tidak dipungkiri sering terjadi korban dikedua belah pihak. Tentu hal ini sangat disayangkan, akibat mereka-mereka tidak pernah ingin membaca untuk mengetahui sejarahnya.
Dengan harapan tulisan ini bisa menjadi bahan introspeksi bagi kita semua, untuk tidak melahirkan konflik yang mana sangat merugikan kedua belah pihak yang berseteru. Persaingan secara sehat yang tercipta bertujuan untuk melahirkan sebuah perubahan mengarah kepada hal-hal yang sifatnya baik dan dapat berguna bagi diri kita, bangsa dan Negara.
Pada masa pemerintahan LA TENRI SUKKI 1510-1535, sebagai pewaris takhta dari ibunya, We Banrigau’-Mallajangnge ri Cina, ratu Bone ke-4 1470-1510. La Tenrisukki merupakan raja Bone pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Jazirah Celebes Selatan.
Dimasa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer PAJUNG LUWU, DEWARAJA BATARA LATTU. Perang itu dikenal dengan ”PERANG CELLU ”, Perang ini terjadi karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu dan menyerang Bone. Perang Cellu ini dimenangkan oleh Bone atas keberanian PASSIUNO NA BONE (Pasukan Berani Mati dari Bone).

Setelah Perang Cellu, Arumpone LA TENRI SUKKI mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu TO SERANGENG DEWARAJA. Perjanjian itu disebut POLE MALELAE RI UNYNYI atau GENCATAN SENJATA DI UNYNYI, ( Sekarang kelurahan Unynyi, kecamatan Dua Boccoe kabupaten Bone).
Usai Perjanjian POLE MALELAE RI UNYNYI ini, kedua raja, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang).
Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.‎

Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya perjanjian POLE MALELAE RI UNYNYI adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone.
Arti strategis perjanjian POLE MALELAE RI UNYNYI bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis yang kuat terhadap kerajaan-kerajaan kecil di sekitar kerajaan Bone bahkan juga kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
‎‎
Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu yakni salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone (Kerajaan Mampu adalah desa Cabbeng kecamatan Dua Boccoe kabupaten Bone sekarang ini). Namun, sekali lagi pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki.
Setelah beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo Bote’E hasil perkawinanya dengan sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone ke-6. Digelari Bote’E karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang gempal-subur.
Adapun perjanjian POLE MALELAE RI UNYNYI yang merupakan perjanjian damai antara kerajaan BONE dan LUWU dalam mengakhiri Perang Cellu, sebagai berikut :
1. " Makkedai Arumpone (Berkata Raja Bone) : MALI SIPARAPPE’KI, MAREBBA SIPATOKKOKKI’, DUWA ATA SEDDI PUANG, GAU’KU LUWU GAU’NA BONE, MANGURU JA MANGURU DECENG ( Kita naikkan yang hanyut, kita tegakkan yang rebah. Dua hamba satu Tuhan, tindakan Luwu tindakan Bone, sama-sama menanggung buruk baiknya ). Maksudnya, kita bantu bagi yang membutuhkan bantuan, rakyat dan raja Bone bersatu dengan rakyat dan raja Luwu dalam menghadapi segala tantangan.
2. TESSIPAMATE-MATEI, SISAPPARENG AKKELENUANGNGI, TESSIBAWENG-PAWENGNGI, TESSITAJENG ALILUNGNGI ( Tidak saling mematikan, saling menunjukkan hak milik, tidak saling menghina, dan tidak saling mencari kesalahan). Maksudnya, Bone dan Luwu jangan saling mencelakakan, tetapi mestinya saling menghormati dan menghargai hak milik masing-masing.
3. NAMAUNA SIWENNI MUA LETTU’NA TO BONE-E RI LUWU, LUWU NI, NAMAUNA SIWENNU MUA LETTU’NA TO LUWU-E RI BONE, BONE NI (walaupun baru satu malam orang Bone berada di Luwu, maka mereka sudah menjadi orang Luwu, walaupun baru satu malam orang Luwu berada di Bone, maka mereka sudah menjadi orang Bone). Maksudnya, orang Luwu ataupun orang Bone diperlakukan, dihargai, dan dihormati sama seperti kalau mereka berada di negeri sendiri di Bone ataupun di Luwu.
4. TESSIAGELLIANG TESSIPIKKI, BICARANNA BONE BICARANNA LUWU, ADE’NA BONE ADE’NA LUWU, ADE’NA LUWU ADE’NA BONE (Tidak salaing memarahi dalam kesulitan, masalahnya Bone masalahnya Luwu, adatnya Bone adatnya Luwu, adatnya Luwu adatnya Bone). Maksudnya, Bone dan Luwu bersama-sama bertekad menyelesaikan masalah mereka berdasarkan ketentuan hukum dan norma adat masing-masing.
5. TESSIACINANGNGI ULAWENG MATASA PATTOLA MALAMPE (Tidak saling mengingingkan emas murni dan calon generasi penerus). Maksudnya, Bone dan Luwu tidak saling mengambil hak dan mencampuri masalah urusan dalam negeri masing-masing sampai generasi selanjutnya.
6. NIGI-NIGI TEMMARIENGNGERANG RI ULU ADAE, IYA RISARING PAROWO RI DEWATAE LETTU RI MUNRINNA, IYA MAKKUA RAMUN-RAMUNNA, APU-APUNNA ITTELLO RIADDAMPESSANGNGE RI BATUE (Barang siapa yang mengingkari perjanjian perdamaian ini, maka dialah akan disapu seperti sampah oleh Allah sampai kepada anak cucunya, dan negerinya akan hancur seperti telur yang diempaskan ke batu). Maksudnya, Bila Luwu dan Bone mengingkari perjanjian Perdamaian ini, maka akan mendapat kutukan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah kita menyimak isi PERJANJIAN atau ULU ADA di atas, dapat disimpulkan bahwa peperangan bukan sebuah solusi untuk menuju kesejahteraan. Tetapi persahabatan adalah sebuah solusi untuk kita hidup berdampingan dan bersama-sama meraih kesejahteraan.
Dengan harapan semoga tulisan kecil ini bisa terbaca dan dimaknai oleh masing-masing PATTOLA (generasi) BONE-LUWU sehingga dapat menjadi pemebelajaran bagi generasi. Ulu Ada Polo Malelae ri Unnyi bukti persaudaran BONE-LUWU hingga waktu tak terbatas.
ULU ADA dalam bahasa Indonesia disebut PERJANJIAN. Sedangkan POLO MALELAE berasal dari kata POLO berarti PATAH, dan MALELAE berarti besi yang sangat kuat sulit dipatahkan yang dalam bahas Bugis disebut BESSI MANCING, yaitu diibaratkan besi beton yang sangat kukuh. Kemudian UNYNYI adalah sebuah dusun yang kini menjadi Kelurahan Unnyi, kecamatan Dua Boccoe, kabupaten Bone
Oleh : Mursalim

LAGU BUGIS " YABELALE " PASENG RIATI ORANG BUGIS

$
0
0
 " YABELALE "

YABE LALE, ATINRINO MAI ANAKKU
(Yabelale, tidurlah wahai anakku)
YABE LALE, UPAKKURU SUMANGE’MU
(Yabelale, Kudoakan berumur panjang)
BUANA BUANA ATIKKU
(buahnya, buah hatiku)
ENGKALINGANI ELOKKU
(dengarlah kubersenandung)
ELONG KINI NNANAWA BUANA ATIKKU
(senandung dari lubuk hati paling dalam buah hatiku)
UNGANNA UNGANNA ATIKKU
(bunganya, bunganya hatiku)
ENGKALINGANI PASEKKU
(dengarlah pesanku)
PASENG TIRO DECENG UNGANNA ATI
(pesan kebaikan bunga hatiku)
UNGANNA UNGANNA ATIKKU
( bunganya, wahai bunga hatiku)
UPAKKURU SUNGE’MU
(selamatlah dikau berumur panjang)
TUDANG RI LANGKANA MUCAWA CABBERU
(duduklah di ayunan sembari tersenyum )

Ciptaan : Mursalim
Vocal, gitaris : Mursalim
Begitu mulianya kasih sayang IBU kepada anaknya. Rasa khawatir terhadap keselamatan dan kehidupan anaknya lebih penting dibandingkan keselamatan dan kehidupan dirinya.
Dikala menidurkan si buah hatinya, IBU senantiasa mengusap, mencium, dan mendekap anaknya sembari menghibur dengan senandung yang sarat sentuhan dan belaian kasih sayang tiada tara.
IBU tak pernah luput berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa, agar kelak anaknya tumbuh dewasa berbakti kepada orang tua menjadi manusia yang berguna serta hidupnya kelak bahagia sejahtera.
Sebagai anak berbakti kepada IBU, sudah berapa lama kita tak mengabari mereka karena rutinitas kita yang begitu sibuk?
Kabarilah mereka terutama IBU karena mereka begitu khawatir dengan setiap langkah kehidupan kita.
Kabarilah mereka karena hanya itu yang akan membuat mereka bahagia bahwa anaknya baik-baik saja.
Kabarilah mereka selagi masih sempat, karena kita tak pernah tahu kapan mereka akan pergi,..pergi, dan pergi untuk selamanya.
Oleh Mursalim

ULU ADAE RI TAMALATE, PERJANJIAN BONE-GOWA, KISAHMU DULU

$
0
0
ULU ADAE RI TAMALATE, PERJANJIAN BONE-GOWA, KISAHMU DULU

ULU ADA (bahasa Bugis) atau ULU KANA (bahasa Makassar) berarti PANGKAL PEMBICARAAN. Kata ini dimaknai sebagai PERJANJIAN.
Unsur kalimat yang digunakan untuk menamai suatu perjanjian antar raja dan kerajaan, umumnya menggunakan kata ULU (Kepala) dan CAPPA’ (Ujung). Penggunaan dua kata ini menegaskan bahwa perjanjian yang dilakukan bukanlah suatu hal yang main-main, karena itu harus sama-sama ditaati. Orang atau raja yang melanggar perjanjian biasanya akan diumpat sebagai seseorang yang tidak punya kepala (dalam bahasa Bugis disebut ULU).
Sering kita mendengar ungkapan Bugis yang menyatakan, “ TAU TEMPEDDING RIAKKATENNING CAPPA’ LILANA atau dalam bahasa Makassar TAU TENA KULLE RITETENG ULU KANANNA. Dalam bahasa Indonesia, kedua ungkapan itu adalah ORANG YANG TIDAK DAPAT MEMEGANG KATA-KATANYA yang bermakna umpatan terhadap seseorang yang tidak bisa dipegang kata-katanya.
ULU ADA merupakan suatu perjanjian bukan sekadar memegang kata-kata, tetapi juga memegang adat atau pangngadereng karena adat menganjurkan seseorang itu LEMPU dan GETTENG.
Di kalangan Bugis-Makassar seseorang yang melanggar perjanjian dapat diumpat sebagai seseorang yang juga tidak beradat.
Itulah sebabnya dalam perjanjian persahabatan atau gencatan senjata, selalu dimasukkan pasal-pasal agar yang berjanji sama-sama memegang teguh adat masing-masing dan tidak merusak adat negeri lain.
Biasa pula diungkapkan dengan bahasa, TESSICINNAIYYANG WARAMPARANG SAISANNA ULAWENG WATASA ( Tidak menginginkan dan mencampuri urusan dalam negeri masing-masing atau saling intervensi), karena tiap negeri punya adat yang berbeda, termasuk diantaranya tidak boleh mencampuri pewarisan takhta ULAWENG MATASA PATTOLA MALAMPE-E ( Harta dan Warisan Generasi).
Perjanjian ULU ADAE RI TAMALATE atau ULU KANAYYA RI TAMALATE terjadi pada masa pemerintahan raja Bone ke-6, La Uliyo Bote’e Matinroe ri Itterung (1519 – 1544) dan raja Gowa ke-9, Daeng Matanre Karaeng Tumapakarisika Kallonna (1512-1548).
Perjanjian ULU ADAE RI TAMALATE tepatnya terjadi pada Tahun 1540 ini merupakan perjanjian persahabatan antara GOWA dan BONE. Pasal-pasal dalam perjanjian ini melukiskan betapa indahnya persaudaraan antara BONE dengan GOWA, yakni dua kerajaan terkemuka penguasa semenanjung Barat dan Timur Jazirah Selatan Sulawesi.
Namun sayangnya, masa damai antara keduanya hanya berlangsung selama 24 Tahun (1538-1562), sebelum terjadinya serangan militer pertama Gowa ke Bone pada tahun 1562 yang didahului dengan peristiwa MASSAUNG MANU’ (Sabung Ayam) di mana pada waktu itu pertarungan mematikan , MANU’ BAKKANA BONE vs JANGANG EJANA GOWA yang berakhir dengan kemenangan Bone.
Sebagaimana perangnya yang luar biasa, masa perang Gowa Vs Bone berlangsung dari tahun 1562-1611 sampai tiba masanya Arung Palakka menggunakan strategi perangnya dengan menggandeng Speelman (Belanda) membebaskan Bone dan Soppeng dari Penjajahan Gowa. Dan sebelumnya persahabatan antara Gowa dan Bone juga sangat luar biasa.
Peristiwa pembukaan hubungan diplomatik pertama antara Gowa dan Bone (1538) bahkan diupacarakan dengan acara memperhadapkan SENJATA SAKTI kedua kerajaan.
Kalewang LATEA RIDUNI dari Bone dan Kalewang Kalompoang SUDANGA dari Gowa. Hubungan diplomatic ini berlangsung di LACCOKKONG (Kelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang sekarang ini). Di mana pada waktu itu raja Gowa untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Tana Bone. Selanjutnya kunjungan balasan raja Bone, La Uliyo Bote’e ke Gowa inilah yang kemudian melahirkan ULU ADAE RI TAMALATE.
Adapun isi perjanjian ULU ADAE RI TEMALATE atau ULU KANAYYA RI TAMALATE yang sangat sakral dan luar biasa itu adalah sebagai berikut :
1. NAREKKO ENGKA PERINA BONE, MADDAUNGNGI TASIE NAOLA MANGKASAE, NAREKKO ENGKA PERINA GOWA MAKKUMPELLE’I BULU-E NAOLA TO BONE-E (Jika Bone terancam bahaya musuh, maka berdaunlah lautan yang dapat dilalui orang Makassar, Jika Gowa terancam bahaya musuh maka ratalah gunung menjadi jalanan dilalui orang Bone).
2. TESINAWA-NAWA MAJAKI’, TESSIPATINGARAI KENNA BONE-GOWA, TESSICINNAIYYANGNGI ULAWENG MATASA’ PATTOLA MALAMPE (Takkan saling berprasangka buruk, takkan saling menyerang, Bone-Gowa, dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri masing-masing baik takhta maupun warisan hingga generasinya).
3. IYASSISOMPERENGNGI GOWA, IYASSISOMPERENGNGI BONE, IYASSIMANARI ADA TORIOLOE (Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan bahtera Bone, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini).
4. NIGI-NIGI TEMMARIENGNGERANG RIADA TORIOLOE, MAREPPA’I URIKKURINNA, LOWA-LOWANA, PADAI TELLO RIABBUSSUANGNGE RI BATUE (Siapa saja yang tidak mengingat amanat leluhur ini maka pecahlah Periuk-Belanganya, seperti telur dihempaskan ke atas batu).
Perjanjian ULU ADAE RI TEMALATE atau ULU KANAYYA RI TAMALATE yang digagas raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’e ini merupakan suatu perjanjian yang luar biasa, butir-butir perjanjian ini seandainya dilaksanakan oleh penerus takhta Gowa dan Bone, sejarah akan bercerita lain. Namun, kata banyak orang, perjanjian memang dibuat untuk dilanggar, seperti halnya perjanjian bilatateral masa kini, Iya, JANCI MUTALE'E, MAJJANCI TADDE^ LESSE PECA^
Oleh : Mursalim

PERJANJIAN TELLUMPOCCOE, BONE-WAJO-SOPPENG, RIWAYATMU DULU

$
0
0
BOSOWA merupakan akronim tiga nama daerah Bugis yaitu Bone, Soppeng, dan Wajo yang telah berabad-abad menjalin persaudaraan. Sebenarnya kalau kita merujuk dari perjanjian TellumpoccoE yang benar adalah BOWASO ( Bone, Wajo, Soppeng ).
Dalam catatan sejarah dijelaskan bahwa Bone di bawah pemerintahan raja Bone ke-7 La Tenrirawe Bongkangnge ( 1544-1574 M ) beberapa kali mengalami bencana perang yang didalangi oleh pihak Gowa dan Luwu. Meskipun Bone selalu unggul, namun kerajaan Bone menderita kerugian harta benda dan sumber daya manusia serta kehidupan sosial budaya.
Untuk memperkuat Bone sebagai suatu kerajaan yang tangguh, raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge menjalin hubungan kerja sama dengan Arung Matowa Wajo yang bernama La Mungkace Touddamang, serta Datu soppeng yang bernama La Mappaleppe PollipuE.
Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana ( Sekarang Kecamatan Cenrana Kabupaten Bone) untuk memperkuat hubungan antara Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng. Adapun kesepakatan yang diambil di Cenrana adalah ketiga kerajaan tersebut akan mengadakan pertemuan lanjutan di Timurung ( Sekarang Desa Timurung Kecamatan Ajangale kabupaten Bone dan dulu dusun Bunne adalah salah satu dusun desa Timurung sebelum terjadi pemekaran desa).
Sampai waktu yang telah ditentukan, maka berkumpulah orang Bone, Soppeng, dan Wajo di suatu tempat yang bernama Bunne Timurung ( Sekarang dusun Bunne masuk wilayah Desa Allamungeng Patue setelah terjadi pemekaran desa ).
Adapun yang hadir pada saat itu dari masing-masing tiga kerajaan adalah, yakni :
1. Dari kerajaan Bone, yakni Arungpone Latenrirawe Bongkangnge, dan Lamellong Kajaolalliddong, serta pembesar kerajaan Bone lainnya.
2. Dari kerajaan Wajo, yakni Arung Matowa Wajo La Mungkace Touddamang, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, serta pembesar kerajaan Wajo lainnya.
3. Dari kerajaan Soppeng, yakni Datu Soppeng La Mappaleppe Ponglipue, Arung Bila, Arung Pangepae, Arung Paddarengnge dan pembesar kerajaan Soppeng lainnya.
Adapun percakapannya sebagai berikut (Terjemahan dalam bahasa Indonesia) :
Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arungpone : (Bagaimana mungkin Arungpone untuk kita hubungkan tanah kita bertiga, sementara Wajo adalah kekuasaan Gowa, kemudian kita tahu bahwa antara Bone dan Gowa juga memiliki hubungan yang kuat ?).
Arungpone menjawab : ( Itu pertanyaan bagus Arung Matowa, tetapi yang menjalin hubungan di sini adalah Bone,Soppeng, dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo,maka kita bertiga akan melawannya). Pernyataan Arungpone tersebut disetujui oleh Arung Matowa Wajo.
Berkata pula Datu Soppeng La Mappaleppe: ( Bagus sekali pendapatmu Arungpone, tanah kita bertiga bersaudara, tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan tanah Wajo. Sebab itu yang namanya bersaudara berarti sejajar).
Arungpone menjawab : ( Bagaimana pendapatmu Arung Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh Datu Soppeng adalah benar).
Arung Matowa menjawab : ( Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya sipoana ( ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda ).
Berkata lagi Arungpone : ( Saya setuju dengan itu, tetapi tidak apalah saya berikan kepada Soppeng Gowa-gowa dan sekitarnya untuk menambah daki agar tanah kita bertiga tetap bersaudara).
Berkata pula Arung Matowa Wajo : ( Bagus pendapatmu Arungpone, saya juga kan berikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya.
Mulailah saat itu wilayah Gowa-gowa ( Kecamatan Lilirilau), Baringeng dan Lompulle telah menjadi daerah kekuasaan kerajaan Soppeng.
Datu Soppeng dan Tau Tongengnge berkata : ( Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal-hal tidak di kehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki ).
Berkata Arungpone dan Arung Matowa Wajo : ( Kita bertiga telah sepakat, mari kita mengucapkan ikrar).
1. Malilu sipakainge, Rebba sipatokkong, Siappidapireng riperi nyameng (Memperingati bagi mereka yang tidak mentaati kesepakatan, saling menegakkan jika ada yang tersungkur dan saling membantu dalam suka duka).
2. Tessibaiccukeng, Tessiccinnaiyyang ulaweng matasa,Pattola malampe, Waramparang maega pada mallebbang ri saliweng temmalebbang ri laleng (Tidak akan saling mengecilkan peran, tidak akan saling menginginkan perebutan takhta dan pergantian putera mahkota dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri).
3. Teppettu-pettu siranreng sama-samapi mappettu, Tennawa-nawa tomate janjitta, Tennalariang anging ri saliweng bitara, Natajeng tencajie, Iya tea ripakainge iya riduai, Mau maruttung langie, Mawoto paratiwie temmalukka akkulu adangetta, Natettongi dewata seuwae (Tidak akan putus satu-satu melainkan semua harus putus, perjanjian ini tidak akan batal karena kita mati dan tidak lenyap karena dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi, siapa yang tidak mau diperingati dialah yang akan diserang kita berdua, walaupun langit runtuh dan bumi terbang, perjanjian ini tidak akan batal dan disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa ( Dewata seuwae).
4. Sirekkokeng tedong mawatang, Sirettoang panni, Sipoloang poppa, Silasekeng tedong, Siteppekeng tanru tedong (Saling menundukkan kerbau yang kuat, Saling maematahkan paha, Saling mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan saling memberikan bantuan militer untuk menundukkan musuh yang kuat).
5. Tessiottong waramparang, Tessipalattu ana'parakeana (Saling menundukkan kerbau yang kuat, Saling maematahkan paha, Saling mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan saling memberikan bantuan militer untuk menuntukkan musuh yang kuat ).
Setelah mereka mengucapkan ikrar/ perjanjian, maka sebagai tanda sahnya ikrar/perjanjian tersebut maka mereka bertiga menenggelamkan batu (Mallamumpatu) yang disaksikan dewata seuwae. Siapa yang mengingkari perjanjian ini dia akan ditindis oleh batu itu.
Situs perjanjian yang menyerupai anglo tersebut adalah batu besar ( Bone) yang menandakan BONE SAUDARA TUA, kemudian agak kecil WAJO SAUDARA TENGAH dan paling kecil adalah SOPPENG SAUDARA BUNGSU.
Sejak itulah istilah Mallamungeng PatuE ri Timurung dikenal dengan Persekutuan Tiga Kerajaan TellumpoccoE (Bone, Wajo, Soppeng).
Begitu indah dan sakralnya perjanjian tak terbatas di atas, jadi tidak ada alasan bagi kita sebagai generasi saling merendahkan antara satu dan yang lainnya.
Oleh : Mursalim

NILAI DIBALIK MASSAUNG MANU

$
0
0

SELASAR BUGIS : NILAI DI BALIK PERMAINAN MASSAUNG MANU'

1. TELUSUR SEJARAH MASSAUNG MANU’
Massaung Manu’ yang sering disebut Mappabbite Manu’ dalam bahasa Indonesia berarti Sabung Ayam adalah sebuah permainan khususnya di kalangan Bugis. Massaung’ Manu’ dahulu hanya dilakukan para raja dan bangsawan Bugis untuk memeriahkan pesta-pesta adat seperti: panen raya, pelantikan raja, perkawinan, dan ajang persahabatan antar kerajaan.

Konon awalnya, permainan Massaung Manu’ ini bermula dari kegemaran para raja yang sering mempertarungkan pemuda-pemuda di seluruh wilayah kerajaannya untuk mencari tubarani-tubarani atau laskar-laskar pemberani kerajaan yang akan dibawa ke medan pertempuran. Jadi, pada waktu itu yang disabung bukanlah ayam melainkan manusia.

Namun, kemudian, mungkin karena berbagai pertimbangan dan semakin jarangnya terjadi peperangan antarkerajaan, pertarungan antarmanusia itupun berubah menjadi pertarungan antarayam yang dinamakan “MASSAUNG MANU’ atau MAPPABBITTE MANU’.

Pada waktu itu permainan tidak hanya dilakukan di dalam sebuah kerajaan, tetapi juga antarkerajaan yang tujuannya tidak hanya untuk hiburan tetapi juga sebagai AJANG ADU PRESTASI, dan GENGSI. Pemilik yang ayamnya selalu menang akan dianggap sebagai orang yang berhasil melatih ayam aduannya, dan kedudukannya akan dipandang lebih tinggi di kalangan para pengadu ayam.

Kemudian, ayam aduan yang selalu menang dalam pertarungan akan menjadi “Maskot” kerajaan sebagai lambang keberanian. Nama pemiliknya pun akan dikenal oleh seluruh penduduk, baik di dalam maupun di kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan, ketika itu banyak pahlawan Bugis yang sering menggunakan julukan yang sama seperti nama-nama ayam yang terkenal di daerahnya masing-masing, misalnya, Bakka Marowwe’na Bukaka, Barumpungna Sailong, I Segong Ri Painaikang, Buleng Lengna Lantebung, Cambang Toana Labbakang, Korona Jalanjang, Campagana Maccinibaji dan lain sebagainya.

Dalam perkembangannya, permainan yang disebut sebagai Massaung Manu’ ini tidak hanya dimainkan oleh kaum bangsawan saja, melainkan juga oleh oleh rakyat jelata. Permainan juga dapat dilakukan kapan saja, tanpa harus menunggu adanya pesta-pesta adat terlebih dahulu. Dan permainan Massaung Manu’ ini tidak sekadar hiburan tetapi menjadi sarana belajar strategi perang bagaimana teknik untuk mengalahkan lawan.

Saat ini permainan Massaung Manu’ dilarang oleh pemerintah, disamping karena banyak yang menyalahgunakan yang lebih menekankan pada motif perjudian. Padahal, bagi masyarakat “tradisional” Bugis, menganggap bahwa sesuatu yang berlaga hingga mengeluarkan darah, dipercaya akan menambah keberanian dan kesaktian.

Sebelum Manurungnge ri Matajang Raja Bone pertama, perrmainan Massaung Manu’ ini sudah sering dilakaukan antarkalula (kampung). Kemudian berkembang pada pemerintahan raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge. Pada waktu itu permainan Massaung Manu’ ini selain sebagai hiburan pada masa itu juga sebagai ajang dalam melakukan persahabatan antara kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng.

Efek dari permainan Massaung Manu’ ini ternyata dijadikan bahasa simbolis oleh Pabbicarana Bone Lamellong Kajao Lalliddong, ia berkata :
“ENGKA TU MATU NARIOLOI DUA WETTU, IYANARITU WETTU MANU’ SIBAWA WETTU PENYNYU.
NAIYYA TANRANNA WETTU MANUE  ITAI KEDONA MANU’ MABBITTE-E, SIKOMUATU MABBITTENA LUPPE’NI SALASSEDDINNA MENRE’ RI COPPOE BOLAE NATTINGKOKO TONGENG, NA DE MANU BALI TINGKOKONA , LUPPE’NI RO RI TANAE, MAKKALLEJJA’NA AJENA RI TANAE RILELULLUNNA RI MANU’ NAEWAE MALLOTTENG DENRE.
Menurut Kajao Laliddong: “ IYATU DENRE MANU’ MATTINGKOKOE RI COPPO BOLAE IYANARITU MANU’ CAU. MAKKUANIRO GAUNNA TOMASENG ENGNGI ALAENA AJJOARENG “

Terjemahan bebas :

Ada masa kita akan lewati dua waktu/zaman/era, yaitu zaman Ayam dan Penyu, ada tanda zaman Ayam adalah lihatlah perangai ayam yang di sabung, tak begitu lama ia berlaga lompatlah satu naik ke atap rumah sambil berkokok , dan ketika tidak dibalas kokokannya oleh lawannya, ia melompat turun ke tanah, sesampai kakinya di tanah ia pun dikejar dari ayam lawannya tadi, yang berkokok di atap rumah adalah ayam pengecut karena ia berkokok seakan berkata saya adalah kesatria, begitulah karakter orang yang menganggap dirinya pemimpin yang baik (ungkapan pembalikan makna Kajao Lalliddong).

2. JUMLAH PEMAIN MASSAUNG MANU’

Jumlah pemain Massaung Manu’ tidak dibatasi. Namun, untuk satu kali pertandingan hanya diikuti oleh dua orang peserta karena ayam yang akan diadukan harus satu melawan satu. Massaung Manu’ hanya dimainkan oleh laki-laki, dari usia remaja hingga orang dewasa ataupun orang tua.

3. TEMPAT PERMAINAN MASSAUNG MANU’

Permainan Massaung Manu’ dapat dilakukan di mana saja, asalkan memiliki arena yang berbentuk lingkaran atau persegi empat seluas sekitar 5 x 5 meter. Jadi, bisa di pekarangan rumah maupun lapangan. Permainan ini biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari.

4. PERALATAN PERMAINAN MASSAUNG MANU’

Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah: ayam, taji, dan kayu bercagak (kayu bertangkai). Ayam yang akan diadu bukan sembarang ayam, tetapi ayam jantan yang dinilai kuat, besar dan tangguh dalam bertarung. Sebelumnya, ayam-ayam yang telah dipilih menjadi ayam aduan biasanya dirawat dengan sangat baik.
Adakalanya ayam-ayam aduan ini dimantrai atau dijampi-jampi agar dapat mengalahkan lawannya. Taji adalah senjata yang diikatkan pada kaki ayam agar serangannya efektif dan mematikan. Alat ini terbuat dari logam dan berbentuk runcing menyerupai keris atau badik kecil. Kayu bercagak pada saatnya akan diselipkan di leher ayam yang kalah untuk dipatuk oleh ayam yang menang. Bercagak artinya kayu bercabang untuk penopang.

5. ATURAN PERMAINAN MASSAUNG MANU’

Peraturan permainan Massaung Manu’ tergolong sederhana, yaitu apabila dua ekor ayam jantan diadukan dan salah satu diantaranya kalah atau mati, maka ayam yang dapat mengalahkannya dinyatakan sebagai pemenang.

6. PROSES PERMAINAN MASSAUNG MANU’

Permainan dimulai dengan pengundian untuk menentukan ayam siapa saja yang nantinya mendapat giliran untuk bertarung. Setelah urutan peserta yang ayamnya akan bertarung ditetapkan, maka bagi yang mendapat giliran pertama akan memasukkan ayamnya ke dalam arena.

Kemudian, ayam-ayam tersebut oleh pemiliknya akan dipasangi sebilah atau dua bilah taji, bergantung kesepakatan para pemilik ayam. Orang Bugis menyebut pemasangan taji ini sebagai rinrelengngi, sedangkan orang Makassar menyebutnya nibulanggi.
Setelah itu, ayam diadu sampai ada yang kalah atau mati. Pada saat kedua ayam berlaga, penonton bersorak-sorai menyemangati ayam yang dijagokannya. Sementara, pemilik ayam berkeliling, menyemangati ayamnya dengan teriakan, dan sekaligus  mengawasinya dan berjaga-jaga. Ayam yang “KALAH” lehernya akan dijepit dengan kayu bercagak. Kemudian, ayam yang menang harus mematuk kepalanya sebanyak tiga kali. Jika ayam yang menang itu tidak dapat mematuk sebanyak tiga kali, maka permainan dianggap seri.

7. NILAI BUDAYA MASSAUNG MANU’

Walaupun pemerintah dan sebagian masyarakat Bugis menganggap bahwa permainan Massaung Manu’  bertentangan dengan aturan berlaku karena atas penyalahgunaan dengan cara taruhan uang, namun terlepas dari masalah itu sesungguhnya permainan ini mempunyai nilai yang sangat berguna dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Adapun nilai-nilai dalam permainan Massaung Manu’ itu adalah: kerja keras, kreativitas, dan sportivitas.

Nilai KERJA KERAS itu tercermin dari perawatan ayam aduan yang dilakukan dengan sangat baik melebihi perawatan ayam-ayam biasa yang bukan aduan. Di samping merawat, pemilik ayam juga harus melatih ayam aduannya agar semakin lihai dalam bertarung.

Nilai KREATIVITAS tercermin dari cara-cara yang dilakukan oleh pemilik ayam dalam memilih ayam aduan yang baik dan dalam menggunakan peralatan-peralatan khusus seperti TAJI agar ayamnya dapat menang secara cepat dan efektif.

Dan, nilai SPORTIVITAS tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada ketika ayamnya kalah atau mati.

Oleh Mursalim

RUMPA'NA BONE TAHUN 1905

$
0
0
KISAH HEROIK
LAPAWAWOI KARAENG SIGERI MELAWAN BELANDA TAHUN 1905

Dilukiskan dalam bentuk Sastera Bertutur

Prolog

Lapawawoi Karaeng Sigeri Raja Bone ke-31 bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Walaupun Belanda menyerang dengan persenjataan lengkap dengan tentara terlatih, akan tetapi Lapawawoi Karaeng Sigeri tidak menjadi gentar. Dengan jiwa kesatria yang membara, ia menghadapi serangan Belanda di berbagai tempat.

Pendaratan tentara Belanda di pantai Timur Kerajaan Bone di kawasan laut Teluk Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), Lapawawoi Karaeng Sigeri menyatakan perang diseluruh wilayah kerajaan Bone terhadap kompeni Belanda. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.

Di bawah pimpinan Panglima operasinya Kolonel Van der Wedden, Belanda melakukan serangan sporadis ke kubu-kubu pertahanan Laskar Kerajaan Bone. Walaupun mendapat perlawanan yang cukup sengit dari Laskar kerajaan Bone, akan tetapi persenjataan Tentara Belanda yang lengkap akhirnya tentara Belanda berhasil memukul mundur Laskar kerajaan Bone yang dipimpin oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae dan Seluruh keluarganya. Pada tanggal 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.

Selama Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November ) Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae beberapa kali memindahkan pusat pertahanannya. Hal ini dilakukan agar segenap Laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat senantiasa dapat melakukan kontak dengannya. Adapun pusat-pusat pertahanan Laskara Kerajaan Bone pada waktu itu anatara lain : Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng. Pusat pertahanan yang terakhir yang merupakan tempat gugurnya Petta PonggawaE adalah Bulu Awo di perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.

Dalam kondisi yang tidak menentu, menyusul kejaran Serdadu Belanda juga semakin gencar, maka kedua petinggi kerajaan Bone merubah taktik perangnya dari perlawanan frontal menjadi perang gerilya. Hal ini dilakukan karena semakin sulitnya mengkoodinir laskar-laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat. Terutama Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda menguber pusat-pusat pertahannya.

Perlawanan Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap Belanda tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE ( Bobolnya Pertahanan Bone). Sedang pihak Belanda menyebutnya sebagai AKSI MILITER TERHADAP BONE. Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae (putranya sendiri) gugur diterjang peluru tentara Belanda. Hal ini diungkapkan dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Benteng Pertahanan Bone). Maka dengan gugurnya Petta Ponggawae sebagai Pahlawan Tana Ugi, maka Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone telah bobol dan dikatakanlah “RUMPA’NI BONE

Tak dapat disangkal, bahwa ada segelintir kalangan yang melihat secara apriori peristiwa Rumpa’na Bone sebagai lembaran kelabu dalam sejarah perlawanan Rakyat Bone dalam menghadapi serangan serdadu Belanda. Kalangan tersebut beralasan bahwa, peristiwa Rumpa’na Bone yang ditandai dengan gugurnya Panglima Perang Kerajaan Bone (Petta Ponggawae) dan tertangkapnya Raja Bone (Lapawawoi Karaeng Sigeri) oleh tentara Belanda, menunjukkan betapa rapuhnya pertahanan Rakyat Bone melawan penjajah ?

Namun sebagian besar kalangan mengatakan, bahwa peristiwa Rumpa’na Bone yang diawali dengan perlawanan yang cukup sengit yang ditandai gugurnya ribuan laskar Bone adalah sebuah peristiwa heroik yang jarang ditemukan tandingannya. Langkah yang ditempuh oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Petta Ponggawae (Abdul hamid Baso Pagilingi) selaku Panglima Perang merupakan langkah patriotis yang cukup berani hingga rela meregang nyawa demi Tana Bone.

Kalau bukan karena jiwa patriotis, Lapawawoi Karaeng Sigeri selaku tokoh sentral perlawanan Rakyat Bone pada masa itu melawan tentara Belanda, mungkin ceritanya menjadi lain. Apakah menerima tawaran kerjasama dengan Belanda yang berarti membiarkan Komponi Belanda menjajah Kerajaan Bone. Namun yang pasti hal itu tak mungkin terjadi, karena ribuan Laskar Kerajaan Bone yang terkapar bersimbah darah di sepanjang pantai Bajoe. Para suhada Bugis tersebut didorong oleh SIRI’ NA PESSE untuk mempertahankan tanah tumpah daerahnya dari penjajahan Belanda.

Dalam kenyataannya memang harus diakui, bahwa persenjataan Belanda yang lengkap ditunjang dengan ketangguhan personil militernya jauh berada di atas bila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh Laskar Kerajaan Bone. Tetapi ketika kita mengenang kisah perlawanan Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap Belanda yang pada akhirnya Petta Ponggawae Gugur dan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri tertawan, maka seyogianya patut dikenang dan direnungkan oleh generasi berikutnya.

Berikut ini kami haturkan untaian Balada Kisah Heroik seorang RAJA BUGIS

1.Bismillahirrahmanirrahim. Dengan petunjuk dan karunia-Nya, dengan kebesaran dan keagungan-Nya, kurentang benang merah sejarah, kurangkai peristiwa, kutulis ini kisah.

2.Kisah heroik seorang Raja Bugis melawan Belanda si Mata Pute. Dengan semangat patriotik membara, dan jiwa kesatria yang mendidih, didorong oleh Toddo’ Siri, na pesse’

3.Terlukis indah di lembaran sejarah. Terpatri abadi di hati Rakyat bone. Dari generasi ke ke generasi selanjutnya. Sebagai bukti keteguhan hati nurani. Orang Bugis berdarah Wija To Bone

4.Lapawawoi Karaeng Sigeri namanya. Raja Bone yang ketigapuluh satu. Bersama putranya yang gagah perkasa Andi Abdul Hamid Baso Pagilingi. Panglima Perang Kerajaan Bone

5.Didukung oleh hadat Tujuh Bone. Dan Seluruh pimpinan Laskar pemberani. Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Mengangkat senjata melawan penjajah. Hingga tetes darah penghabisan.

6.Dalam sejarah Bone disebutkan. Awal pecahnya perang yang dahsyat. Di pantai Timur Celebes Selatan. Di Pagi yang sejuk pada bulan Juli Tahun seribu sembilan ratus lima.

7.Ketika matahari mulai merekah. Di ufuk timur tiada berawan. Memancarkan cahaya indah keemasan. Menyepuh seantero Kerajaan Bone. Begitu indah ciptaan sang Khalik.

8.Di Baruga Saoraja Bone nan asri. Lapawawoi Karaeng Sigeri dan permaisuri. Duduk tenang di atas Tappere Boddong. Rituddukeng Lamangolokkelling Cempanigae. Diapit Pattetteng dan Jowa pemberani.

9.Di bawah nuangan Teddung Pulaweng dan bendera Kerajaan SamparajaE. Arungpone bersama permaisuri. Dihibur Tari Pajoge dan lagu Ongkona Bone oleh Bissu pengawal setia Saoraja.

10.Gendang dipukul bertalu-talu. Lagu berdendang begitu syahdu. Lemah gemulai penari bisu. Indah nian menyejukkan hati. Mengikuti irama klasik Tana Ugi.

11.Di hati Arungpone dan permaisuri. Timbul kekaguman yang sangat mendalam. Betapa tinggi budaya Leluhur. Warisan Kerajaan Bone di Tanah Ugi. Kembanggaan SEMPUGI di Celebes Selatan.

12.Langit Kerajaan Bone pagi itu. Nampak cerah diliputi udara sejuk. Tak terbayang akan datang mendung kelabu. Tak terpikir akan munculnya prahara. Yang membuat Tana Ugi bergolak.

13.Di atas Singgasana Kerajaan Bone. Arungpone bersama permaisuri. Nampak tegar dan tenang penuh wibawa. Di wajahnya terbaca gurat kepemimpinan. Selaku raja yang bijak dan berhati jernih.

14.Seorang Pengawal datang melapor. Atas datangnya utusan Arung Tanete. Untuk menyampaikan suatu berita. Dari Hasil pengamatan di sepanjang pantai. Antara Ujung Pattiro-Ujung Pallette.

15.Kemeriahan pun seperti tersentak. Bunyi gendang, suling, dan kecapi. Semua berhenti tak lagi terdengar. Gerak gemulai penari-penari Bissu. Nampak terkulai seperti lesu dan kaku.

16.Keluarga Saoraja diliputi kecemasan. Di wajah permaisuri terbaca kebingungan. Kecuali Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Kelihatan tetap tegar dan sangat tenang. Menanti berita dari utusan Arung Tanete.

17.Hasil pengamatan Arung Tanete. Di sana di Perairan Teluk Bone. Kelihatan banyak kapal beriring-iring. Berlayar dari selatan menuju utara. Semakin dekat di Pantai Bajoe.

18.Mendengar itu, Arungpone tertunduk. Lalu bangkit menganggukkan kepala. Menyimak dalam lubuk hatinya. Akan makna laporan dari Arung Tanete. Entah gejolak apa yang timbul di benaknya.

19.Tatapan matanya menerawang jauh. Memandangi cakrawala tak terbatas.. Ada kemelut yang sulit dipecahkannya. Menimbulkan seribu tanda tanya. Di hati permaisuri dan keluarga Saoraja.

20.Dengan suara datar Arungpone bertutur. Mengungkap misteri laporan Arung Tanete. Bahwa kapal-kapal yang beriring-iring. Di sana di perairan Teluk Bone Adalah milik Belanda si Putih Mata.

21.Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Menitip pesan kepada Arung Tanete. Agar tetap melakukan pengamatan. Akan maksud kedatangan kapal Belanda. Yang semakin mendekat di Pantai Bajoe.

22.Sebab menurut pikiran Arungpone. Belanda selalu berupaya untuk mencaplok dan menjajah. Menanamkan kuku-kukunya di atas bumi Kerajaan Bone yang subur.

23.Kepada Arung Tanete dan Rakyatnya. Arumpone minta agar tetap tenang. Menunggu perintah dari Saoraja. Dari kesepakatan antara Mangkau’E. Dengan segenap anggota Hadat Bone.

24.Kesepakatan dan kebulatan tekad. Dari pemikiran dan pertimbangan yang jernih. Untuk membela dan mempertahankan. Kerajaan Bone dan Seluruh Rakyatnya. Dari cengkeraman tangan-tangan penjajah.

25.Kecemasan dan kegelisahan permaisuri. Nampak jelas di wajahnya yang bening. Dengan pandangan sayu menatap arungpone. Mengharap jawaban penyejuk hati. Tentang kedatangan kapal-kapal Belanda.

26.Sementara di perairan Teluk Bone. Berkumpul eskader kapal perang Belanda. H.M. Hendrik Hertog pembawa bendera. Diatasnya Komandan Eskader Matra Laut. Mengadakan rapat dengan Panglima Tempur.

27.Melalui teropong dari atas kapal. Nampak keindahan alam Kerajaan Bone. Sawah dan ladang terbentang luas. Pohon lontar dan nyiur melambai-lambai. Sungai-sungai mengalir dengan jernih.

28.Bukit dan gunung berhutan lebat. Binatang ternak berlarian kian kemari. Burung-burung beterbangan di udara. Ombak memutih memecah pantai. Panorama alam indah menawan hati.

29.Keindahan itulah membuat Belanda semakin bernafsu. Untuk segera melakukan pendaratan. Bagai kelompok singa kelaparan. Mengintai buruannya di balik belukar.

30.Suasana di Saoraja semakin galau. Seluruh penghuni dicekam kecemasan. Permaisuri melangkahi mendekati Arungpone yang tetap tegar dan tenang di tempatnya. Selaku raja yang berpikiran tajam.

31.Dengan suara lembut permaisuri bertanya. Apa betul kapal-kapal itu milik Belanda. Datang untuk menyerang Kerajaan Bone. Lalu bagaimana langkah-langkah Arungpone. Dalam mempertahankan dan menyelamatkan rakyatnya.

32.Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Membujuk permaisuri yang nampak gelisah. Menenagkan gejolak dalam hati dan pikirannya. Tawakkal kepada Allah dan Nabi-Nya.

33.Tellabu Essoe ri Tengngana Bitarae. Segalanya berjalan menurut kodratnya. Demikian Arungpone membujuk permaisuri. Dan segenap keluarga penghuni Saoraja. Yang nampak bingung penuh kecemasan.

34.Arungpone tetap yakin dan percaya. Kerajaan Bone sangat kuat dan tangguh. Dengan ribuan Laskar Pakkanna Passiuno. Yang rela mati berlumuran darah merah. Dari pada hidup di jajah Belanda.

35.Belanda boleh menerobos pertahanan Bone. Setelah melangkahi ribuan laskar. Dengan semangat patriotis sejati. Siap bertarung di Walawala Bessie. Bermandi darah di Appasareng Kannae.

36.Mendung kelabu di atas kerajaan Bone. Nampak semakin tebal, pekat dan hitam. Pertanda bakal datangnya malapetaka. Angin puting beliung telah berhembus. Disertai Guntur dan kilat menyambar-nyambar.

37.Permaisuri kelihatan semakin gelisah. Arungpone seperti tak berhenti berpikir. Penghuni Saoraja dicekik ketakutan. Perang bakal berkobar meminta korban. Tana Ugi sebentar lagi bersimbah darah.

38.Dalam suasana yang semakin galau. Seorang lagi pengawal datang melapor. Atas kedatangan dua orang tamu asing. Karaeng Marusu bersama temannya. Utusan Belanda dari perairan Teluk Bone

39.Laporan itu mengejutkan permaisuri. Kekesalan di hatinya terbayang di wajahnya. Meluap bagai nyala api dihembus angin. Dengan kalimat meledak tak terkendali. Menolak kedatangan utusan Belanda.

40.Bangkit berdiri Sang Permaisuri. Melepas uneg-uneg yang menggurita. Dalam hatinya yang panas membara. Agar Karaeng Marusu bersama temannya tidak memasuki halaman Saoraja.

41.Arungpone yang bijak berhati lembut. Kembali menenangkan permaisuri. Menyiram nyala api yang meluap. Agar tidak menampakkan kekesalan kepada karaeng Marusu bersama teman.

42.Di pintu Saoraja yang dijaga pengawal. Karaeng Marusu bersama temannya. Membungkuk memberi penghormatan. Lalu keduanya langsung duduk bersila di depan Arungpone dan Permaisuri.

43.Dengan kalimat bergetar putus-putus. Karaeng Marusu kepada arungpone. Bahwa dirinya utusan Komandan Belanda. Yang sekarang berada di atas kapal. Menunggu kabar di perairan Teluk Bone.

44.Tertegun Lapawawoi Karaeng Sigeri. Menyimak berita dari utusan Belanda. Berpikir dan berpikir mencari yang terbaik. Gurat-gurat kewibawaan kembali terbaca di wajahnya yang nampak semakin menua.

45.Kemudian memandang jauh ke depan. Sejauh analiasa dan bisikan hatinya. Membayangkan Kerajaan bone yang subur buminya. Membayangkan wajah-wajah Rakyatnya.

46.Selaku raja yang memiliki firasat. Nalar dan mata batin yang tajam. Kalimat yang sarat makna filosofi. Arungpone menjawab tawaran Belanda. Kepada karaeng Marusu bersama temannya.

47.Arungpone menyemak dan memahami. Kedatangan Belanda di Teluk Bone. Namun tidak bisa bertindak sendiri. Untuk menerimanya mentah-mentah. Harus didukung oleh Hadat Tujuh Kerajaan Bone.

48.Dengan kalimat putus-putus dan ragu. Karaeng Marusu mengajukan pertanyaan. Tentang sikap dan langkah Arungpone. Menerima atau menolak tawaran Belanda. Karena dia tidak bisa berlama-lama.

49.Dengan tenang Arungpone menjawab. Di Kerajaan Bone yang saya cintai ini. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Disebut “ Ade Mappura Onrona Bone” Warisan Leluhur yang dijunjung tinggi.

50.Apapun yang akan dilakukan di Bone. Harus lahir dari musyawarah dan mufakat. Antara Mangkau selaku raja disitu pihak. Dan anggota Hadat Bone dilain pihak. Sebagai wujud demokrasi sejati.

51.Jadi tentang maksud tawaran Belanda. Arungpone tidak bisa menetukan sekarang. Menunggu hasil musyawarah dan mufakat. Diterima sebagai awal suatu persahabatan. Atau ditolak sebagai awal pecahnya perang.

52.Setelah mendengarkan pesan Arungpone. Karaeng Marusu dan temannya mohon pamit. Dengan langkah gontai meninggalkan saoraja. Berjalan ke arah timur menuju Pantai Bajoe. Dengan hati yang dongkol, kesal dan kecewa.

53.Di Pelabuhan Bajoe keduanya naik sampan. Menuju kapal S.S.Riemsdijk di Teluk Bone. Di mana Panglima ekspedisi van Loenen. Dengan perasaan cemas penuh harap. Telah lama menunggu kedatangannya.

54.Di depan Panglima Ekspedisi Van Loenen. Karaeng Marusu dan temannya menyampaikan. Pesan yang mengisyaratkan penolakan dari Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Raja yang mematuhi kehendak rakyatnya.

55.Kabar itu membuat Van Loenen naik darah. Kehendaknya dilecehkan dan tidak digubris. Wajah bengis memandang ke arah pantai. Nafsu serakahnya menggerogoti kepikirannya. Menyerang Bone dengan kekuatan senjata.

56.Suatu ultimatum bernada ancaman. Ditulisnya dengan emosi meluap-luap. Dalam tempo satu kali dua puluh empat jam. Kehendak tidak diiyakan dan dipenuhi. Maka Kerajaan Bone segera dibumihanguskan.

57.Ultimatum Tertanggal Sembilan Belas Juli Tahun Seribu Sembilan Ratus Lima. Diberikan kepada La Pattola Daeng Massappo. Orang Bone yang diinterner di Ujung Pandang. Agar secepatnya diberikan kepada Arungpone.

58.Menerima Ultimatum dan ancaman demikian. Tidak membuat hati Arumpone menjadi gentar. Sebagai Raja Bugis yang mempunyai harga diri. Darah Bugis dan patriotisnya mendidih. Bertekad melawan Belanda Si Putih Mata.

59.Baginya tidak ada kata untuk menyerah. Apalagi tunduk di bawah kekuasaan penjajah. Harga diri sebagai Orang Bugis Wija To Bone. Toddopuli Siri Napesse harus ditegakkan. Demikian bisikan yang muncul di hatinya.

60.Segenap Anggota hadat Tujuh diundang. Arung Ponceng, Arung Tanete Riawang, Arung Macege, Arung Tanete Riattang, Arung Ta’, Arung Ujung, Arung Tibojong. Agar segera datang berkumpul di Saoraja.

61.Diundang pula Abdul Hamid Baso Pagilingi. Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Bersama Seluruh pimpinan Laskar Pemberani. Untuk datang memenuhi undangan Arungpone. Guna menanggapi Ultimatum dari Belanda.

62.Hanya berselang beberapa saat saja. Semasih daun sirih belum hancur terkunyah. Dan periuk di dapur belum juga mendidih. Para undangan berdatangan dari segala arah. Semua hadir memenuhi undangan Arumpone.

63.Setelah semuanya tenang di tempat duduk. Arung Ponceng bertanya kepada Arungpone. Mungkin ada sesuatu yang penting dibicarakan. Sehingga Puatta Arungpone mengundang kita. Untuk datang dan berkumpul di Saoraja.

64.Sebelum mengemukakan maksud undangannya. Arungpone menatap satu-satu tamu yang hadir. Tatapannya mulai dari anggota hadat Tujuh Bone. Sampai kepada Abdul Hamid Baso Pagilingi. Dan Pimpinan Laskar Pakkanna Passiuno.

65.Dengan suara serak-serak basah. Lapawawoi Karaeng Sigeri mulai bicara. Sebagai Orang Bugis yang punya harga diri. Yang menjunjung tinggi Ade- Pangadereng. Kita perlu menyatakan pendapat.

66.Semua yang hadir nampak semakin gelisah. Menunggu lanjutan pembicaraan Arungpone. Membuat suasana menjadi hening sejenak. Tak seorangpun yang mengeluarkan kata. Sementara Permaisuri nampak tertunduk.

67.Dengan tarikan nafas yang panjang. Arungpone melanjutkan pembicaraan. Tentang datangnya dua orang utusan Belanda. Mengajak untuk menjalin kerjasama. Mengelola Pelabuhan Pallime dan Bajoe.

68.Selanjutnya Belanda akan mempersatukan. Jumpandang, Bone, Luwu, dan Tanah Toraja. Menurut pikiran Lapawawoi Karaeng Sigeri. Itu merupakan awal dari sebuah jebakan. Untuk menggiring ke dalam bentuk penjajahan.

69.Dari saku Arungpone ditariknya secarik kertas. Ultimatum yang diterimanya dari Belanda. Kalau keinginan yang ditawarkan ditolak. Kerajaan Bone akan diserang dan dihancurkan. Dalam tempo satu kali duapuluh empat jam.

70.Mendengar penjelasan dari orang tuanya. Baso Pagilingi Petta Ponggawae naik darah. Berdiri dan menghormat kepada Arungpone. Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Jiwa patriotis, semangat kesatrianya tergugah.

71.Menurut pandangan mata batinnya. Suatu malapetaka terbayang di depannya. Kerajaan Bone akan hancur porak-poranda. Seluruh rakyatnya hidup di bawah penjajahan. Apabila keinginan Belanda itu diterima.

72.Lalu Baso Pagilingi Petta Ponggawae. Memohon ampun kepada Ayahandanya. Juga kepada Seluruh anggota Hadat Bone. Agar mempertimbangkan matang-matang. Untuk menerima ajakan dan tawaran Belanda.

73.Sebab menurut yang muncul di benaknya. Belanda tidak bisa dipercaya omongannya. Pantang untuk diikuti segala keinginannya. Apalagi menerima apa yang ditawarkannya. Di hatinya sejali sekalindang sifat penjajah.

74.Berdiri menghormat pula Arung Ponceng. Salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone. Membenarkan ucapan Petta Ponggawe. Diamini oleh anggota hadat Tujuh lainnya. Menolak tawaran Belanda Si Putih Mata.

75.Dulung Ajangale, Lamuru, Awang Tangka, arung Palili dan Pimpinan Laskar pemberani. Menyatakan siap mengamankan kesepakatan. Arungpone dengan Hadat Tujuh Bone. Walau harus ditebus dengan harta dan nyawa.

76.Lapawawoi Karaeng Sigeri kecintaan rakyat. Memandang ke kiri, ke kanan lalu tersenyum. Ini namanya terpaut ujung dan pangkalnya. Telah bertemu pula buku dan ruasnya. Pedapatnya seirama pendapat rakyatnya.

77.Dengan gurat-gurat usia yang nampak menua. Arunpone mengajak semua yang hadir. Menggalang kekuatan menghimpun tenaga. Mengangkat senjata melawan penjajah. Membela Kerajaan Bone dan rakyatnya.

78.Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta Ponggawae. Selaku Panglima Perang mendapat perintah menghimpun kekuatan. Untuk menghadapi serangan serdadu Belanda. Mulai Ujung Pattiro hingga Ujung Pallette.

79.Perintah yang sangat ditunggu-tunggu. Disambutnya dengan mengucapkan ikrar. Berdiri dan mencabut keris “Raja Bagusu” keris pusakanya yang selalu menyertainya. Diayunkan ke kiri maupun ke kanan penuh semangat.

80.Matanya merah menyorot bagai bara api. Bersumpah dan berikrar untuk tetap setia. Membela dan mempertahankan Kerajaan Bone. Rela mati ditembus peluru penjajah.

81.Mendengar ikrar Baso Pagilingi. Semangat Patriotik hadirin seperti tersulut api. Gelora jiwa kesatria nampak terbaca. Di wajah para pemberani Kerajaan Bone. Arungpone tenang dan tegar di tempatnya.

82.Tidak ketinggalan pula Arung Tanete. Dengan sorotan mata menyala-nyala. Memberi hormat kepada Arungpone. Mencabut keris pusaka kesayangannya. Mengucapkan ikrar menghadapi Belanda.

83.Darah kesatria Arung Sailong tergugah. Semangat membara membatu. Diteriakkan dengan lantang ikrarnya di depan Arungpone dan Permaisuri. Dan Seluruh undangan yang hadir.

84.Setelah sejumlah Pakkanna Passiuno. Mengucapkan ikrar masing-masing. Berdirilah Permaisuri dengan tegarnya. Mendekati Baso Pagilingi lalu menepuk bahunya membakar semangatnya.

85.Berdoa kepada Allah dan Nabi-Nya. Semoga melindungi dari serangan musuh. Semoga Seluruh Laskar Kerajaan Bone. Diberi kekuatan dan kemampuan tempur menghadapi Belanda.

86.Setelah diberkahi kedua orang tuanya. Baso Pagilingi selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Begitu gagah melangkahi ke depan. Mengarah ke timur menuju medang juang.

87.Diikuti oleh Laskar Passiuno. Di hatinya hanya dua pilihan. Hidup atau mati demi Tana Ugi. Siri na Pesse mendorong langkahnya.

88.Rerumputan dan bebatuan sepanjang jalan. Seperti memberinya semangat untuk maju. Menantang keangkuhan serdadu Belanda. Yang kini berada di perairan Teluk Bone. Siap memuntahkan peluru meriamnya.

89.Di Bawah Komando Petta Ponggawae. Kelompok Laskar dibagi dalam tiga arah. Kelompok pertama menuju Ujung Pattiro. Kelompok kedua menuju Lona dan BajoE. Kelompok ketiga menuju Ujung Pallette.

90.Sepanjang jalan yang dilaluinya. Menuju medan perang yang dahsyat. Para Laskar dengan semangat menyala. Terus melengkingkan” Osong Pakkanna. “Ada Passokkang” lagu perjuangan.

91.Bagai lebah beterbangan di udara bebas. Membuatnya tak gentar, nyalinya tak ciut. Tombak dan kelewang diayun-ayunkan. Pedang dan keris pusaka dihunuskan. Meriam dan senapan ringan disiagakan.

92.Dari pantai Bajoe hingga Ujung Pallette. Dan di Ujung Pattiro bahagian selatan. Dipenuhi ribuan Laskar Kerajaan Bone. Mendengungkan Osong Pakkanna. Siap menghadapi pendaratan Belanda.

93.Di atas kapal H.M.Koningin Regentes. Panglima ekspedisi Belanda Van Loenen. Mengamati tempat yang layak untuk pendaratan. Lewat teropong pengintai dari atas kapal. Dari Ujung Pattiro ke Ujung Pallette.

94.Tanggal dua puluh satu bulan Juli Tahun Seribu Sembilan Ratus Lima. Kapal-kapal Belanda semakin mendekat. Suatu pertanda pendaratan akan dilakukan. Sekoci-sekocipun mulai diturunkan.

95.Pukul Enam Sore kurang sepuluh menit. Ketika matahari menukik ke peraduannya. Van Loenen dari kapal S.S.Van Riemsdijk. Mengeluarkan perintah pendaratan. Berarti perang terbuka mulai berkobar.

96.Dentuman meriam dan senapan ringan. Terdengar gemuruh memekakkan telinga. Dimuntahkan dari atas kapal ke arah pantai. Dibalas oleh Laskar Pemberani Kerajaan Bone. Dari pantai Bajoe, Lona, dan Tippulue.

97.Pertempuran sengit tak dapat dielakkan. Laskar Kerajaan Bone bertahan mati-matian. Mengadu kekuatan dan meregang nyawa. Sementara serangan Belanda semakin gencar. Mengarah ke Tippulue dan Kampung Lona.

98.Ponggawa Bone membakar semangat Laskarnya. Semboyan Siri Na Pesse diteriakkan lantang. Disambut sorak-sorai para Laskar Passiuno. Semua maju menyongsong kedatangan Belanda.

99.Arena pertempuran mencekam dan menakutkan. Kilat-kilat peluru berhamburan di udara leluhur Bugis. Bola-bola api beterbangan silang-menyilang. Pemandangan yang langka bagi Rakyat Bone. Pantai Bajoe bagai neraka mengerikan.

100.Jatuh tersungkur sejumlah Laskar Passiuno. Berguguran bagai kembang semerbakwangi. Cucuran darah merah terlihat di mana-mana. Menganak sungai di Bumi leluhur Bone. Pahlawan Tana Ugi mengukir sejarah.

101.Banyak Laskar tak sempat dibalut lukanya. Banyak juga tak sempat dikenal wajahnya. Tergeletak berlumuran darah di mana-mana. Tak ubahnya onggokan batang pisang. Di alur-alur sungai dan ditengah persawahan.

102.Udara pesisir Timur Tana Bone malam itu. Sungguh sangat mencekam memalukan. Muntahan peluru meriam adalah pandangan mengerikan. Bagai bintang berguguran dari langit yang biru.

103.Gugurlah pahlawan-pahlawan Tana Ugi ialah Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara. Begitu pula Arung Sigeri Keluarga Arungpone. Dan sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya.

104.Serangan serdadu Belanda semakin membabi buta. Laskar Kerajaan Bone mundur ke arah barat. Petta Ponggawae tetap bertahan di Cellu. Daeng Marola Arung Ponre terkena peluru namun nafas masih ada. Diantar oleh sejumlah laskar menuju Saoraja.

105.Di tengah berkecamuknya pertempuran. Petta Ponggawae mengirim pesan ke Saoraja. Agar Puatta Arungpone berpindah tempat. Dari saoraja ke Palakka yang lebih aman. Bersama Seluruh keluarga dan isi Saoraja.

106.Menerima pesan dari Petta Ponggawae. Arungpone minta pandangan permaisuri. Juga kepada Arung Ponre Daeng Marola. Yang tiba di Saoraja dalam keadaan luka. Bertahan di Saoraja atau berpindah ke Palakka.

107.Kepada Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Arung Ponre dengan hormat melaporkan. Bahwa Laskar Bone tak dapat lagi membendung serangan Belanda. Persenjataan sangat tidak seimbang. Perlu pertimbangan untuk mundur selangkah untuk maju seribu kali.

108.Setelah bertukar pendapat dengan Permaisuri. Dan segenap keluarga Saoraja lainnya. Memperhitungkan baik dan buruknya. Prinsip berpindah tempat bukan berarti kalah. Namun sebagai langkah penyelamatan terhadap Arungpone.

109.Usungan disiapkan untuk Puatta Arungpone. Benda-benda Kerajaan dikemas oleh para Bissu pengawal Saoraja. Tombak dan bendera SamparajaE disiapkan. Tinggal menunggu perintah dari Arungpone.

110.Lapawawoi Karaeng Sigeri di atas usungan. Sejenak memandangi Puncak Saoraja. Bagai mengucapkan selamat tinggal istanaku. Bila Allah dan nabi-Nya memberiku kekuatan. Akan aku kembali bernaung di bawah atapmu.

BENDERA SAMPARAJAE RIWAYATMU DULU

$
0
0
 
BENDERA SAMPARAJAE Terbuat dari kain berwarna biru sutra, berbentuk travesium, pinggirannya berwarna merah, terdapat hiasan bunga berdaun empat. Bentuk bunga bersegi empat, dua daun bunga berwarna daun emas. Dua daun lainnya berwarna besi. Kedua daun ini disebut BRANI yang berarti "BERANI" dan berubah menjadi musuh dalam pertempuran.

BENDERA SAMPARAJAE, Berfungsi sebagai bendera angkatan laut Kerajaan Bone. Oleh karena itu BENDERA SAMPARAJAE mempunyai arti mencerminkan sikap dan kekuatan dan semangat yang dimiliki orang Bone di manapun ia berada.

Di era Pemerintahan Bupati Bone ke-18 sekarang ini Dr.H.Andi Fahsar Mahdin Padjalangi,M.Si. mewajibkan seluruh Aparatur Sipil Negara di Lingkup Pemerintah Kabupaten Bone menggunakan PIN SAMPARAJAE yang diperkuat dengan Peraturan Bupati Bone Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Bone Nomor 24 Tahun 2015 Tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Bone.

Tindak lanjut perubahan peraturan itu kemudian Bupati Bone mengeluarkan Surat Edaran Nomor 061/283/II/ORGANISASI Tentang Penggunaan Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Bone. Di mana dalam surat edaran itu terdapat penggunaan PIN SAMPARAJAE bagi Seluruh PNS di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bone.

SEJARAH SINGKAT BENDERA SAMPARAJAE

Setelah Perjanjian Bongaya tahun 1669 tempat pembuatan perahu pinisi  Ara Bantaeng ikut terimbas. Kekuasaan beralih kepada leluhur Bone. Para Raja Bone tak puas kalau  tidak menggunakan perahu buatan Ara dan Lemo-Lemo Mandar  sebagai tumpangan dinasnya dalam menjalankan roda pemerintahan.

Dalam catatan harian Raja Bone ke-22 Latemmassonge Toappewaling (1749-1775) tertulis bahwa mereka sering memesan perahu di Bulukumba. Dalam catatannya tertulis tanggal 9 Juni 1753 berangkat ke Pattingaloang melihat perahu pesanannya dari Bulukumzba seharga 40 real.

Kemudian Tanggal 25 Maret 1755 Latemmassonge memerintahkan lagi membeli Satu Ajowa atau 2 ekor kerbau seharga 16 real yang diperkirakan setara dengan 5 ekor kerbau pada saat itu. Perahu itu dipergunakan berlayar melewati Sungai Walennae masuk ke Danau Tempe apabila hendak ke Parepare atau ke Sulawesi Utara melalui sungai dan laut. Perahu perang tersebut dikerjakan oleh Daeng Mangali tidaklah terlalu besar namun untuk kepentingan perang menjaga kawasan laut kerajaan Bone sangat andal pada masa itu. Perahu perang itu dinamai Ellung Mangenre. Dari sinilah pada lambang Kabupaten Bone terdapat gambar JANGKAR  melambangkan sifat kebaharian yang perkasa dari rakyat Bone .

Seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah Perahu Ellung Mangenre milik kerajaan Bone dengan Bendera Samparajae sebagai lambang kebesaran kerajaan didalamnya terlukis gambar Jangkar. Sehingga dapat ditarik kesan bahwa sifat pelaut ini merupakan khas dari pada penduduk Bone. Dari sini pula berawal terciptanya BENDERA SAMPARAJAE yang juga mengandung unsur historis. Kesemuanya menggambarkan tata kehidupan yang khas serta mengandung unsur-unsur historis, kultur, patriotik, sosiologi, ekonomis, dan agraris terutama yang melambangkan kepribadian. Samparajae adalah  bendera kerajaan Bone dimasa lalu yang erat hubungannya dengan Perahu Perang Ellung Mangenre yang diawali Raja Bone Ke-22 Latemmassonge Toappewaling Matinroe ri Malimongan Makassar sekarang. Kemudian dipergunakan raja-raja Bone selanjutnya.

Oleh karena itu, BENDERA SAMPARAJAE mempunyai arti mencerminkan sikap,kekuatan, dan semangat yang dimiliki orang Bone di manapun ia berada. Bahkan hingga saat ini semangat itu takkan tergerus masa apabila sejarah  jejak-jejak juang para pendahulu tak terlupakan. Dengan Motto SUMANGE TEALLARA ( TEGUH DALAM KEYAKINAN KUKUH DALAM KEBERSAMAAN) mari bersama-sama membangun daerah dalam upaya mewujudkan masyarakat Bone yang Sehat, Cerdas, dan Sejahtera.

(Mursalim)
Viewing all 127 articles
Browse latest View live